*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film Seaspiracy yang bisa saja mengganggu buat kalian yang belum menonton.
Begitu mudahnya memancing emosi para penonton saat bicara soal isu lingkungan, salah satunya adalah lautan. Menutupi 70% dari luas permukaan Bumi, lautan menyimpan potensi kehidupan yang besar banget. Di mana ada kehidupan, di situ pasti ada potensi ekonomi yang besar dan masalah yang kompleks.
Itulah yang ingin disampaikan sama film dokumenter Seaspiracy besutan Ali Tabrizi, seorang sutradara dari Inggris. Seaspiracy pada dasarnya adalah film yang ingin menampilkan bagaimana perilaku merusak manusia berdampak pada lautan dan tentu saja pada keberlangsungan Bumi secara keseluruhan. Memperlihatkan sampah plastik laut, jala harimau, dan penangkapan ikan berlebihan di seluruh dunia, film ini mau menggiring pendapat bahwa perikanan komersial adalah musuh utama ekosistem laut.
Lalu, apa yang sebenarnya disampaikan oleh Seaspiracy? Mengapa film ini seakan menebar ketakutan mengenai lautan? Simak penjelasan KINCIR di bawah ini.
Dibuka dengan Chaos, Dilanjutkan dengan Hal-hal yang Bikin Kita Enggak Nyaman
Film dibuka dengan footage demi footage terkait aktivitas di pesisir pantai dan lautan, mulai dari keributan sama aparat, penangkapan ikan di tengah badai, sampai dengan wawancara kontroversial sama seseorang yang bilang bahwa jika seseorang takut mati, lebih baik pulang (maksudnya, enggak usah melaut).
Kemudian, cerita bergulir kepada masalah plastik yang udah menggunung di lautan serta lumba-lumba yang dibunuh di Jepang karena mengurangi jatah ikan yang bisa ditangkap oleh nelayan. Ada juga cerita tentang kapal-kapal internasional ilegal yang berlayar untuk menjarah ikan-ikan di perairan negara lain.
Seaspiracy menuding bahwa keserakahan manusia merusak lautan. Ia bahkan meragukan bahwa label-label sustainable dalam produk ikan itu diragukan kebenarannya. Secara utuh, film dokumenter ini seolah memberikan opini bahwa menjadi vegetarian adalah hal yang terbaik, karena pola konsumsi ikan manusia sangat merusak dan berbagai organisasi pencinta lingkungan enggak bener-bener melakukan misinya.
Namun, Apakah Film Ini Menyajikan Kenyataan?
Seaspiracy banyak mendapatkan kritik karena beberapa hal. Yang pertama, adalah karena film ini bersifat subjektif dan cuma menyajikan fakta-fakta yang memang mendukung keinginan pembuat film. Marine Stewardship Council, yang diceritakan enggak jujur dalam memberikan label sustainable pada produk-produk laut, mengatakan klaim dari film ini mengada-ada.
Sementara itu, Plastic Pollution Coalition menyatakan bahwa Seaspiracy melakukan cherry-picking terhadap pernyataan mereka tentang masalah plastik, sehingga fakta yang disajikan memang enggak menipu, tetapi karena dipotong-potong, jadi enggak sesuai sama apa yang mau disampaikan. Seolah, semua hal yang ada di dalam film ini memang sengaja dibentuk sedemikian rupa untuk memperkuat framing bahwa hewan laut sebaiknya berhenti dikonsumsi, alih-alih menyajikan fakta apa adanya.
Setiap footage yang disisipkan di dalam film ini seolah bukan mau membuka mata, tetapi mau “mencuci otak” penonton untuk menyetujui apa yang ingin disampaikan sutradara. Banyak pihak yang digambarkan jahat dan enggak kooperatif, termasuk orang di bagian pengumpulan ikan yang marah karena direkam.
Jadi, Apakah yang Disampaikan Seaspiracy Itu Bijak?
Di platform Netflix, terdapat film lain dengan judul dan semangat yang hampir sama, berjudul Cowspiracy. Walaupun subjek yang dibahas berbeda, ujung-ujungnya film itu juga mengarahkan manusia untuk menjadi vegan. Dan ketika ditelusuri lagi, dua film itu diproduksi oleh pihak yang sama, Kip Andersen.
Pilihan untuk menjadi vegetarian adalah pilihan yang bijak dan bebas. Namun, bisa dibayangkan enggak bagaimana dunia ini bakal berjalan kalau semua orang menjadi vegetarian? Bisa dibayangkan enggak kalau semua orang bersatu buat menghentikan produksi pangan dari laut? Yang ada, peradaban bisa rusak dan banyak orang yang kehilangan sumber gizi dan mata pencaharian.
Selain seolah dibuat hanya untuk memuaskan pertanyaan dan pemikiran sutradara serta produser, Seaspiracy memang merupakan film yang bersifat erosentrisme (barat-sentrisme). Maksudnya, semua masalah laut cuma dilihat dari sisi orang Barat aja. Tradisi penangkapan dan pengolahan ikan itu unik dan berbeda-beda di setiap negara, dan seolah film ini menyalahkan banyak negara non-Western (Jepang, Hong Kong, Thailand, Liberia, dan sebagainya), atas permasalahan lautan.
Beberapa hal yang positif memang bisa kita ambil dari film ini, misalnya kayak bagaimana manusia sebaiknya enggak serakah mengambil hasil laut sebanyak yang mereka mau dan bahwa illegal fishing serta perbudakan di dunia penangkapan ikan memang harus ditindak dengan serius, seperti apa yang pernah terjadi pada saat Ibu Susi Pudjiastuti menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.
Melihat soal illegal fishing dan perbudakan memang bikin kita emosi, tetapi kampanye berhenti mengonsumsi hasil laut adalah tindakan yang enggak bijak. Ada banyak orang yang menggantungkan hidup dari laut, baik dari segi uang maupun gizi.
Sebetulnya, bakal keren kalau Seaspiracy memfokuskan cerita pada bagaimana seharusnya pemerintah dan pihak-pihak yang bertanggung jawab mengontrol industri penangkapan dan pengolahan hasil laut. Alih-alih menyuruh orang menjadi vegetarian, yang sebaiknya harus dibenahi adalah regulasi dan ketegasan pemerintah.
***
Jadi, menonton Seaspiracy memang membutuhkan pikiran yang realistis dan kritis. Karena, kalau enggak, pikiran kamu hanya akan terfokus pada betapa jahatnya aktivitas makan ikan dan hasil laut lainnya, serta menghakimi banyak orang yang sekadar suka seafood atau malah yang betul-betul menggantungkan hidup pada industri perikanan. Dan sekali lagi, itu pikiran sama sekali enggak membantu mengatasi masalah sebenarnya.
Buat kamu yang sudah nonton film Seaspiracy, bagaimana pendapatmu? Apakah premis dan konklusinya membuatmu setuju? Bagikan di kolom komentar, ya!