*Spoiler Alert: Review film The 355 mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
Hampir semua orang tahu James Bond 007. Tapi, dua abad sebelumnya, ada agen 355, seorang mata-mata perempuan di bawah George Washington yang bertugas selama Perang Revolusi Amerika. Nama aslinya disembunyikan, tapi nomor kodenya kini dijadikan tajuk sebuah film yang bercita-cita untuk menjadi Bond versi perempuan, atau the next Charlie’s Angel.
Kisah agen 355 yang dulu pernah membantu mengidentifikasi Benedict Arnold, seorang pembangkang besar patut diacungi jempol. Namun, rasanya The 355 enggak lebih dari secuil, bila dibandingkan kisah agen legenda itu. Film spionase ini berada jauh dari ekspektasi, melihat jajaran pemainnya adalah Jessica Chastain, Lupita Nyong’o, Penélope Cruz, dan Diane Kruger.
Enggak heran The 355 hanya dapat skor 26% di Rotten Tomatoes. Kendati demikan, film ini dapat 84% audience score, jadi sebenarnya masih ada hal menarik yang bisa kamu nikmati juga. Semuanya bakal KINCIR bahas di review film The 355.
Review film The 355
Bertabur bintang tapi ‘kentang’
Para pemerannya mungkin memiliki kualitas bintang yang luar biasa, tapi The 355 enggak memanfaatkan hal tersebut. Disutradarai oleh Simon Kinberg (seorang veteran film “X-Men”) dan Theresa Rebeck sebagai penulis naskah, plot dibuka dengan agen CIA Mason “Mace” Browne (Jessica Chastain) dan rekannya Nick (Sebastian Stan) yang bertugas untuk mencari sebuah hard drive yang bisa mengendalikan dunia. Hard drive ini punya program untuk mematikan listrik hingga menjatuhkan pesawat.
Mereka tidak sendirian. Pencarian mereka mengarah ke pertemuan dengan operatif Jerman Marie (Diane Kruger), dan keterlibatan Graciela (Penelope Cruz), seorang terapis intelijen yang merupakan satu-satunya yang tidak terbiasa mengangkat senjata. Mace kemudian merekrut jenius/peretas komputer Khadijah (Lupita Nyong’o).
Formula yang familier ya? Jagoan badass, ahli komputer, dan yang enggak bisa apa-apa.
Mereka pun harus terlibat pertikaian di beberapa pemberhentian; Paris, Maroko. dan Shanghai. Di lokasi terakhir itu, operator kelima yang sangat pandai, Lin Mi Sheng (Bingbing Fan), bergabung dalam perayaan itu.
Hal yang menarik justru terjadi dalam interaksi ringan di antara para jagoan perempuan ini. Yap, Cruz tentu jadi jembatannya, menjadi seorang asing dalam keributan heboh yang hanya bertahan untuk melindungi keluarganya.
“James Bond tidak pernah harus berurusan dengan kehidupan nyata,” salah satu kalimat Mace ini menarik untuk ditilik. Memang karena dalam The 355, kehidupan pribadi semua karakternya juga jadi titik perhatian, sekaligus menjadi titik tengah mereka.
Perasaan sedih Mace ketika kehilangan Nick yang ia cintai, Graciela dan keluarganya, Marie yang punya trauma masa kecil, dan Khadijah yang tengah jatuh cinta bikin polemik tersendiri. Menandakan bahwa perempuan bisa menjadi sangat kuat dalam situasi serba tertekan.
Plot twist bak bola pingpong
Menonton The 355 harus penuh konsentrasi, sehingga kamu tidak tersesat dalam ceritanya. Menentukan mana villain sebenarnya juga bukan perkara mudah. Beberapa kali penonton dibawa ke momen ‘zonk’ ketika tengah menerka siapa yang jadi dalangnya.
Namun, pemilihan jalan cerita pasca plot twist cukup diacungi jempol. Semua titik lema para agen diserang habis-habisan, namun mereka begitu cepat untuk bangkit. Tentu saja, ini membawa pesan moral kalah para jagoan ini kuat, meski secara emosi mereka sedang tidak baik-baik saja.
Aksi yang kurang badass
Film aksi pemberdayaan perempuan sepertinya butuh penyegaran. Kayaknya penonton mulai bosan dengan metode usang dan pengulangan cerita. Jagoan perempuan yang menghajar laki-laki dengan sepatu hak, menggoda untuk memanipulasi, minum wiski dengan es jadi contoh. Sayangnya The 355 tidak melakukan apapun untuk mendekonstruksi atau memberikan penyegaran untuk hal ini. Lucu juga ketika Mace dan Khadijah menggerebek pemegang hard drive dengan pistol tangan.
Kendati demikian aksi keempatnya saat bertukar-tukar hard drive cukup menarik perhatian. Dalam adegan ini, kamu pasti memahami kalau jagoan perempuan memang biasanya jago mengalihkan dan berperang dengan suasana tenang. Cukup seru.
Safe the best for the last! Aksi final keempat perempuan ini bisa dikatakan cukup menegangkan. Apalagi ketika Lin Mi Sheng menampilkan teknik bela diri yang apik. Melihat perpaduan peperangan dengan senjata dan teknik bela diri, biar bagaimanapun, terasa seru dan cukup menegangkan.
***
Gimana menurut kamu tentang review film The 355 ini? Dilihat dari ending-nya, film ini membuka pintu untuk sekuel. Terutama ketika melihat Graciela yang akhirnya bergabung dengan tiga teman lainnya. Mungkin, tapi kayaknya The 355 harus kerja keras untuk menawarkan lebih banyak untuk meningkatkan ekspektasi penontonnya. Selebihnya, meletakkan perempuan ke dalam peran yang sama terasa membosankan, butuh pendekatan yang baru mungkin, ya?