*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung sedikit bocoran film The Half of It yang bisa aja mengganggu buat kalian yang belum nonton.
Pada Mei 2020 ini, Netflix kerap menyajikan sejumlah film orisinal garapan mereka. Salah satunya adalah The Half of It yang merupakan film kedua dari Alice Wu sebagai sutradara setelah pada 2004 silam menggarap Saving Face.
Dalam Half of It kalian bakal disajikan dengan sebuah drama komedi-romantis antara tiga sosok karakter, yaitu Ellie Chu (Leah Lewis), Aster Flores (Alexxis Lemire), dan Paul Munsky (Daniel Diemer). Pada suatu hari, Paul meminta bantuan dari Ellie untuk menyatakan rasa sukanya terhadap Aster dengan menggunakan sebuah surat. Namun, masalah pun datang ketika terungkap bahwa Ellie juga memendam rasa kepada Aster. Lantas, bagaimana mereka menyelesaikan konflik tersebut?
Nah, sebelum kalian nonton Half of It secara streaming, yuk, simak dulu ulasan KINCIR di bawah ini!
Bukan Kisah Cinta Remaja Biasa
Karakter yang menjadi fokus utama dalam Half of It adalah Ellie Chu, seorang gadis keturunan Tiongkok yang sangat jago menulis di sekolahnya. Kemampuannya tersebut pun dia gunakan untuk membuka jasa mengerjakan pekerjaan rumah teman sekelasnya dengan tarif yang cukup murah. Enggak cuma itu, Ellie juga ahli dalam bermain alat musik, seperti gitar dan piano.
Pada suatu hari, Paul Munsky pun meminta bantuan Ellie buat menuliskan sebuah surat cinta kepada Aster Flores yang merupakan gadis cantik dan populer di sekolah mereka. Alasan Paul meminta tolong Ellie adalah karena dia mengaku kesulitan untuk mengutarakan kata-kata dan berinteraksi langsung dengan Aster. Meskipun pada awalnya menolak, Ellie akhirnya membantu Paul untuk merebut hati Aster lewat media surat.
Seiring berjalannya waktu, hubungan pertemanan antara Ellie dan Paul menjadi sangat erat. Enggak cuma itu, Paul juga berhasil melangsungkan kencan dengan Aster setelah sekian kali surat-menyurat dengannya berkat bantuan Ellie. Akan tetapi, ternyata bukan cuma Paul aja yang menyukai Aster, melainkan juga Ellie yang bisa dibilang lebih intens berkomunikasi dengannya. Konflik percintaan antara mereka bertiga pun dimulai pada titik ini.
Dalam sebuah film komedi-romantis remaja sekolahan, mungkin kalian bakal mengira kalau sang protagonis utama akan mendapatkan cintanya dan berakhir bahagia ‘kan? Nah, menariknya hal tersebut enggak berlaku dalam Half of It.
Film ini lebih mengajarkan untuk mencari ‘bagian’ atau sosok orang yang dapat melengkapi kehidupan kita. Namun hal yang membuatnya unik adalah, sosok pelengkap tersebut enggak dijelaskan secara harfiah dalam wujud apa, entah itu sebuah hubungan romantis atau sekadar pertemanan biasa. Intinya, Half of It bukan sekadar drama percintaan remaja pada umumnya.
Pemecahan Konflik yang Terburu-buru
Dalam pembangunan jalan ceritanya, Alice Wu selaku sutradara terbilang sukses pada bagian awal hingga tengah dari film ini. Sebab, kita jadi mengetahui hal yang melatar belakangi watak dari tiap tokoh yang tentunya penting untuk rasa relate antara penoton dengan karakter di filmnya. Lalu, kita juga disajikan secara apik dengan pembangunan hubungan pertemanan Ellie dan Paul yang menjadi fokus utama film ini sejak awal.
Sayangnya, konflik utama dari film ini mulai disajikan menjelang akhirnya. Hal ini tentunya membuat pemecahan masalah inti tersebut menjadi terburu-buru dan cenderung enggak masuk di akal, karena terbatas oleh durasi filmnya. Padahal, seandainya konflik tersebut dihadirkan lebih awal, ending dari Half of It bakal jauh lebih bagus lagi dengan kontinuitas pembangunan cerita serta konflik yang konsisten sejak pembuka hingga akhir film.
Kepribadian Karakter yang Saling Melengkapi
Seperti yang udah dibahas sedikit di atas, Half of It merupakan film yang mengajarkan untuk mencari sosok pelengkap dari kehidupan kita. Menariknya, hal ini diwujudkan dalam dua karakter yang ada pada filmnya, yakni Paul dan Ellie. Paul yang merupakan atlet american football digambarkan sebagai cowok dengan perasaan yang peka, walaupun enggak memiliki pengetahuan luas tentang buku dan lainnya.
Sedangkan, Ellie yang memiliki pengetahuan luar biasa tentang literasi, terlepas dari kepribadiannya yang dingin dan terkesan sulit mengungkapkan emosinya. Hal ini tentunya membuat mereka saling melengkapi dalam hubungan pertemanan mereka, terlepas dari kekurangannya masing-masing. Uniknya lagi, mereka sama-sama menyukai Aster yang bisa dibilang memiliki kepribadian sempurna yang merupakan gabungan dari keduanya.
Sinematografi Apik dengan Scoring Asyik
Soal sinematografi, seharusnya The Half of It udah enggak perlu diragukan lagi mengingat filmnya diproduksi oleh Netflix. Salah satu poin tambah dari sinematografinya adalah unsur pewarnaan dari tiap adegannya yang bisa dibilang menggambarkan mood masing-masing karakter. Jadi, ketika salah satu karakternya sedang merasa sedih, adegannya akan dipenuhi dengan pewarnaan cahaya yang cenderung kelam. Begitu juga sebaliknya saat sang tokoh merasa senang.
Konsep menyesuaikan dengan mood karakter ini pun turut dilakukan di bagian scoring-nya yang selalu tepat sasaran dalam tiap adegannya. Enggak cuma itu, sejumlah soundtrack yang dihadirkan dalam film ini juga terbilang asyik untuk didengarkan dan terasa sukses menggambarkan tema percintaan remaja di SMA.
***
Secara garis besar The Half of It cocok ditonton buat kalian yang suka dengan drama percintaan remaja yang anti-mainstream. Kalian udah bisa menonton film ini di layanan Netflix sejak 1 Mei lalu.
Nah, kalau kalian udah nonton The Half of It, jangan lupa buat tulis pendapat kalian dalam kolom review yang ada di bagian atas artikel ini, ya! Nantikan ulasan menarik film lainnya hanya di KINCIR!