*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.
Cerita: 9 | Penokohan: 8 | Efek Suara/Scoring: 8 | Visual: 9 | Penyutradaraan: 9 | Nilai Akhir: 8,6/10
Film The Shape of Water (2017) karya Guillermo del Toro menarik perhatian dunia. Bagaimana enggak? Film tersebut kebanjiran piala penghargaan dari ajang perfilman internasional. Enggak heran, del Toro memang punya keahlian untuk bikin film-film biasa jadi luar biasa.
Sinopsis: Elisa (Sally Hawkins) adalah seorang yatim piatu yang enggak bisa bicara dan harus berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Dia berteman dengan seekor makhluk misterius di laboratorium keamanan tinggi di Baltimore pada 1962. Karena makhluk tersebut bakal dibedah dan dibuat penelitian, Elisa membantu makhluk itu melarikan diri.
Berlatar pada masa Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet, film ini disajikan layaknya sebuah dongeng. Bisa dibilang, kisah si cantik dan si buruk rupa yang sama-sama kesepian. Namun, del Toro mengemasnya jadi tayangan yang seakan nyata.
Film ini disajikan dengan apa adanya. Yap, kalau dilihat dari premis ceritanya, film ini bisa dibilang sering terjadi di persinetronan Indonesia, yakni kisah cinta antara dua insan yang berbeda. Ajaibnya, del Toro bisa meramu film ini jadi tontonan yang menarik.
Sifat apa adanya juga terjadi dalam tiap adegan dan dialognya. Lo bakal beberapa kali mengangguk setuju dengan interaksi yang dari para karakternya. Semua ditampilkan secara jujur sesuai dengan kenyataan saat ini. Segala permasalahan sosial dikemas dengan luar biasa oleh tangan del Toro.
Film ini mirip dengan Beauty and the Beast (2017) dalam sisi drama, romansa, dan konflik pemeran utama. Bedanya, del Toro memasukkan unsur erotis yang bikin lo geleng-geleng kepala. Yap, romansa dewasa kerap ditampilkan secara blak-blakan atau pun hanya gestur.
Simak juga 5 Pasangan Terlarang dalam Film yang Bikin Semangat Para Pejuang Cinta.
Kejujuran selanjutnya, film ini menyuguhkan kenyataan yang lebih dekat dari yang kita kira. Perlakuan terhadap minoritas masih bisa kita jumpai di film kekinian ini. Kerennya, film enggak bikin kita tersentuh dengan penderitaan dan berbelas kasihan kepada mereka. Soalnya, diperlihatkan juga bahwa para minoritas dan para petinggi dalam film ini sama-sama punya kekurangan.
Film ini dibintangi oleh Sally Hawkins sebagai Elisa Esposito. Hawkins memang jarang bermain di film-film popular. Namun, aktingnya dalam The Shape of Water dilakukan dengan luar biasa. Dia hanya menggerakkan tangannya sebagai bahasa isyarat. Makanya, enggak mengherankan kalau dia dapat masuk nominasi Oscar 2018.
Memang enggak banyak aktor dan aktris dalam The Shape of Water. Hanya ada 15 orang, termasuk peran pendukung. Selain Hawkins, ada Doug Jones sebagai makhluk amfibi seperti perannya sebagai Abe Sapien dalam semesta Hellboy.
Film ini dimeriahkan juga oleh Michael Shannon sebagai Kolonel Strickland yang menyebalkan. Ada pula Octavia Sencer sebagai Zelda yang bermasalah dengan rumah tangganya. Selain itu, turut meramaikan Richard Jenkins sebagai Giles, Michael Stuhlbarg sebagai Dr. Robert Hoffstetler, dan Nick Searcy sebagai Jenderal Hoyt.
Masih dengan unsur monster dan kegelapan, del Toro menyajikan makhluk amfibi yang menyerupai manusia. Uniknya, sosok Elisa sebagai karakter utamanya digambarkan sebagai cewek tunawicara. Segala dialognya dilakukan dengan bahasa isyarat. Hal itu tentunya mengingatkan lo pada film-film bisu zaman dulu.
Visual yang bernuansa gelap tapi indah ini memunculkan imajinasi magis yang dreamy. Warna hijau emerald penuh fantasi tersebut lebih indah dibanding The Devil’s Backbone (2001), Pan’s Labyrinth (2006), dan Hellboy (2004). Yap, film ini dikreasikan dengan cantik.
Arahan del Toro pada Dan Laustsen sebagai penata kamera juga dibuat seakan-akan hanyalah dongeng. Tampilan yang mendetail bikin semua elemennya menyatu. Uniknya, manusia ikan jadi-jadiannya dibikin del Toro menggunakan prostetik. Langkah ini terbilang brilian karena memberikan kesan nyata dan kekayaan yang enggak bisa didapatkan dari efek spesial komputer.
The Shape of Water juga ngasih keindahan lewat musik-musik santai nan romantis. Musik film ini seakan dibagi tiga bagian: kesedihan, konflik, dan cinta. Musik-musik yang dilantunkan seakan membawa lo pada zaman klasik yang penuh keromantisan sekaligus kemirisan.
Bukan berarti film ini enggak ada kekurangan. Beberapa konflik enggak dibangun dengan mendalam, seperti konflik batin: cinta dan gestur sensual yang ditampilkan secara lemah. Makanya, bagian akhir film seakan biasa aja. Enggak ada sesuatu yang ngena banget.
Terlepas dari itu, The Shape of Water jadi film unik berkat berbagai isu sosial yang ditampilkan. Seakan-akan, del Toro menyampaikan pesan bahwa ada bagian terdalam manusia yang meminta untuk diisi. Yap, manusia memang enggak pernah puas. Apa pun yang mereka lakukan, bahkan mereka capai, belum cukup sesuai keinginannya.
Baca juga 7 Film Terbaik Guillermo del Toro yang Penuh Fantasi.
Film ini bisa jadi enggak terlalu ngena buat sebagian orang. Memang, ada kalanya film-film yang dibuat brilian enggak bisa dinikmati banyak orang. Kalau lo suka film yang romantis layaknya dongeng, film ini enggak bisa memenuhi keinginan lo. Kalau lo suka film monster sangar dan penuh adegan laga, film ini juga enggak cocok buat lo. Namun, kalau lo suka film dengan kisah anti-mainstream ala Guillermo del Toro, lo wajib tonton film peraih Oscar 2018 ini.
Kabar baiknya, film ini bisa ditayangkan di bioskop Indonesia mulai 29 Maret 2018 di beberapa bioskop CGV Indonesia. Lo juga bisa streaming di layanan nonton film daring. Ajak teman-teman lo buat nonton film ini. Namun, ingat, film ini cuma buat lo yang udah cukup umur alias di atas 17 tahun, ya!