*(SPOILER ALERT) Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang semoga saja enggak mengganggu buat lo.
Menutup 2018, Netflix merilis dua film yang cukup keren untuk dijadikan tontonan liburan, yaitu Bird Box dan Black Mirror: Bandersnatch. Mulai disiarkan dalam waktu yang berdekatan, keduanya langsung jadi buah bibir penikmat film. Netflix mengaku bahwa Bird Box sudah diputar oleh 45 juta akun di Netflix dalam tujuh hari perilisannya.
Mengusung genre thriller, film ini disebut-sebut punya suasana ketegangan serupa dengan A Quite Place (2018) garapan John Krasinski. Bedanya, kalau dalam A Quite Place karakternya enggak boleh menimbulkan suara, di Bird Box karakternya enggak boleh melihat!
Dikisahkan dalam Bird Box, ada sebuah entitas yang bikin orang-orang yang melihatnya langsung ingin bunuh diri sehingga lo mesti pakai penutup mata kalau mau selamat. Entitas ini, entah alien atau hantu, bisa memanipulasi suara mereka jadi seseorang yang lo kenal dan mengambil wujud apa pun.
Ide ceritanya diadaptasi dari novel karya Josh Malerman yang berjudul sama, dirilis pada 2014. Buat film ini, naskahnya ditulis oleh Eric Heisserer yang mungkin namanya sudah lo kenal karena dia turut menggarap Lights Out (2016) dan Arrival (2016). Susanne Bier, sutradara peraih Oscar melalui film In a Better World (2010), menggarap film ini buat Netflix. Sandra Bullock (The Proposal, Gravity) dan Trevante Rhodes (Moonlight) membintangi film ini bersama Sarah Paulson (American Horror Story), John Malkovich (Places in the Heart), dan jajaran bintang lainnya.
Lantas? Apa saja yang disajikan Bird Box sebagai sebuah tayangan yang disebut-sebut sebagai film paling menakutkan?
Latar Post-apocalyptic dengan Dua Periode Waktu
Bier enggak memulai Bird Box dengan aman. Demi membangun ketegangan yang dibutuhkan, film ini dibuka dengan adegan Malorie (Sandra Bullock) menyampaikan kepada anak laki-laki dan perempuan di depannya—yang dapat diperkirakan sebagai anaknya—bahwa mereka akan melalui perjalanan panjang yang berat.
Malorie memberi tahu kedua anak itu dengan nada tegas, khususnya “jangan pernah membuka penutup mata” dan “pasang telinga untuk mendengarkan”. Mulai dari situ, lo bakal merasa perjalanan melintasi sungai dengan perahu itu adalah hal yang mustahil. Di saat bersamaan, lo dibuat bertanya-tanya apa alasan mereka melakukannya, apa yang terjadi sampai-sampai mereka menutup mata, dan kenapa mereka membawa burung?
Dimulai dengan suasana mencekam yang menjanjikan, latar pun berganti. Kita diajak mundur pada masa lima tahun sebelumnya saat semua peristiwa bermula. Saat itu, Malorie masih hamil dan insiden bunuh diri di seluruh dunia baru saja dimulai. Dari sini, lo bakal mengerti pentingnya penutup mata itu buat mereka.
Yap, gelombang bunuh diri terjadi di seluruh dunia karena adanya entitas yang berjalan-jalan di luar yang kalau lo lihat bisa memicu lo buat bunuh diri dengan segera. Enggak berlama-lama fokus pada latar waktu yang sama, lo bakal diajak kembali ke perjalanan Malorie dan dua anak tadi di sungai. Mereka berusaha menuju ke sebuah tempat yang mereka harapkan aman. Namun, lo tetap belum tahu sejauh mana perjalanan mereka dan apa sebenarnya tempat itu.
Film ini memang bakal mengajak lo bolak-balik ke dua latar waktu tersebut, yaitu awal mula peristiwa saat Malorie masih hamil empat bulan dan latar waktu masa kini yang berselang lima tahun. Jadi, lo diajak memahami apa yang terjadi di sekitar Malorie melalui perpindahan alur yang maju-mundur ini.
Meski maju-mundur, alurnya begitu enak diikuti. Namun, ada kalanya lo bakal merasa cerita begitu lambat memanas karena konfliknya dihadirkan satu demi satu, enggak sekaligus di satu bagian. Hasilnya, lo bakal bersimpati banget dengan karakter Malorie yang memang berkembang seiring perjalanannya. Alur semacam ini bakal mengganggu kalau lo enggak suka tipe perpindahan alur yang diiringi dengan penjelasan tentang latar waktu yang terjadi di layar.
Minim penjelasan, tapi mudah ditebak
Ini yang cukup bikin geregetan selama nonton Bird Box. Film ini pada dasarnya minim banget penjelasan. Bahkan, sampai filmnya habis, lo enggak bakal tahu makhluk apa yang menanti di luar. Mungkin bentuknya bisa lo ketahui dari sketsa bikinan Gary (Tom Hollander), karakter yang datang ke rumah jelang Malorie melahirkan. Terlepas dari itu, sosok entitas dalam film Bird Box sama sekali “tak kasatmata”, enggak terlihat di kamera, tapi pergerakannya bisa tampak dari pergerakan daun-daun di sekitarnya.
Buat sebuah film post-appocalypse, tentu penjelasan tentang kenapa “kiamat” itu terjadi, apa penyebabnya, dan bagaimana para karakter dalam film itu bertahan hidup jadi penting banget. Kalau enggak ada, film ini bisa dibilang murni berisi drama semata karena terlalu banyak misteri yang enggak terungkap. Nah, Bird Box pun agaknya enggak mau menghabiskan durasi buat penjelasan yang logis dari semua peristiwa itu.
Film ini memberi penjelasan, tapi di saat bersamaan lo tetap dibikin bertanya-tanya. Hasilnya, lo bakal dipaksa puas saja dengan penjelasan “fiktif” Charlie (Lil Rel Howery) yang sebetulnya enggak bisa sepenuhnya dipercaya. Dia terobsesi pada novel-novel fantasi dan pengen bikin novel fantasinya sendiri tentang kiamat.
Sayangnya, meski minim penjelasan, film ini justru cenderung mudah ditebak, khususnya setelah Malorie bersama dua anak yang dipanggil Boy dan Girl itu melewati arung jeram. Meski awalnya dibuka dengan ketegangan yang lumayan mengundang emosi, perasaan itu enggak bakal bertahan sampai akhir. Sebaliknya, lo bakal dibawa melankolis dan tetap mengikuti film ini meski dalam hati lo sudah bisa menebak-nebak akhirnya.
Perlu diingat, film yang mudah ditebak itu enggak sama dengan film yang buruk. Toh, pada dasarnya akhir film itu cuma dua: happy ending atau sad ending. Jadi, apa pun ending-nya, yang paling penting apakah penutup tersebut menyelesaikan film dengan baik.
Untuk Bird Box, bisa dibilang, penutupnya begitu manis dan bikin hati lo menghangat. Bahkan, bukan enggak mungkin lo meneteskan air mata. Penasaran? Lo enggak bakal dapat jawabannya di sini, jadi tonton saja filmnya di Netflix!
Lebih Positif Dibandingkan Novelnya
Diadaptasi dari novel bukan berarti sebuah film harus sama banget kayak novelnya. Dalam film, ada screenplay yang disesuaikan demi kebutuhan sinematik yang cuma bisa tampil sekitar dua jam penayangan. Di Bird Box pun, enggak semua hal sama banget kayak di novel.
Perbedaan yang paling terlihat adalah orang-orang di rumah. Karakter Douglas (John Malkovich) cuma ada di film. Karakter Tom pun dibuat hidup lebih lama dalam film. Kalau ngikutin serial The Walking Dead, lo tentu bisa mengerti bahwa perbedaan ini adalah hal yang biasa. Namun, lebih jauh lagi, bisa dibilang film Bird Box bahkan lebih manis dan positif daripada novelnya.
Meski dibilang drama-thriller, sebenarnya unsur thriller dalam film ini barangkali cuma kenyataan bahwa ada fenomena bunuh diri massal di sekitar lo dan lo harus menjalani aktivitas di luar rumah tanpa melihat. Sisanya, lo bakal diajak ngikutin perjalanan Malorie aja saat “kiamat” terjadi dan setelahnya.
Beda dengan novelnya yang cenderung lebih kelam, filmnya justru lurus-lurus saja mengikuti perjalanan dan perjuangan Malorie dari awal sampai akhir. FYI, novelnya punya ending yang mengejutkan banget, loh. Nah, soal perbedaan itu, Heisserer, sang penulis skenario, mengaku bahwa dialah yang bikin film ini lebih positif dari novelnya.
“Saya cenderung suka dengan akhir yang penuh harapan atau rasa optimistis, bahkan untuk film horor distopia. Saya bukan penganut nihilisme. Saya merasa kita sedang hidup di dunia yang seperti itu saat ini,” Heisserer menjelaskan kepada Digital Spy dalam sebuah wawancara.
Pesan tentang Penerimaan Diri
Awalnya, Malorie adalah sosok perempuan yang enggak begitu menerima kehamilannya. Apalagi, anak yang dikandungnya adalah hasil dari one night stand dengan teman sekamarnya yang enggak pernah balik. Dia bahkan enggak berekspektasi anaknya bakal lahir atau memberi nama anaknya itu setelah lahir. Bisa jadi, itulah alasan dia memanggil dua anak yang dibawanya itu dengan kata “Boy” dan “Girl”.
Malorie takut. Dia enggak percaya dirinya bisa jadi ibu. Dia juga takut anaknya bakal kenapa-kenapa di dunia dengan entitas mengerikan itu. Namun, pada akhirnya, dia belajar menerima bahwa hal yang paling menyedihkan adalah ditinggalkan dan hidup sendiri.
Di film ini, lo juga bakal diajak ngikutin perkembangan karakter Malorie, dari yang awalnya skeptis sampai akhirnya bisa menjalin persahabatan, bahkan mampu mencintai lagi. Dia adalah seniman yang socially awkward dan enggak nyaman berada di antara orang-orang. Namun, akhir dunia mengubah dia. Karakternya pun membuktikan bahwa humanity still exist, even it’s the end of the world.
***
Bisa dibilang, Bird Box berhasil membawa lo ke dalam suasana mencekam yang dibangun secara perlahan sekaligus kisah menyentuh lewat perkembangan karakter utama. Jadi, tonton saja filmnya sekarang. Kalau sudah nonton, jangan lupa berikan komentar lo di kolom ulasan di bagian atas artikel ini, ya!