Review Film Hidayah (2023)

Hidayah (2023)
Genre
  • horor
  • horor-religi
  • religi
Actors
  • Ajil Ditto
  • Alif Joerg
  • Givina Lukita
Director
  • Dedy Kopola
  • Monty Tiwa
Release Date
  • 12 January 2023
Rating
2 / 5

*Spoiler Alert: Review film Hidayah ini mengandung spoiler yang bisa saja mengganggu kamu yang belum nonton.

Nostalgia agaknya telah menjadi topik yang makin hangat beberapa tahun belakangan ini. Khususnya dengan makin berkembangnya teknologi dan makin majunya industri perfilman tanah air, film-film lama pun mulai dibuat remake atau digarap ulang dengan arahan yang berbeda.

Tak hanya film, serial televisi Hidayah yang sempat menjadi tontonan populer pada tahun 2000-an kini juga mendapatkan sorotan dari Pichouse Films, Clockwork Films, dan MAXstream. Mereka pada akhirnya menggandeng Monty Tiwa untuk menjadikannya sebuah film. Monty Tiwa memang bukan nama baru di kancah film horor Indonesia. Namun, menjadikan Hidayah sebagai film, tentu dibutuhkan lebih dari sekadar momen “nostalgia” untuk membuat penonton Indonesia tertarik meramaikannya di bioskop.

Apakah Hidayah berhasil menampilkan hal yang lebih daripada sekadar mengulang serial legendaris yang sudah usang? Simak ulasan KINCIR di sini!

Review film Hidayah

Sinopsis film Hidayah

Bahri (Ajil Ditto) merantau ke kota selepas lulus dari pesantren. Namun, dirinya difitnah hingga masuk penjara dan menjadi mantan narapidana. Bekerja di sebuah bengkel, Bahri masih memegang teguh keyakinan dan imannya untuk selalu berbuat kebaikan dan menghindari larangan-Nya. Meski begitu, Bahri memiliki masa lalu yang ingin dilupakannya serta rasa bersalah yang sangat besar yang membuatnya ragu.

Setelah kedatangan Hasan (Alif Joerg), sahabatnya semasa pesantren, Bahri pun mau tak mau kembali ke desa tempat tinggalnya dulu untuk menghadapi masa lalunya. Ratna (Givina Lukita) sedang menderita penyakit yang tak diketahui dan keadaan desa Mekarwangi akhirnya menjadi suram.

Kembali ke Mekarwangi, Bahri justru dihadapkan pada kenyataan bahwa Ratna dianggap sebagai aib bagi warga desa. Namun, Bahri tetap menjalankan tugasnya untuk membantu Ratna terlepas dari siksaan yang dialaminya dengan melakukan rukiah.

Sayangnya, nyawa Ratna pun tak bisa terselamatkan dan Bahri makin merasa bersalah karena dia juga pernah difitnah membunuh “pasien” rukiahnya. Keadaan desa Mekarwangi menjadi tak sama lagi selepas kepergian Ratna.

Warga menolak mayatnya dikuburkan di desa dan mayat Ratna pun berbau busuk hingga akhirnya hanya Bahri dan beberapa orang dari pesantren yang mau menguburkannya. Bahri akhirnya disalahkan atas musibah yang menimpa warga desa setelah kematian Ratna.

Satu per satu korban berjatuhan, Bahri pun dihadapkan pada konflik batin yang membuatnya mendapatkan hidayah untuk memperkuat imannya dan menyelesaikan semua masalah hingga akhir. 

Memaknai Hidayah dengan cara yang berbeda

Generasi milenial dan generasi sebelumnya tentu tahu betul bagaimana rasa horor dari serial televisi Hidayah menghantui pada masanya. Ketakutan yang dibangun bukanlah ketakutan karena hantu, melainkan ketakutan akan “hukuman” yang diberikan oleh Tuhan karena berbagai tindakan semasa hidup.

Awalnya, KINCIR juga mengira bahwa Monti Tiwa akan membawa film ini menjadi seperti serial televisinya. Namun, ternyata Hidayah melampaui ekspektasi KINCIR.

Di luar dugaan, film ini menampilkan Hidayah dengan cara yang berbeda. Memang, masih ada formula lama seperti mayat yang berbau busuk, lalu warga desa yang menolak mayat tersebut dimakamkan di desa. Namun, pada akhirnya film ini bukan untuk menunjukkan hidayah bagi para warga desa, melainkan justru hidayah bagi Bahri yang selama ini tanpa sadar masih meragukan kebesaran Tuhan dan kekuatan dirinya.

Jadi, meski alurnya masih tertebak dengan formula yang mirip serialnya, KINCIR tetap bisa menikmati film ini sebagai entitas yang berdiri sendiri, dengan tetap merasakan nostalgia akan serial televisinya. 

Unsur religi yang potensial tapi terasa kurang “menohok”

Sayangnya, sebagai sosok ustaz yang bisa merukiah, Bahri terlihat terlalu “meyakinkan” dan mungkin ini jugalah yang membuat rekan-rekannya di kota menganggap status Bahri sebagai ustaz sebagai lelucon. Selain itu, hanya efek scoring yang membantu Bahri terlihat serius dan bikin merinding dengan doa-doanya. Jujur aja, KINCIR justru merasa unsur religi dalam film ini justru kurang mendalam dan menonjol. Padahal jalan ceritanya sudah mendukung!

Selain keberadaan pesantren dan sosok Kiai pemilik pondok, agaknya tak ada hal lain yang relevan dengan keislaman dan kehidupan pesantren. Ya, saat murid laki-laki dan perempuan bisa bertemu dengan mudahnya, apalagi sampai ada yang merayu, apakah memang ini kehidupan pesantren pada masa itu?

Raasanya unsur religi yang dimasukka ke dalam drama seorang perempuan yang bekerja sebagai PSK dan mengalami kematian yang pahit perlu dibuat lebih halus.

Akting disokong scoring yang tepat guna

Akting disokong scoring yang tepat guna
Akting disokong scoring yang tepat guna

Kamu pasti tahu bahwa banyak sekali adegan Hidayah di televisi yang belakangan jadi meme. Film Hidayah berhasil tampil dengan scoring yang bikin merinding. Scoring garapan Andi Rianto berhasil membangun momen yang dibutuhkan.

Enggak kurang, enggak lebih, semuanya terasa pas dan tepat guna. Karena itu, momen ketika Bahri akhirnya menyadari dan menerima hidayah-Nya terasa sangat menyentuh. Ditambah lagi ketika Bahri mengucap terima kasih kepada Hasan. Sayangnya, akting Bahri terasa agak datar.

Justru yang perlu KINCIR berikan sorotan adalah Unique Priscilla yang berperan sebagai Hesti atau Ibunda Ratna. Perannya sebagai ibu yang menerima nasib anaknya dengan ikhlas dan merasakan kesedihan saat Ratna berakhir seperti sekarang, ekspresinya tak tergantikan.

Givina pun memerankan Ratna dengan baik dan berhasil menunjukkan bagaimana seseorang yang mengalami penderitaan panjang atas pilihannya sendiri. Dia merasa bersalah, namun juga butuh pertolongan. Sementara itu, Dewi Yull sebagai Umi juga menjadi satu-satunya karakter yang bisa berbahasa Sunda dengan natural. 

***

Hidayah memang menghadirkan nostalgia yang menyenangkan. Namun, jika KINCIR mengatakan film ini sebagai film horor religi, justru unsur horor dalam film ini kurang tergambarkan. Munculnya sosok pocong Ratna juga bikin kita jadi bete sama film ini. Soalnya, pocongnya terlalu dibikin asal kayak boneka. Di samping itu, langkah untuk memaknai “hidayah” dengan berbeda memberikan kisah segar bagi unsur religi film ini. 

Kamu penasaran dengan Hidayah? Film ini sudah tayang sejak Kamis, 12 Januari 2023 di bioskop tanah air. Kalau udah nonton, bagikan pendapat kamu di kolom komentar, ya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.