*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.
Cerita: 9 | Penokohan: 10 | Efek Suara/Scoring: 8 | Visual: 8 | Nilai Akhir: 8,75/10
Sejujurnya, sebelum berita dan promosinya tersebar di mana-mana, Viki enggak tahu betul apa itu It. Makanya, beda sama penggemar novel-novel Stephen King pada umumnya, Viki enggak begitu berharap banyak sama film ini. Khususnya pascapromosi besar-besaran yang dilakukan Warner Bros. Sempat muncul pikiran bahwa film ini bakal flop dan bernasib sama kayak Dark Tower.
Tentunya, sulit buat mengadaptasi sebuah karya yang udah punya nama dan reputasi. Produser, sutradara, pemeran, dan semua yang terlibat dalam produksi sebuah film adaptasi bakal dihadapin sama tugas berat buat bikin sebuah film yang bisa nyamain keepikan sumber adaptasinya. Nyatanya, keraguan Viki enggak terbukti. It adalah film fenomenal karena berhasil menyamai keepikan karya yang sama-sama fenomenalnya.
Garis cerita film It benar-benar mengadaptasi source material-nya. Ini dimulai dari latar di musim panas pada 1989 di kota kecil bernama Derry. Semuanya dimulai ketika Billy (Jaeden Lieberher) mengajak teman-temannya buat mencari adiknya yang hilang tanpa jejak, Georgie (Jackson Robert Scott). Billy berdeduksi hilangnya Georgie berhubungan dengan kasus orang hilang lainnya yang lagi marak di Derry. Dalam upaya pencarian Georgie, Billy dkk yang menamakan kelompoknya sebagai "The Losers Club", harus berhadapan dengan iblis berwujud badut yang ternyata jadi sosok di balik hilangnya warga Derry secara misterius, termasuk Georgie.
Sebagai orang yang belum pernah baca novelnya atau pun nonton serial mininya yang tayang pada 1990, Viki enggak ngerasa bingung sama cerita yang digarap oleh sutradara Andy Muschietti dan penulis skenario Cary Fukunaga. It mampu nyajiin sebuah cerita yang kompleks namun gampang dipahami, bahkan bagi yang enggak tahu sama sekali dengan kisah It.
Bagian awal film mungkin bikin sebagian orang bosan karena di tahap inilah seluruh kisah dibangun beserta tokohnya. Muschietti dengan sukses manfaatin durasi 135 menit buat ngenalin karakter-karakter yang ada. Enggak ada bagian yang percuma dan cerita yang hampa. Semuanya dibangun dengan berkelas dan enggak membosankan kayak film-film panjang pada umumnya.
Buat ukuran film horor, It bisa dibilang adalah yang paling kuat sisi dramanya dibanding film-film horor lain yang pernah Viki tonton. Emosi lo bakal terbawa seiring berjalannya film. Muschietti dan Fukunaga wajib banget diapresiasi karena berhasil bikin unsur drama ini enggak menjurus ke hal-hal klise.
Soal adegan horor, It punya kasus berbeda dari film horor mainstream kayak Conjuring, Insidious, atau Annabelle yang penuh dengan jumpscare yang enggak ada kendornya. Adegan jumpscare dalam It lebih tepat disebut rapi dan terencana dibanding bombastis. Lo bakal nemuin beberapa kali adegan jumpscare yang ngeselin abis karena kemunculannya enggak terduga. Misalnya, abis adegan ketawa-ketiwi, atau adegan drama sentimentil, enggak sadar tiba-tiba lo teriak sendiri. Siap-siap aja, guys.
Unsur horor dalam It bisa ngebuktiin prinsip "kualitas lebih baik daripada kuantitas". Enggak ada adegan jumpscare yang murahan. Adegan jumpscare-nya memang enggak banyak. Akan tetapi, sekali keluar, cukup banget bikin lo teriak hingga lo speechless sendiri saking enggak kuat buat ngerasa kaget atau takut, bahkan buat yang enggak punya fobia badut sekalipun.
Satu hal yang lo bakal rasain saat nonton It adalah semuanya terasa begitu alami. Rasanya enggak kayak nonton film, melainkan seperti masuk ke dalam dunianya. It juga mampu mengombinasikan unsur horor dengan humor dengan baik. Humornya pun terbangun dengan rapi dan alami sehingga lo bisa aja tertawa di saat tensi lagi tegang-tegangnya.
Keapikan It dalam membangun cerita yang rapi ini bisa dibilang berkat akting para pemerannya yang total dan berkualitas, khususnya para pemeran cilik yang tergabung dalam The Losers Club. Keberadaan artis cilik dalam sebuah film sebenarnya bisa jadi berkah. Tanpa akting yang total, kelucuan dan keluguan mereka bisa jadi nilai tambah di mata penonton.
Di It, lo bakal dapatin “bonus”. Para artis cilik benar-benar tampil dengan seluruh kemampuannya. Merekalah yang mampu ngebawa suasana dan emosi penontonnya lewat chemistry yang kuat. Rasanya, mereka benar-benar kayak udah berteman lama dan enggak terasa lagi berakting.
Penampilan apik para artis cilik ini diimbangi sama akting luar biasa dari Bill Skarsgard sebagai badut Pennywise. Memang, sih, sosok Pennywise lebih banyak tampil dalam wujud CGI. Akan tetapi, isu tersebut enggak jadi masalah karena Skarsgard sukses mengubah citra komikal Pennywise versi serial yang diperanin Tim Curry jadi Pennywise yang bikin ngeri dan jauh dari kesan humanis. Semuanya berkat permainan ekspresi, suara, dan pandangan mata Skarsgard yang disturbing abis.
Rating R dalam film ini juga dimanfaatin dengan baik oleh Muschietti. Saking baiknya, It enggak ragu buat nunjukin unsur sadisme terhadap anak-anak, di saat banyak film sejenis yang enggak berani melakukannya. Sejujurnya, adegan pembuka yang ngelibatin Georgie dan Pennywise bikin Viki speechless. Adegan ini pun terasa seperti pesan buat penontonnya kalau It serius dan enggak main-main buat nakutin lo semua.
Secara keseluruhan, It sebenarnya belum bisa disamain dengan film adaptasi novel King lainnya, seperti The Shining atau The Mist. Akan tetapi, untuk ukuran film horor, It mampu membawa hal baru yang membuatnya berbeda dengan film-film horor lain. Semuanya berkat sutradara Muschietti yang sukses “nerjemahin” kengerian sekaligus keabsurdan King sebagai penulis yang punya imajinasi setinggi langit. Belum lagi penampilan apik dari para pemerannya yang bikin film ini terasa seperti punya ikatan emosi dengan penontonnya.
Sedikit bocoran, It sebenarnya berjudul It: Chapter One. Artinya, film ini bakal ada sekuelnya. Muschietti sendiri ngasih konfirmasi bahwa It kedua bakal fokus pada kisah asal-usul Pennywise. Sang sutradara juga bilang bahwa dirinya bakal lebih fokus buat It kedua.
Tentunya, menarik buat nungguin penampilan Skarsgard sebagai Pennywise dengan perannya yang lebih mendalam di It kedua. Sayangnya, lo enggak akan bisa melihat penampilan para artis cilik pemeran The Losers Club. Soalnya, berdasarkan novelnya, babak kedua It bercerita tentang mereka yang tumbuh dewasa. Hal ini pastinya bakal munculin pertanyaan, apakah It mampu bertahan tanpa para artis cilik? Semoga aja bisa, ya!