*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.
Cerita: 8 | Penokohan: 8 | Efek Suara/Scoring: 7 | Visual: 8 | Penyutradaraan: 9 | Nilai Akhir: 8/10
Perfilman Indonesia makin berkualitas dengan munculnya karya-karya yang berhasil mendunia. Salah satunya, tahun ini ada film Hoax dengan slogan “Siapa yang Bohong?” yang digarap secara brilian oleh Ifa Isfansyah. Film yang awalnya berjudul Rumah dan Musim Hujan ini diputar perdana secara nasional di Jogja-NETPAC Asian Film Festival pada Desember 2012.
Selain secara nasional, film ini juga diputar secara internasional dalam International Film Festival Rotterdam pada Januari 2013 dan Southeast Asian Film Festival (SEAFF) 2013 dengan judul One Day When the Rain Falls. Enggak bisa dimungkiri, kualitas film festival enggak sembarangan. Penggarap film enggak hanya bikin cerita yang cerdas, tapi juga film yang ngasih kesan mendalam.
Sinopsis: Film ini menghadirkan tiga kisah tentang sebuah keluarga Jawa. Kisah pertama tentang keseharian dan rahasia Ragil, anak kedua, yang tinggal bersama bapaknya. Kedua, tentang Adek, anak bungsu yang tinggal bersama ibunya dan terjebak dalam sebuah peristiwa mistis. Ketiga, tentang Raga yang tinggal serumah bersama tunangannya dan mengalami kemalangan setelah mantan Raga hadir.
Sebuah kiriman dibagikan oleh INDY Pictures (@indypictures_id) pada
Tokoh utama dalam tiga kisah tersebut punya rahasia yang berbeda-beda. Itulah yang jadi dasar cerita film ini, tepat seperti penggambaran dalam posternya. Uniknya, Ifa ngasih cerita yang enggak sembarangan. Setiap adegan dan momen punya benang merahnya. Lewat latar tiga rumah di Yogyakarta, para tokoh berhasil menghidupkan masing-masing rumah dengan seimbang pada tiap chapter-nya.
Tampilan tiga latar bukanlah tanpa alasan. Tiga judul yang berbeda pun, Hoax, Rumah dan Musim Hujan, dan One Day When the Rain Falls juga ngasih interpretasi tersendiri. Bisa dibilang, tiga judul tersebut sama-sama cocok. Segala adegan dan detail kisah selalu mengambil latar rumah dan hujan yang saat itu memang sedang deras turun. Sedangkan, latar waktunya hanya satu malam dengan plot cerita yang kuat lewat konflik masing-masing latar.
Seakan-akan, latar rumah adalah kotak Pandora yang masing-masing punya malapetaka. Ifa punya cara yang cerdas untuk ngegambarin tiga rumah tersebut. Rumah pertama bergaya kuno khas Yogyakarta dengan pintu yang masih bentuk empat daun, lantai dan perabot jadul dengan suasana hangat dan sendu.
Perasaan sendu rumah pertama terlihat kontras dengan rumah kedua yang tinggi besar bertipe modern di perumahan yang sedang mati lampu. Dingin dan menakutkan. Nah, konflik segalanya bakal diakhiri di rumah ketiga yang berada di kawasan elite, berarsitektur minimalis dengan warna cerah, dan memiliki perabot yang modern.
Menariknya, film hanya diperankan sembilan orang. Itu pun udah termasuk dua peran figuran. Kesan yang didapat dari tiga rumah tersebut tentu didukung dengan kontribusi dari jajaran sineas yang jam terbangnya udah tinggi. Sebut aja Jajang C. Noer, Landung Simatupang, Tora Sudiro, Vino G. Bastian, Tara Basro, dan Aulia Sarah. Mereka sukses ngasih kesan film dan situasi dengan bahasa tubuh daripada bahasa verbal.
Efek suara yang didominasi suara hujan berhasil ngasih efek misterius dan menegangkan pada tiap adegannya. Seakan, hujan deras jadi suara alam yang menutupi kengerian sebenarnya. Ditambah, visual gelap dan suram bikin lo bergidik dan nebak-nebak ke mana arah ceritanya.
Sebuah kiriman dibagikan oleh INDY Pictures (@indypictures_id) pada
Alhasil, treatment yang nendang ditunjukin oleh para pemain yang bikin film ini multitafsir. Lewat tiga pemain utama dalam tiga rumah, dengan an tiga macam perasaan dalam satu latar waktu, ngasih interpretasi yang bermacam-macam. Yap, interpretasi apa pun tentang film ini enggak ada yang salah. Itulah yang bakal bikin karya Ifa ini pantas dapat penghargaan secara nasional dan internasional.
Makanya, film ini benar-benar berunsur omnibus yang menempatkan banyak hal di dalam satu benang merah. Meski sepanjang film lo hanya dihadapkan konflik-konflik, pada akhir film lo bakal dikasih punch-ending yang singkat dan brilian. Tentunya, film Ifa yang satu ini benar-benar unik dan cerdas.
Bukan hanya film Hoax yang out of the box, karya-karya Ifa lainnya juga sama-sama cerdas. Misalnya Garuda di Dadaku (2009), Sang Penari (2011), dan Turah (2016). Bisa dibilang, Ifa merupakan sutradara yang serbabisa. Genre yang digarap pun bermacam-macam. Ide-ide liar nan briliannya sukses bikin plot cerita dan detail sinematografinya patut diperhitungkan.
Dilansir Rumah dan Musim Hujan, Ifa ngasih pernyataan bahwa dia selalu tertarik bikin film tentang hubungan antarmanusia. Dia pun memulai film panjang pertamanya ini dari unit terkecil di mana hubungan antarmanusia terjadi, yaitu keluarga.
Film ini berganti judul jadi Hoax karena sesuai dengan zaman digital ini yang kebanyakan orang percaya pada suatu berita yang belum tentu benar. Berita tersebut “dimakan” tanpa cari tahu dari mana asalnya dan kebenarannya. Itulah yang kerap terjadi di Indonesia atau pun di dunia saat ini. Makanya, judul Hoax seakan cocok nggambarin film ini saat semua pemainnya diceritakan punya rahasia yang ditutupinya.
“Rumah adalah salah satu kebutuhan utama keluarga yang harus berinteraksi di antara mereka. Namun, masing-masing anggota keluarga memiliki pandangan dan pemahaman berbeda tentang arti rumah itu sebenarnya. Lewat perbedaan tersebut, cerita ini akan dimulai," ujar Ifa.
FYI, film ini sebenarnya udah digarap tujuh tahun yang lalu. Film keluarga ini cocok buat lo yang suka film omnibus. Film yang penuh dialog satire ini bakal ngebuka pikiran lo tentang kehidupan manusia. Kabar baiknya, film festival ini bakal dikomersialkan mulai 1 Februari 2018 di bioskop Indonesia. Biar enggak penasaran, lo bisa tonton cuplikannya di bawah ini.