*(SPOILER ALERT) Review film Dear David ini sedikit mengandung bocoran yang semoga saja enggak mengganggu buat kamu yang belum nonton.
Film Dear David di Netflix mendapatkan mixed reviews bahkan menuai kritik terkait abainya sineas dalam mengemas isu pelecehan dan penerimaan diri. Oleh sang sutradara, Lucky Kuswandi, film ini sebelumnya diharapkan menjadi media untuk memberi tahu penonton tentang pentingnya self-love dan self-acceptance. Berhasil kah?
Sebetulnya, jika bermaksud membicarakan tentang kejadian demi kejadian yang dibuat dalam Dear David, film ini enggak sepenuhnya salah atau bermaksud melecehkan.
Bagi kamu yang sedang duduk di bangku SMA atau sudah pernah merasakannya, mungkin kamu akan mengingat desir panas di dalam dada saat melihat cowok atau cewek pujaan. Dilansir situs Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, reaksi itu wajar, mengingat masa remaja adalah masa menuju kematangan, di mana organ-organ reproduksi tumbuh dan menunjukkan tanda-tanda seks primer dan sekunder.
Enggak heran kalau akhirnya keingintahuan remaja jadi meningkat, termasuk soal seks. Masalahnya, remaja belum sepenuhnya punya pikiran yang matang. Makanya, enggak heran banyak berita remaja yang melakukan hubungan seks di luar nikah hingga menyebabkan kehamilan enggak diinginkan.
Dear David enggak membahas masalah sosial sejauh itu. Dalam dunia Dear David, seorang remaja bernama Laras, dikenal alim dan berprestasi. Ia naksir berat dengan temannya hingga melakukan fantasi seksual. Jika semua remaja disuruh buka suara, mungkin hal ini lumrah.
Laras pun menuliskan semua fantasinya di cerita daring dengan judul Dear David. Apa yang digambarkan oleh Laras di sana begitu panas, begitu penuh dengan pujian dan nafsu terhadap fisik David. Dalam cerita tersebut, bahkan David digambarkan sebagai budak seks dari Laras, yang akan siap menuruti nafsu Laras.
Dalam Dear David, sejatinya ada dua korban. Pertama adalah Laras yang ranah pribadinya dibuka untuk umum; dan yang kedua adalah David, tentu saja. Ia jadi subyek yang diobjektifikasi seksual. Sayangnya, setelah objektifikasi itu tersebar, oleh kawan-kawannya ia justru diolok-olok dan direndahkan.
Tampil dengan banyak isu remaja
Ada banyak isu remaja di dalam film ini, tetapi isu privadi dan AU (alternate universe) menjadi isu utama. Seperti banyak remaja, Laras punya rahasia. Di dunia nyata, ia digambarkan sebagai remaja budiman. Ini diperlihatkan lewat beberapa simbol seperti simbol reliji yang dibawa Laras ke mana-mana, penghargaan kejuaraan, dan kepatuhan Laras dalam berseragam. Maka, siapa yang tahu jika ia punya fantasi panas terkait dirinya dan terkait temannya.
Film ini cukup pintar saat menggambarkan sosok-sosok tokohnya, termasuk Laras. Tanpa harus cerewet, karakter-karakter diperkenalkan lewat berbagai simbol dan interaksinya. Divisi casting pun bekerja dengan baik karena setiap aktor sangat cocok merepresentasikan karakter masing-masing, terutama dari wajah, pembawaan, dan gaya mereka.
Sosok Laras sangat kontras dengan sosok Dilla, temannya, yang pernah terkena skandal kasus foto seksi, enggak mematuhi aturan sekolah terkait penggunaan seragam yang benar, serta mengecat rambut –lagi-lagi pelanggaran akan aturan sekolah–.
Maka dari itu, saat kisah panas tentang David tersebar, enggak ada satu pun yang menyangka bahwa pembuatnya adalah Laras. Namun, pihak sekolah yang harusnya menjadi netral malah menyalahkan Dilla tanpa ada bukti yang sahih. Mereka hanya bermodalkan prasangka. Bicara soal representasi, ini realistis banget karena banyak sekolah yang mengaku sebagai lembaga pendidikan, tetapi cara mereka menyelesaikan masalah kurang terdidik.
Hukuman dari pihak sekolah pun enggak berlebihan, meskipun menyebalkan. Rasanya, ini justru malah isu yang harusnya bisa lebih ditonjolkan, alih-alih harus memenuhi film dengan banyak isu, tetapi beberapa enggak dieksplorasi secara mendalam. Misalnya, isu LGBT, isu perundungan, dan isu pelecehan kepada pria, bukan cuma dari lawan jenis tetapi dari teman sesama jenis.
Penonton pun menjadi bingung apa fokus utama dari film ini. Apakah isu privasi? Gairah remaja? Pelecehan? Kebebasan berekspresi? Atau malah isu pendidikan? Karena, porsi dari semua isu ingin dibuat setara, tetapi justru enggak semuanya selesai dengan baik
Terlalu fokus pada tokoh utama
Tokoh utama selalu mendapatkan porsi yang lebih banyak. Penonton pun akan menunggu tokoh utama dalam perjalanannya mendapatkan solusi dari permasalahan yang menimpanya.
Namun, formula ini akan tepat kalau isunya enggak penuh sesak. Semua alur terlalu dipaksakan untuk berfokus dan berpihak kepada tokoh Laras. Terlepas dari benar atau enggaknya Laras, tetapi tokoh lain yang punya hubungan dengannya enggak dieksplorasi secara mendalam. Padahal, setiap tokohnya membawa isu yang berbeda, isu yang bisa jadi enggak ada hubungannya sama Laras. Contohnya, masalah preferensi seksual dan serangan panik.
Tokoh-tokoh lain seolah hanya menjadi pelengkap perjalanan Laras dalam menemukan dirinya dan melepaskan diri dari identitas yang disematkan orang-orang: identitas Laras si anak alim dan pintar. Film ini juga terlalu berfokus pada banyak kejadian di sekitar Laras tanpa banyak memberikan dasar yang membuat kita berempati pada obsesi Laras.
Contohnya Malena (2000) sebuah film erotis dengan latar perang, menggambarkan fantasi Renato, bocah lugu penjual koran, terhadap Malena, seorang perempuan yang suaminya hilang saat perang, dengan dalam.
Kita enggak membicarakan soal adegan telanjangnya saja, tetapi juga soal sekuens dan jalinan cerita. Sementara itu, fantasi Laras terhadap David digambarkan seadanya saja, seolah sedikit adegan dan narasi panas sudah cukup.
Hal itu bukan terjadi karena film ini memiliki batasan norma, tetapi karena terburu-buru menjelaskan isu dan konflik lain. Jadinya, kita enggak terlalu bisa berempati sama Laras dan mengikuti “perjalanan spiritual” coming of age-nya.
Padahal, adegan-adegan fantasi Laras ini cukup mengena. Panasnya hubungan fiktif Laras, kemarahannya yang “receh”, semua terlihat alami dan mungkin sangat bisa dipahami banyak remaja yang suka berfantasi konyol terkait seksualitas. Lihat saja kisah-kisah AU di berbagai platform cerita novel remaja.
Dangkal banget, tetapi nyata, sebatas itu memang fantasi remaja pada umumnya. Sayang penyajiannya kemudian terputus oleh isu lain, oleh adegan lain, dan film seolah diburu-buru oleh durasi.
Pidato Laras di akhir kisah pun terdengar klise, seperti templat remaja yang berani buka suara pada umumnya. Rasanya sulit untuk berada di tempat Laras, karena kita jadi sibuk buat memahami tokoh Dilla dan David juga.
Beberapa Adegan Terlalu Dramatis
Terlepas dari agak gagalnya film mengirimkan isu yang diinginkan, sebetulnya Dear David punya banyak kelebihan. Misalnya, bagaimana ia menggambarkan gelora para remaja. Selain itu, bagaimana sekolah yang harusnya bisa adil, justru malah semena-mena dan menuduh siswi yang enggak bersalah, tetapi dicurigai hanya karena karakter dan aib masa lalunya. Banyak sekolah yang mengklaim diri mereka pendidik, tetapi mereka malah menghakimi.
Pemilihan cast Shenina Cinnamon pun tepat karena wajahnya, rautnya, tingkah lakunya, begitu menggambarkan remaja perempuan baik-baik dengan prestasi gemilang dan kehidupan sederhana. Sementara itu, sebagai pria pujaan, Emir Mahira pun juga merupakan pilihan tepat. Ia punya pesona khas anak SMA yang enggak terlalu berlebihan, cukup membuat banyak “pemuja kapten sepak bola dan basket” pada masa SMA mungkin merasa bernostalgia. Hal yang sama juga terjadi pada Dilla. Diperankan Caitlin North Lewis, ia mampu menampilkan kesan bitchy yang diinginkan.
Sayang, beberapa adegan dibuat terlalu dramatis, sehingga jadi kayak sinetron remaja. Misalnya, adegan Laras memaksa buat memanjat rumah Dilla, adegan Dilla ngambek karena Laras sempat ketakutan buat bolos, adegan Kepsek menuduh Dilla, dan adegan Dilla mengetahui kebenaran soal David. Kalau semuanya dibuat lebih halus dan enggak kebanyakan dialog dramatis, sebenarnya film ini bisa jadi enak, enggak terasa sinetron.
***
Dear David bukan film yang buruk, tetapi jika film adalah media edukasi, ia cukup mengecewakan. Ia mencoba memasukkan terlalu banyak masalah, mulai dari privasi sampai LGBT, tetapi semuanya enggak dieksplorasi secara mendalam. P
erjalanan Laras dalam mencari jati diri pun enggak maksimal, karena terganggu sama banyak konflik dan dialog dramatis. Akhir kisah yang diberikan kepada Laras pun jadi enggak menggugah dan memberikan kita kesadaran akan sebuah isu penting, karena film terasa terburu-buru dan penuh sesak.
Apakah kamu setuju bahwa Dear David perlu berusaha lagi untuk menyampaikan beberapa isu? Tonton filmnya di Netflix dan sampaikan pendapatmu, ya!