*(SPOILER ALERT) Artikel ini mengandung sedikit bocoran yang semoga saja enggak mengganggu buat lo, ya.
Sukses dengan trilogi Lord of the Rings dan The Hobbit, Peter Jackson kembali mencetak karya baru berjuluk Mortal Engines. Film ini merupakan adaptasi seri pertama dari novel tetralogi karya Phillip Reeve yang rilis pada tahun 2001-2006.
Pada proyek ini, Jackson enggak duduk di kursi sutradara. Pria berusia 57 tahun ini didapuk menjadi sutradara. Menghadirkan konflik politik dalam latar dunia paskaapokalips, Mortal Engines tampil dengan visual yang memesona. Namun apakah cerita yang diusung sukses memikat para penonton? Yuk, langsung aja lo simak ulasannya di bawah.
Sisa Peradaban di Atas Roda Raksasa
Dalam keadaan dunia yang hancur, manusia terpaksa hidup nomaden. Mereka tinggal di dalam kota yang digerakkan oleh roda dan mesin. Hidup bak di hutan rimba, kota-kota kecil menjadi mangsa dari kota predator yang mengincar sumber daya. Digerakkan oleh mesin, tentu kota raksasa tersebut membutuhkan bahan bakar yang enggak sedikit. Karena itulah London selalu memburu kota kecil untuk dikorbankan.
Tokoh sentral di film ini adalah Hester Shaw (Hera Hilmar). Cewek yang mudah dikenali dari luka di wajahnya ini menyimpan dendam kepada arkeolog kota London bernama Thaddeus Valentine (Hugo Weaving). Berusaha bertahun-tahun untuk menginfiltrasi, harapan Shaw menjadi kenyataan setelah London ini melahap kota kecil yang sedang ditempati olehnya. Di luar pengetahuan Shaw, Thaddeus ternyata memiliki rencana jahat yang bisa menghancurkan dunia dalam seketika.
Visual Juara, Namun Cerita Biasa Aja
Salah satu nilai jual utama dari film ini bukanlah pemeran ataupun cerita, melainkan keindahan visual yang mengundang decak kagum. Dari berbagai film dengan keindahan visual efek seperti Infinity War (2018), Interstellar (2014), Blade Runner 2049 (2017) dan Avatar (2009), Mortal Engines patut berada di jajaran atas sebagai tontonan yang memanjakan mata.
Megahnya jajaran kota melintasi sabana, sampai keindahan Airhaven, kota persinggahan di antara awan, sukses disajikan dengan detail. Salah satu adegan paling memukau adalah ketika London mengejar kota tambang kecil di babak awal. Penuh keseruan dan detail yang memesona, momen ini terasa sangat berkesan. Acungan jempol buat sang sutradara, Christian Rivers, yang memang udah khatam dalam menyajikan visual memesona, seperti yang ditampilkan pada trilogi The Lord of the Rings (2001-2003) dan King Kong (2005).
Namun sayangnya, keelokan ini akan terasa biasa aja ketika memasuki babak pertengahan. Cerita yang tadinya diharapkan bisa mengikat para penonton, enggak berhasil berjalan dengan baik. Setiap plot yang disajikan, selalu bisa tertebak pada akhirnya.
Terlalu Banyak Tokoh yang Ditampilkan
Salah satu hal yang cukup mengganggu adalah penonton dipaksa untuk mengikuti latar belakang dari banyak karakter di film ini. Memiliki kisah yang berbeda-beda, durasi yang sangat berharga enggak dipakai untuk lebih fokus kepada beberapa karakter utama. Saran Kincir, jangan meleng pas nonton Mortal Engines, karena kemungkinan besar lo akan jadi bertanya-tanya “Eh, dia siapa, ya? Kok tiba-tiba muncul”.
Ekspektasi lo akan menjadi tinggi ketika menyaksikan babak awal di film ini. Penuh aksi dan visual yang keren, enggak bisa dimungkiri kalau Mortal Engines bisa bikin lo duduk manis. Sayangnya, ekspektasi yang telanjur tinggi menjadi enggak terbayarkan setelah menyaksikan konklusi dari film ini. Tertebak dan kurang menampilkan twist, film keluaran Universal Pictures ini enggak menampilkan ending yang ‘wah’.
Jihae Tampil Bersinar
Mortal Engines mengambil langkah berani dengan menampilkan Jihae sebagai Anna Fang, sosok mata-mata badass yang sukses bikin kagum. Diperankan oleh Jihae yang merupakan penyanyi asal Korea Selatan, cewek berusia 30 tahun ini baru melakoni debut di layar lebar pada film fiksi ilmiah berjudul 2B (2009). Sembilan tahun berselang, Jihae berhasil meraih atensi berkat perannya sebagai Anna Fang.
Sigap, cepat mengambil keputusan dan rela berkorban adalah sedikit dari banyak aspek dari Anna Fang yang bikin kagum. Apalagi kalau ngomongin tampilannya, level cool-nya udah kelewatan banget. Sosok Fang bahkan lebih mencuri sorotan daripada protagonis utama, Hester Shaw, yang diperankan oleh Hera Hilmar.
***
Berbekal visual ‘mahal’, Mortal Engines enggak berhasil memikat penonton dengan cerita dan plot memikat. Walaupun memiliki beberapa kelemahan, film ini masih menyajikan tontonan yang cukup menghibur. Pertempuran melawan kota raksasa berhasil disajikan dengan penuh ketegangan. Hadir seminggu lebih cepat dibandingkan layar di Amerika, Mortal Engines udah bisa lo nikmati di bioskop kesayangan. Jangan lupa balik lagi ke sini untuk ngasih ulasan versi lo, ya!