(REVIEW) Ghost in the Shell: Memanjakan Mata, Mengecewakan Sukma

Cerita: 6 | Penokohan: 6 | Visual: 9 | Sound Effect/Scoring: 8 | Nilai Akhir: 7.3/10

 

Perilisan film live-action Ghost in the Shell memicu perdebatan di kalangan penikmat film. Mayoritas mempermasalahkan kontroversi whitewashing yang lagi jadi isu hangat di dunia perfilman Hollywood. Terhitung hari ini, Ghost in the Shell kandas di box office. Whitewashing dipercaya jadi alasan utama kegagalan film arahan sutradara Rupert Sanders ini. Padahal, permasalahan yang lebih serius dari isu whitewashing tersebut adalah kenyataan kalau film ini enggak sesuai judulnya. Ghost in the Shell lebih pantas disebut "No-Ghost in the Shell", melihat betapa hampa dan datarnya film ini secara emosional jika dibandingkan dengan versi orisinalnya.

Ghost in the Shell adalah sebuah film adaptasi dari anime ikonis karya Masamune Shirow yang tayang di tahun 90-an dengan judul yang sama. Film ini sendiri berkisah tentang seorang cyborg bernama Major Mira Killian (Scarlett Johansson) yang tergabung dalam tim bernama District 9 sebagai pembasmi kejahatan dan terorisme. Konflik dimulai saat seorang teroris siber membunuh sejumlah petinggi perusahaan robot bernama Hanka Robotics. Major merasa terpanggil untuk memburu sang teroris yang terus menghantuinya lewat mimpi. Major enggak berjuang sendiri. Dia dibantu oleh Batou (Pilou Asbaek) beserta anggota District 9 lainnya yang dipimpin oleh Daisuke Aramaki (Takeshi Kitano).

Sebagai film adaptasi, Ghost in the Shell tetap melekat dengan versi orisinalnya. Ada sejumlah adegan yang terlihat mirip dengan adegan dalam versi animenya. Misalnya adegan saat Major melakukan "diving" dengan baju semi-nude. Belum lagi adegan pertarungan antara Major dan Spider Tank yang membuat lo bernostalgia. Ada juga perbedaan yang bakal lo lihat di sana-sini. Contohnya seperti nama Motoko Kusanagi yang diubah jadi Major Mira Killian. Belum lagi plot yang dibuat berbeda dari kisah yang ada dalam versi lainnya.

Perbedaan dari segi plot ini bukanlah hal yang negatif. Bisa dimengerti upaya Sanders dan tim penulis skenario untuk membuat sebuah kisah baru yang gampang dimengerti oleh kalangan awam yang enggak pernah tau apa itu Ghost in the Shell. Secara keseluruhan, plot dibuat enggak begitu kompleks meskipun terdapat twist yang akan lo temukan saat menonton. Sayangnya, pemosisian twist bisa dibilang sangat enggak tepat karena membuat cerita jadi bisa ditebak sebelum film berakhir.

Cerita memang jadi aspek minus dalam Ghost in the Shell. Plot yang sederhana dan mudah ditebak membuat film ini terasa amat datar tanpa guncangan emosional yang berarti. Memang ada intrik dan konflik yang berpotensi membuat film ini makin menarik. Sayangnya, entah kenapa Sanders lebih memilih jalan lain yang membuat film ini enggak terasa klimaks, meskipun enggak bisa dibilang anti-klimaks.

Sanders juga memilih untuk lebih memfokuskan cerita pada kisah Major dalam pencarian identitasnya sebagai robot yang dulunya menjadi manusia. Makanya dari segi tematis dan filosofis, Ghost in the Shell gagal memberikan penjelasan yang bisa diterima. Sanders dan tim penulis skenario terkesan "memaksa" penontonnya agar menerima logika yang mereka buat. Mungkin hal ini bisa diterima buat lo yang enggak suka mikir keras saat menonton. Namun, kalau lo suka berpikir dan memerhatikan detail sebuah film, Ghost in the Shell bakal membuat lo kecewa.

Dirundung kekacauan dari segi cerita, lalu datang Scarlett Johansson sebagai messiah. Kalau boleh jujur, alasan utama Viki antusias sama film ini adalah mb Scarlett Johansson. Yup, sebagai cowok normal, momen saat mb Jo menggunakan baju kulit semi-nude dijamin bakal bikin lo ngerasa sama dengan apa yang Viki rasakan.

Hal yang tadi Viki bahas soal mb Jo mungkin terdengar subjektif. Tenang aja, intermezzo-nya bakal Viki akhiri, kok. Secara performa, akting mb Jo enggak ada bedanya dengan yang dia tampilkan dalam film sci-fi langganannya. Penampilannya tetap menawan meskipun tanpa ekspresi seperti yang dia perlihatkan sebagai Black Widow dalam film-film Marvel Cinematic Universe (MCU), maupun dalam film Lucy atau Under the Skin. Aksi mb Jo didukung oleh keberadaan beberapa karakter lainnya yang juga memerankan perannya dengan baik, meskipun enggak bisa dibilang istimewa.

Sayangnya ada sedikit hal minus lainnya yang membuat penokohan Ghost in the Shell jadi kurang bernyawa. Khususnya karakter-karakter anggota District 9 yang benar-benar sekedar figuran saja. Hal yang paling mengganggu adalah penokohan Daisuke Aramaki (Takeshi Kitano, alias yang mulia Takeshi dalam Takeshi's Castle). Entah kenapa karakter ini berbicara dengan bahasa Jepang sepanjang film semuanya berbahasa Inggris. Yang Mulia Takeshi memang mengerjakan tugasnya dengan baik. Sayangnya dialog bahasa Jepang membuat karakter Aramaki jadi hampa dan malah terkesan lebih "robot" dibanding Major sendiri.

Keberadaan Scarlett Johansson sendiri sebagai karakter utama ini bisa dibilang dilematis. Di satu sisi, dia berhasil menyajikan performa yang menawan dan memorable. Namun di satu sisi isu whitewashing sukses melukai film ini dari segi box office, dan mendorong kritikus untuk memberikan penilaian buruk. Belum lagi mayoritas penggemar yang enggak suka dengan pemilihan mb Jo sebagai Major/Motoko Kusanagi. Bisa dimengerti kalau produser memilih mb Jo yang udah punya nama sebagai umpan untuk menggaet penonton awam. Sayangnya, keputusan tersebut terbukti salah dan bakal selalu begitu selama isu whitewashing masih jadi dilema.

Di balik semua kekurangan, Ghost in the Shell punya sajian visual yang memanjakan mata. Beberapa aspek, seperti sinematografi, efek CGI, dan adegan aksi diperlihatkan dengan sangat detail tanpa cacat sedikit pun. Keberhasilan ini memang enggak bisa lepas dari peran Rupert Sanders yang memang dikenal dengan keajaiban visualnya dalam Snow White and the Huntsman. Selain mata, telinga lo juga bakal dimanjakan dengan efek suara yang enggak kalah detail sama visualnya. Sebagai catatan, Viki menonton film ini di teater IMAX. Jadi, silahkan koreksi pernyataan ini jika lo enggak merasakan hal yang sama dengan yang Viki rasakan.

Keajaiban visual memang sukses menyelamatkan film ini biar enggak jatuh ke jurang. Makanya, jika dilihat secara keseluruhan enggak ada yang istimewa dari Ghost in the Shell versi live-action ini (kecuali Scarlett Johansson, peace!). Faktanya, banyak film yang secara visual terlihat lebih ajaib dan jauh lebih enak untuk ditonton, sebut saja Ex-Machina, Avatar, atau bahkan The Matrix sekalipun.

Terlihat cukup jelas kalau sutradara Rupert Sanders hanya mengandalkan kemampuannya dalam menyajikan keajaiban visual. Hal ini terlihat dari segi cerita yang hambar dan minim emosi, serta penokohan yang biasa aja. Entah kenapa Sanders juga terlihat seperti terjebak dalam stigma "film adaptasi harus beda dari versi orisinalnya". Viki kasih salut buat Sanders dkk. yang berani beda. Namun entah kenapa Ghost in the Shell rasanya bakal lebih baik jika mengikuti cerita aslinya.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.