*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.
Cerita: 9 | Penokohan: 8 | Efek Suara/Scoring: 8 | Visual: 9 | Nilai Akhir: 8,5/10
Setelah sukses dengan Toy Story 3 (2010), Disney dan Pixar kembali nayangin film animasinya yang berjudul Coco. Meski Coco bukan film sekuel dan debut penayangannya baru tahun ini, bukan berarti Disney enggak ngasih kejutan buat penggemarnya di seluruh dunia lewat film terbarunya ini. Tentunya, bukan Disney dan Pixar namanya kalau enggak bikin film animasi yang penuh makna.
Coco disutradari oleh Lee Unkrich yang juga bertindak sebagai penulis naskah dan bisa dibilang jadi aset berkualitas dalam film ini. Unkrich enggak pernah main-main dalam ngegarap filmnya. Lihat aja kesuksesan yang didapat dari Finding Nemo (2003), Toy Story 3, dan Monster, Inc. (2001) yang selalu ngasih kejutan pada jalan ceritanya. Sama halnya dalam Coco, Unkrich makin nunjukin “taringnya” lewat cerita dan visual.
Awalnya, Viki nganggap bahwa film ini bakal biasa aja. Soalnya, waktu rilisnya di bioskop masih dalam hype-nya film superhero dan film Hollywood lainnya. Bisa dibilang, film ini ngena banget karena latarnya kehidupan sehari-hari yang kental dengan budaya suatu daerah. Bahkan, cuplikan filmnya sedikit ngegambarin budayanya, kok.
Film ini bercerita tentang Miguel, seorang anak laki-laki yang memiliki antusias untuk bermusik. Miguel tinggal di sebuah desa di Meksiko dengan kehidupan yang keras. Dia besar di keluarga pembuat sepatu yang sangat membenci musik. Mereka benci musik karena percaya bahwa musik adalah sebuah kutukan.
Miguel punya keinginan yang begitu kuat untuk bermusik. Terlebih lagi, dia terinspirasi Ernesto de la Crus, penyanyi legendaris yang diidolakannya. Miguel menemukan bahwa terdapat kemiripan antara dirinya dengan idolanya, Dia pun mencoba meniru idolanya itu. Akan tetapi, di saat dia meniru, tanpa sengaja, dia malah masuk ke Tanah Kematian.
Film Coco sangat kental dengan budaya Meksiko dan mengangkat tradisi Dia de Muertos. Tradisi tersebut bukanlah momen berduka, melainkan merayakan dan mengingat kebaikan para leluhur serta menghormati dan mengenang kembali memori-memori dari anggota keluarga yang telah berpulang. Ada satu tuntutan dalam film ini, yakni menjaga keaslian dari budaya. Hal ini berkaitan dengan pemiihan karakternya.
Sebenarnya, udah dari awal tahun lalu, Disney ngasih kabar mengenai film ini. Faktanya, film ini memang udah dibikin mulai 2011 dengan beberapa kunjungan penelitian ke Meksiko. Untuk film ini, Pixar Animation Studio turut berkolaborasi dengan tim konsultan budaya. Hal itu dilakukan mereka agar bisa menghidupkan cerita serta mempertimbangkan seluruh detail. Mereka juga turut mengunjungi museum, pasar, plaza, gereja, hingga kuburan di Meksiko yang menjadi inspirasi untuk menciptakan kota fiksi Santa Cecilia secara akurat. Makanya, enggak mengherankan kalau pengerjaan film ini enggak sebentar.
Ditambah, pengerjaan animasinya juga enggak main-main. Tiga sineas utama, yaitu Unkrich sebagai sutradara, Adrian Molena sebagai asisten sutradara, dan Darla K. Anderson sebagai produser, ngungkapin bahwa film ini dikerjain dengan totalitas. Setiap objek dibuat animasinya begitu mendetail.
Unkrich pun ngungkapin rasa bangga dengan film yang dibuatnya. Soalnya, dia udah ngerencanain Coco sejak lima tahun yang lalu. Dia juga ngelibatin anggota yang berasal dari anggota komunitas lainnya guna menyelesaikan pembuatan film tersebut.
Meski bertema misteri tentang kebudayaan orang meninggal, film ini enggak nunjukin keseraman sama sekali. Viki pun terkesan dengan visualnya yang menakjubkan. Segalanya dibuat mendetail dan berwarna. Twist-nya pun dibikin menarik dan enggak terduga. Benar-benar film khas Disney dan Pixar!
Audio film ini juga bikin lo senyum-senyum dan terkesima dengan musik-musik khas Meksiko. Lagu-lagu yang ditampilin juga bakal manjain telinga lo. Dari segi pengisi suara, lo enggak bakal bosan mendengarkan dialog demi dialog. Suara dengan logat seksi khas Meksiko bikin film ini makin hidup.
Para pengisi suara yang berbakat dan total ngedukung visualisasi yang keren. Mereka yang terlibat adalah Anthony Gonzales (Miguel), Jaime Camil (Papa), Ana Ofelia Murguia (Mama Coco), Gael Garcia Bernal (Hector), Benjamin Bratt (Ernesto De La Cruz), Sofia Espinosa (Mama), Renee Victor (Abuelita), Herbert Siguenza (Kembar Oscar dan Felipe), dan Alanna Ubach (Mama Imelda), dan sebagainya
Bukan Disney dan Pixar kalau enggak bikin cerita penuh makna. Enggak sedikit pesan moral dalam film Coco. Selain makna dari kebudayaan Dia de Muertos, yaitu momen ketika lo berpikir tentang orang-orang terkasih yang udah tiada dan menghormati sepanjang hidupnya, film ini juga menyampaikan pesan bahwa orang meninggal hanya akan hilang jasadnya, tapi memorinya akan tetap tinggal di dalam hati. Selain itu, banyak pelajaran hidup yang menyentuh mengenai mimpi dan pentingnya keluarga.
Film ini cocok buat jadi tontonan keluarga di akhir pekan. Viki yakin, setelah lo nonton bareng keluarga, lo makin menyadari arti penting sebuah kejujuran, kekecewaan, mimpi, harapan, cinta, kenangan, dan yang terpenting, makna kebersamaan dan dukungan dari keluarga. Nah, lo penasaran sama filmnya? Kalau enggak ada halangan, film ini bakal ditayangin pada 24 November 2017 di bioskop seluruh Indonesia.