*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.
Cerita: 7,5 | Penokohan: 8 | Efek Suara/Scoring: 8,5 | Visual: 9 | Nilai Akhir: 8,3/10
Telat banget, ya, baru ngebahas Pengabdi Setan sekarang? Biarin aja, deh. Soalnya, sayang rasanya kalau film Indonesia seepik ini enggak Viki ulas. Lebih enak juga kalau telat begini. Viki jadi bisa bahas blak-blakan tentang filmnya dan enggak perlu takut ngasih bocoran. Setuju, dong?
Seperti yang udah lo saksikan sendiri, Pengabdi Setan versi 2017 punya kisah berbeda dari Pengabdi Setan versi orisinal (1980). Kali ini, kisahnya tentang sebuah keluarga bahagia yang enggak lagi bahagia karena carut marutnya kondisi ekonomi setelah sang ibu (Ayu Laksmi) yang seorang penyanyi kondang, meninggal dunia akibat jatuh sakit selama tiga tahun belakangan. Enggak hanya meninggalkan duka, kematian sang ibu ternyata menyisakan misteri yang terus menghantui dan mengganggu keluarga tersebut. Secara perlahan, misteri yang menyelimuti kematian sang ibu pun terungkap dan menjawab arti di balik judul film ini.
Sejujurnya, Viki cukup kaget karena belum pernah ngelihat ada film horor Indonesia yang kehadirannya benar-benar ditunggu sama masyarakat Indonesia kayak Pengabdi Setan. Bahkan, mereka yang tadinya takut dan benar-benar enggak berani nonton film horor pun jadi penasaran sama film besutan Joko Anwar ini. Buktinya pun jelas terlihat lewat hasil Box Office. Hingga saat ini, Pengabdi Setan telah ditonton lebih dari 1,5 juta orang.
Kalau dipikir-pikir lagi, sih, wajar Pengabdi Setan bisa seheboh ini. Selain karena promosi besar-besaran, film ini jadi heboh lewat statusnya sebagai karya daur ulang dari film berjudul sama yang rilis pada 1980. Pengabdi Setan versi orisinal sendiri diakui sebagai salah satu film horor terbaik dan terseram sepanjang sejarah perfilman Indonesia.
Faktor lainnya adalah pengaruh dari sang sutradara, Joko Anwar. Sutradara lulusan Teknik Penerbangan ITB ini memang dikenal punya selera yang beda dari sutradara Indonesia lainnya. Penikmat film Indonesia pun enggak sungkan mengakui Joko sebagai salah satu sutradara terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.
Buktinya terlihat jelas saat lo menonton filmnya. Joko benar-benar serius ngegarap film yang katanya perlu waktu 10 tahun buat direalisasiin. Terlihat jelas upaya Joko untuk membuat Pengabdi Setan jadi sebuah film horor yang matang di semua aspek.
Hal yang terlihat benar-benar apik di mata Viki adalah penggarapan visual yang jarang banget ditemuin di film horor kebanyakan. Bisa dibilang, gaya visual Pengabdi Setan terlihat "Joko Anwar banget" yang mungkin udah pernah lo lihat dalam film-film Joko lainnya. Sinematografi Pengabdi Setan terlihat sempurna dengan penggunaan berbagai teknik, seperti wide shot, close up shot, hingga dutch angle yang bikin suasana mencekam makin terasa.
Hal yang sama juga berlaku pada aspek musik dan suara secara keseluruhan. Karena film ini berlatar 1981, lo pun akan terbawa dengan alunan musik ala 1980-an. Gaya serba-mendetail ala Joko Anwar juga terasa lewat penggunaan suara radio jadul yang bikin suasana nostalgia makin terasa.
Efek suara termasuk salah satu hal yang paling ngeselin dalam film ini, terlebih buat lo yang orangnya penakut. Khikmawan Santosa dan Anwar Moha berhasil menata suara yang memberikan pengalaman mencekam yang tak terlupakan selama 107 menit penayangan. Tentunya hal ini bakal memanjakan lo yang suka banget dikagetin.
Soal efek kejut alias jumpscare, Viki punya pendapat yang mungkin berbeda dari kebanyakan orang yang udah nonton filmnya. Awalnya, Viki berekspektasi bahwa film ini penuh jumpscare yang sama sekali enggak ngasih kendor penontonnya. Ditambah dengan komentar orang-orang yang udah nonton dan warganet yang beranggapan bahwa film ini benar-benar sengeri itu.
Faktanya, anggapan ini terbukti enggak benar setelah Viki udah nonton filmnya. Harus Viki akui, Pengabdi Setan masih kalah dalam urusan jumpscare dengan film horor mancanegara kayak The Conjuring (2013) atau Annabelle: Creation (2017) yang ogah ngasih napas buat penontonnya.
Hal ini bukan berarti negatif, loh. Justru Viki melihat hal ini memang udah direncanain sendiri sama Joko. Joko terkesan enggak mau terlalu mainstream dengan adegan jumpscare yang norak. Makanya, jumpscare yang ada di Pengabdi Setan bisa dibilang lebih menang secara kualitas dibanding kuantitas. Hasilnya, Pengabdi Setan terlihat lebih berkelas dibanding film-film horor Indonesia lainnya.
Joko pun juga agak ngeselin di sini. Dia terlihat jelas berusaha nge-troll lo semua dengan adegan jumpscare yang ternyata enggak nakutin sama sekali, bahkan bikin lo ketawa. Misalnya aja, adegan pas tukang pijit datang ke rumah. Mungkin bagi sebagian orang, hal ini terkesan norak. Viki sendiri nikmatin hal ini. Soalnya, jarang-jarang ada film horor yang berani mainin emosi penontonnya kayak Pengabdi Setan.
Sayang banget, adegan jumpscare yang udah disusun sedemikian rupa buat nakutin dan ngeguncang emosi lo bakal sirna gara-gara satu hal: Tara Basro.
Bercanda, deng. Sebenarnya, enggak begitu-begitu banget, kok. Kehadiran Tara Basro sejujurnya bikin film yang harusnya horor ini terasa adem dan bikin lo lupa kalau lo lagi nonton film horor. Sayang, di balik auranya yang bikin adem, perannya justru jadi salah satu sisi negatif dalam film.
Tara bukannya enggak bekerja dengan baik. Sayangnya, bagi Viki, karakternya sebagai Rini, anak pertama dalam keluarga yang sedang bermasalah, justru terasa hampa dan enggak mampu berkembang. Aktingnya juga tergolong enggak istimewa, dibandingin saat dia bermain dalam film A Copy of My Mind (2015).
Harus diakui, film ini tertolong oleh penampilan super-duper-keren dari M. Adhiyat sebagai pemeran anak bungsu yang bisu, Ian. Untuk ukuran aktor cilik, aktingnya benar-benar keren dan terasa sangat alami. Adhiyat terkesan seperti enggak lagi berakting dan bahkan terasa kayak anak kecil yang bisu sungguhan. Adhiyat juga sukses bikin karakternya so adorable. Viki jamin, deh, selama nonton film ini, lo bakal ngerasa sedih dan putus asa pas nyawanya terancam, apalagi pas bagian klimaks.
Viki juga ngerasa keganggu sama dialog-dialog yang kedengaran agak maksa. Hal ini masih bisa dipahami mengingat Pengabdi Setan menggunakan latar 1980-an yang gaya bahasanya semiformal. Sayangnya, ada beberapa bagian yang enggak konsisten, misalnya penggunaaan kata enggak yang harusnya tidak atau bagian yang sedikit memaksa, kayak area pekuburan yang disebutkan oleh Bondi (Nasar Annuz) yang lebih enak jika disebut pekuburan aja.
Kesan maksa juga terlihat jelas dalam segi alur cerita. Two thumbs up buat Joko Anwar yang mampu bikin sebuah kisah rumit dan menarik seperti yang dia jabarkan dalam Pengabdi Setan. Akan tetapi, upayanya untuk bikin cerita mendetail nan eksotis malah membuat filmnya jadi terlihat enggak sempurna.
Secara keseluruhan, film ini punya cerita yang menarik dan enggak benar-benar mengadaptasi kisah orisinalnya. Joko juga terlihat berusaha bikin logikanya sendiri untuk Pengabdi Setan. Sayangnya, ada banyak "kebocoran" yang Viki jamin bikin lo bingung dan berpikir keras untuk mengerti maksudnya.
Logika yang dibuat sendiri oleh Joko malah terlihat enggak logis. Beberapa poin cerita/adegan terasa rancu dan enggak nyambung. Kalau lo termasuk penonton yang merhatiin detail, Viki yakin pasti lo ngerasa keganggu sama lubang-lubang yang ada.
Sedikit bocoran, beberapa poin cerita yang Viki anggap paling mengganggu. Misalnya saat Rini menanyakan kepada Bapak (Bront Palarae) apa yang dibicarakannya pada sang ibu sebelum meninggal. Enggak cuma Rini, Viki dan lo yang nonton pun pasti penasaran. Soalnya, adegan ini terlihat seperti jadi poin penting yang berkaitan dengan cerita. Nyatanya, setelah Rini memaksa Bapak untuk menjawab pun, pertanyaan ini pada akhirnya enggak terjawab sampai film tuntas dan udah dilupain begitu aja.
Begitu juga saat sang bapak pergi setelah ibu meninggal. Anehnya, dengan rentetan kejadian enggak ngenakin yang dialaminya bersama adik-adiknya, Rini atau Tony (Endy Arfian) sebagai anak paling dewasa enggak berusaha buat ngehubungin bapaknya. Apalagi saat sang nenek (Elly D. Luthan) tewas secara misterius. Padahal, sang nenek adalah ibu dari bapaknya. Aneh rasanya kalau mereka enggak berusaha buat nyari bapaknya. Yang ada, mereka malah berusaha buat menyelesaikan masalahnya sendiri.
Lemahnya plot cerita ini bakal lebih terasa saat film mendekati klimaks. Dimulai dari si bapak yang nyuruh anaknya tidur duluan saat nunggu truk pindahan. Eh, tahu-tahunya si bapak malah ikutan bobok ganteng di ranjang, pakai piyama pula. Terus saat adegan Ian "diculik". Sang bapak udah ngerelain begitu aja dan enggak ada usahanya. Padahal, sebelumnya dia mati-matian berusaha nyelamatin sang anak.
Segala kebocoran yang terdapat di segi plot ini ditambal dengan elegan lewat twist plot ala film-film horor mainstream. Twist ini bagi sebagian orang pasti terasa "wah". Ditambah, twist ini melibatkan Ian, si sosok paling adorable di sepanjang film yang bikin penonton terbawa suasana emosional dan mampu bikin penonton ngelupain hal-hal yang enggak logis dalam plot.
Bagian ending yang absurd? Hmm, anggap aja film ini adalah prekuel dari Pengabdi Setan versi orisinal atau Joko bakal bikin versi sekuelnya. Soalnya, kalau lo enggak punya anggapan seperti itu, film ini bakal terasa benar-benar absurd. Semoga aja Joko mau bikin sekuelnya dan bisa "menambal kebocoran" yang ada di film ini.
Di balik segala kelemahan yang ada, Pengabdi Setan adalah film horor yang wajib banget lo tonton. Secara keseluruhan, film ini mampu menghibur lo yang enggak suka film horor sekalipun. Film ini juga sayang banget buat dilewatin. Soalnya, di Pengabdi Setan, lo bakal ngelihat bagaimana kerennya jika film horor Indonesia—yang dulu selalu erat dengan kesan cabul atau jayus—digarap oleh sutradara yang punya visi dan selera beda kayak Joko Anwar.
Enggak bisa dimungkiri bahwa Joko Anwar mampu menyajikan sebuah pengalaman horor yang mencekam sekaligus menyenangkan. Kemampuan Joko terbukti lewat sajian visual dan teknik produksi kelas wahid yang bikin Pengabdi Setan terlihat wajar dengan peraihan 13 nominasi penghargan FFI 2017.
Sisi positif lainnya, Pengabdi Setan juga bisa menjadi benchmark bagi produser dan sutradara lain untuk bikin film horor yang berkelas dan elegan. Jadi, enggak usah heran kalau ke depannya film-film horor Indonesia punya kualitas dan selera yang sama, bahkan lebih baik daripada sekarang. Semoga aja, ya!