*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film Pieces of a Woman yang bisa saja mengganggu buat kalian yang belum menonton.
Sebelum menyaksikan Pieces of a Woman, perlu dipahami bahwa film ini merupakan karya yang pada awal hingga pertengahan bikin penonton depresi, terutama mereka yang sedang mengharapkan anak atau sudah punya anak.
Film dibuka dengan Martha (Vannesa Kirby) dan Sean (Shia LaBeouf), pasangan suami istri di Boston yang tengah menanti anak mereka dan layaknya kebanyakan pasangan yang mendambakan persalinan normal, panik dan super hectic. Namun, rupanya takdir berkata lain. Beberapa detik setelah anak perempuan mereka, Yvette, lahir, dia meninggal dunia.
Tragedi kematian bayi memang bikin sedih banyak orangtua. Bahkan, ada banyak yang menjadi depresi karenanya, termasuk Martha. Namun, pada perjalanan hidupnya di depan, justru hal yang membuatnya jadi stres berat adalah kurangnya support system dari lingkungan sekitar.
Nah, buat yang sudah atau belum nonton film Pieces of a Woman, simak review khas KINCIR di bawah ini, ya.
Bukan Sekadar Kisah Anak yang Meninggal Dunia
Pieces of a Woman sebetulnya patut diacungi jempol karena berani mengemas banyak isu keluarga yang memang ada beneran di dunia nyata, enggak dibuat-buat. Ibu Martha, Elizabeth (Ellen Burstyn), adalah orang yang keras. Sifat ini ada dalam dirinya karena masa mudanya yang begitu sulit. Dia berjuang buat bertahan hidup dan melewati holocaust.
Sebenarnya, kita bisa memaklumi kenapa Elizabeth kurang punya empati. Kehidupannya terlalu kejam dan dia menganggap bahwa Martha harus bisa menjadi kayak dia supaya bisa hidup dengan layak. Masalahnya, Martha adalah sosok yang berbeda. Dia adalah wanita yang hidup di masa modern.
Ada banyak hal dari Elizabeth yang membuat Martha depresi. Selain karena dibandingin terus-menerus, Elizabeth menolak keinginan-keinginan Martha dan enggak mau memahami depresi Martha.
Dia menyalahkan Martha karena melahirkan anak di rumah, menyalahkan Eva, suster yang membantu kelahiran Yvette, sebagai penyebab kematian cucunya. Dia juga menyalahkan Sean, dan enggak mau menuruti keinginan Martha yang mau tubuh anaknya disumbangkan untuk keperluan pengamatan sains.
Apa yang dilakukan Elizabeth wajar, memang. Seorang nenek bakal memberikan yang terbaik –bahkan bisa jadi lebih baik– daripada orangtua seorang anak, karena mereka sudah melewati pahit-manis kehidupan. Jadi, sangat bisa dimaklumi kalau Elizabeth bersikeras memakamkan Yvette dengan terhormat. Namun, tentu saja cara Elizabeth menghadapi Martha sangat salah, bikin Martha semakin tenggelam dalam perasaan bersalah.
Hubungan Suami Istri yang Bikin Kita Takut Menikah
Betul memang pepatah yang bilang bahwa seseorang bakal terbuka kedoknya setelah melewati realita pernikahan. Usai meninggalnya Yvette, alih-alih mendukung Martha, Sean malah kembali kepada kebiasaan mengonsumsi alkohol. Enggak cukup sampai di situ, dia juga berselingkuh dengan sepupu Martha yang juga jaksa penuntut umum, Suzanne.
Sebetulnya, Martha enggak sepenuhnya benar. Dia terlalu depresi sampai-sampai lupa bahwa suaminya juga depresi. Sang suami yang merasa ditolak oleh Martha dan enggak dimengerti, pada akhirnya mencari hiburan lain.
Tentunya hubungan Sean-Martha ini menjadi pelajaran besar tentang bagaimana memilih pasangan. Kita memang harus memilih pasangan yang bahkan keadaan terburuknya masih dapat kita terima. Kondisi yang terjadi dalam rumah tangga Sean dan Martha ini bisa dialami siapa saja yang hanya memikirkan kebahagiaan saat menikah, padahal, menikah itu perkara berbahagia dan menderita bersama.
Selain kemungkinan terburuk, Martha dan Sean memberikan kita pelajaran bahwa latar belakang keluarga, pekerjaan, dan lingkungan penting buat diperhatikan sebelum menikah. Perbedaan kasta yang agak jauh dan perbedaan kelas pekerjaan dapat menjadi masalah besar karena besar kemungkinan, ada perbedaan prinsip dan persepsi atas kehidupan –hal itu cukup sering menjadi alasan perceraian.
Mengajarkan Cara Memaafkan
Beruntungnya, Pieces of a Woman bukan film menyebalkan yang sengaja bikin kita jadi ikutan depresi. Akhir kisah ini manis banget, di mana Martha pada akhirnya berani bertindak buat dirinya sendiri: mengatakan kalau Eva enggak bersalah. Sebelumnya, Elizabeth, bahkan Suzanne, sang jaksa penuntut sekaligus sepupu Martha yang oportunis, mengatakan kalau tuntutan ini menguntungkan banget.
Pada akhirnya, film ini mengajarkan kita untuk berani menghidupi kehidupan yang kita mau dan berani untuk mengambil perubahan berarti. Lama-kelamaan, perasaan depresi Martha berangsur-angsur menghilang, tetapi ada hal yang harus dikorbankan kayak pasangan, zona nyaman, dan juga rasa kehilangan.
Penokohan yang Agak Dramatis, Plot dan Sinematografi Apik
Pieces of a Woman adalah film yang berkualitas, tetapi ada beberapa kekurangan yang bikin film ini enggak nyaman buat ditonton.
Martha digambarkan sebagai smart-working woman. Namun, dia justru terlihat kurang pintar saat ikut-ikutan mengambil keputusan untuk enggak pergi ke rumah sakit setelah Eva mengiyakan pertanyaan Sean tentang apakah enggak masalah jika mereka melanjutkan persalinan di rumah.
Tokoh Sean yang panikan dan berpikiran pendek masih bisa dimaklumi (walaupun sedikit) karena pekerjaannya sebagai construction worker. Martha, digambarkan sebagai executive. Namun, buruknya, sebelum persalinan dia enggak mempersiapkan kemungkinan terburuk, padahal, dia adalah wanita modern dengan lingkungan eksklusif.
Tindak-tanduk Martha, alih-alih menggambarkan wanita yang kehilangan anak, berduka, dan juga enggak didukung lingkungan, malah terlihat egois. Film seolah terlalu mendukung Martha, menyoroti kesedihannya yang seolah membutuhkan dukungan dan belas kasihan dari semua orang.
Namun, apakah dia peduli dengan suaminya, yang walaupun enggak melahirkan, tetapi juga depresi? Alih-alih bikin kita berempati dan terlihat depresi dengan cara alami, tokoh Martha malah sering berperilaku seperti cewek manja-drama-enggak jelas.
Hubungan antartokoh juga kadang digambarkan dramatis banget. Sutradara mungkin mau menunjukkan betapa gloomy-nya kehidupan Martha, Sean, dan Elizabeth, tetapi pendekatannya terlalu lebay. Terkait hal ini, akting para pemain enggak bisa disalahkan. Mereka berakting dengan baik, bahkan mereka sangat cocok dengan peran-peran yang dimainkan. Namun, bisa sebaik apa kalau naskah menuntut mereka, terutama Vanessa Kirby, buat menjadi lebay?
Kalau saja proses depresi Martha enggak digambarkan berlebihan, kalau saja pertengkaran antara Sean dan Martha bisa meledak dengan elegan kayak Marriage Story, mungkin film ini bisa jadi salah satu masterpiece yang sulit dilupakan. Sayangnya, membuat formula hubungan suami-istri kayak Marriage Story (2019) itu enggak mudah, dan Pieces of a Woman mungkin lemah di bagian itu karena isu yang bercabang.
***
Pieces of a Woman adalah tontonan berisi dan inspiratif. Jika kalian pernah mengalami kehilangan anak seperti halnya Martha, atau punya ibu yang toksik tetapi enggak pernah bermaksud jahat, film ini akan bikin kalian gregetan dan nangis. Namun, untuk dibilang sangat spesial dan membekas, sepertinya itu terlalu berlebihan. Overall, ini tontonan yang berkualitas, tetapi mungkin kurang membekas.
Bagaimana pendapat kalian soal film Pieces of a Woman? Buat yang sudah nonton, bagikan di kolom review yang ada di awal artikel, ya.