*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.
Cerita: 7 | Penokohan: 8 | Efek Suara/Scoring: 8 | Visual: 7 | Nilai Akhir: 7,5/10
Pada dasarnya, sebuah film daur ulang berpotensi besar buat gagal, sama halnya kayak adaptasi. Nasib yang bisa dihadapi sebuah remake yang gagal adalah dikritik habis-habisan dan dianggap enggak perlu dibuat. Untungnya, film yang satu ini cukup keren buat bikin lo terkesan. Ditayangin secara ekslusif selama Japanese Film Festival 2017 di CGV Grand Indonesia, Memoirs of a Murderer seharusnya dapat jadwal tayang yang lebih lama di bioskop Tanah Air.
Memoirs of a Murderer alias 22 Nenme no Kokuhaku: Watashi ga Satsujinhan desu adalah remake dari film Korea Confessions of a Murder yang rilis pada 2012. Pada 1995, terjadi lima kasus pembunuhan berantai di Jepang. Wataru Makimura (Hideaki Ito) menyelediki kasus ini dan mencoba menangkap sang pembunuh. Namun, bukannya tertangkap, sang pembunuh malah melancarkan kembali serangannya dan menyebabkan atasan Wataru terbunuh.
Kini, 22 tahun setelah kasus tersebut yang telah ditutup oleh kepolisian karena statusnya yang kedaluwarsa, sang pembunuh nampakin dirinya ke publik dengan membawa sebuah memoar berjudul Watashi ga Satsujinhan desu (I Am a Murderer) yang diterbitin. Memoar yang dibuat dari sudut pandang sang pembunuh tersebut ditulis oleh Masato Sonezaki (Tatsuya Fujiwara) yang langsung jadi idola para gadis karena wajahnya yang tampan.
Remake ini bisa dibilang cukup jujur sama film aslinya meski pada akhirnya jadi lebih fokus ngebahas sisi psikologis korban dan sang pembunuh. Film ini dibuka dengan cukup singkat dan jelas. Peristiwa pada 1995 diambil dari sudut pandang media yang heboh, ditambah lagi latar belakang gempa besar Kobe pada tahun yang sama, bikin film ini terasa hidup. Pembukanya udah cukup bikin mood naik dan lo enggak bakal sabar pengen tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Jelas, yang terjadi selanjutnya adalah peristiwa yang udah dikasih tahu di sinopsisnya. Namun, selama 117 menit, sang sutradara, Yu Irie, enggak bakal ngebiarin lo ngikutin film ini dengan santai. Ketegangan dibangun bukan dengan aksi ala Mission Impossible, melainkan dengan kontradiksi antara pembunuh yang populer dan para korban yang rasa sakit hatinya belum kunjung hilang. Apalagi, sang pembunuh udah enggak bisa dihukum karena kasusnya dianggap basi.
Visualnya yang cenderung gelap dan suram bikin film ini jadi lebih gloomy daripada film aslinya. Flashback dari peristiwa 1995 dan gempa Kobe dibikin alami banget dari sudut pandang media. Yang Viki suka dari sinematografinya adalah angle kamera yang cukup dinamis dan enggak monoton. Beberapa kali kamera media digunain buat nunjukin ketegangan yang dibutuhkan dalam film ini, pada saat yang sama, juga nunjukin dark comedy.
Film ini cukup cerdas masukin unsur media sosial sebagai salah satu penyebab kepopuleran Sonezaki. Hal itu justru jadi ironi yang nunjukin situasi “zaman now” yang identik sama hal-hal yang lagi viral meski hal itu punya dampak buruk bagi orang lain yang ngalamin. Perasaan para korban satu per satu ditampilin tanpa terjebak drama dalam porsi yang pas.
Akting Fujiwara dijamin bakal bikin lo geregetan sama si pembunuh yang narsis abis! Bagaimana enggak, Masato kelihatan banget nikmatin popularitasnya sebagai pembunuh yang mencetak kesuksesan lewat buku pengakuannya. Bahkan, dia mendatangi salah satu korbannya buat minta maaf. Itu semua dia lakuin demi ketenaran semata. Berkat aktingnya yang mumpuni, lo bakal diajak ngebenci Masato yang narsis sampai akhirnya berbalik simpati.
Ito juga sukses bikin lo bertanya-tanya, sebetulnya misteri apa yang disembunyiin sama dia. Yang jelas, kalau merhatiin baik-baik, lo bakal sadar bahwa Irie-san udah ngasih cukup banyak petunjuk sejak awal. Salah satunya adalah saat Makimura ketemu sama Dokter Akihiro Yamagata (Ryo Iwamatsu) yang istrinya jadi korban 22 tahun lalu. Juga, saat Sonezaki bilang bahwa popularitasnya belum cukup dan dia mau wawancara live di stasiun televisi. Semua petunjuk itu disiapin dengan baik demi twist plot yang ngeselin.
Dari keseluruhan rangkaian cerita yang disusun dengan pas, sayangnya, Memoirs of a Murderer malah ditutup dengan antiklimaks. Kenya Hirata dan Irie-san udah oke banget ngegarap naskah film ini sehingga jadi remake yang enggak membosankan. Bahkan, mereka dengan cerdas mengeksplorasi sisi psikologis korban dan sang pembunuh sekaligus dengan nambahin PTSD (post-traumatic stress disorder) alias stres pascatrauma setelah ngalamin sesuatu yang mengerikan dalam plot utamanya.
Film dengan twist plot yang mengejutkan seharusnya berakhir saat twist plot tersebut terungkap. Sayangnya, film ini malah jadi antiklimaks karena penyelesaian yang diberikan enggak sepadan sama ketegangan yang udah dikasih sejak awal. Namun, pastiin aja lo nonton film ini sampai benar-benar selesai karena masih ada kejutan lainnya yang menanti.
Memoirs of a Murderer adalah crime thriller yang cukup asyik dengan latar yang Jepang banget. Remake ini pun bisa cukup berhasil jadi dirinya sendiri dengan tetap jujur sama film aslinya. Dua jempol buat duet Fujiwara dan Ito yang udah bikin film daur ulang ini jadi seru dengan gayanya sendiri!