*Spoiler Alert: Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang bisa aja mengganggu buat lo yang belum nonton.
Cerita: 6 | Penokohan: 7 | Efek Suara/Scoring: 7 | Visual: 7 | Penyutradaraan: 6 | Nilai Akhir: 6,6/10
Aktor multitalenta, Ethan Hawke, kembali beraksi lewat film 24 Hours to Live produksi Saban Films. Kali ini, peran Hawke beda dari beberapa judul film legendaris sebelumnya. Sebut aja trilogi Before: Before Sunrise (1995), Before Sunset (2004), Before Midnight (2013), dan Boyhood (2014). Dalam film 24 Hours to Live, Hawke memerankan karakter Travis Conrad, mantan tentara yang ditugaskan dalam misi pembunuhan.
Peran Hawke kali ini jauh dari kata melankolis dan membutuhkan tenaga yang cukup untuk bisa beraksi kejam dan spontan, layaknya Keanu Reeves dalam John Wick (2014). Film ini sendiri mengusung genre action–thriller dengan cukup banyak menampilkan adegan berdarah di setiap adegannya. Sebelum baca ulasannya lebih lanjut, coba lo simak dulu cuplikannya berikut.
Sinopsis: Travis Conrad (Ethan Hawke) harus kembali dari masa hiatusnya akibat organisasi yang menaunginya, Red Mountain, meminta bantuannya. Diiming-imingi 2 juta dolar, Travis bersedia untuk bertugas kembali. Tugas Travis adalah membunuh mantan agen Red Mountain, Keith Zera (Tyrone Keogh), yang kini menjadi informan penting bagi pemerintah Amerika Serikat yang mengetahui segala kebusukan Red Mountain. Jim dilindungi oleh para agen Interpol, salah satunya adalah Lin Besset (Xu Qing). Namun, agen-agen Interpol lainnya tewas akibat serbuan mendadak dari pihak Red Mountain di perbatasan Afrika Selatan, meninggalkan Lin yang satu-satunya selamat dari serbuan tersebut.
Secara keseluruhan, 24 Hours to Live telah berhasil menunjukkan jati dirinya sebagai film aksi. Adegan baku tembak yang cukup brutal udah terlihat pada bagian pembuka film. Sang sutradara, Brian Smrz, seolah ingin menegaskan bahwa filmnya yang satu ini memang enggak tanggung-tanggung dalam menampilkan adegan aksi penuh darah yang menegangkan.
Sang karakter utama, Travis, hanya memiliki waktu 24 jam untuk hidup. Dia harus bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam rangka menyelesaikan misinya. Sayangnya, dengan premis yang menegangkan seperti itu, film ini cukup dangkal dalam penyajian cerita. Padahal, naskah 24 Hours to Live dikerjakan oleh tiga orang sekaligus, loh. Nyatanya, mereka belum cukup bisa mengembangkan cerita serta konflik yang ada dalam film.
Banyak sekali latar belakang cerita yang kurang jelas. Lo bakal bertanya-tanya, misalnya kenapa Red Mountain harus melakukan hal tersebut pada Travis, mengapa Travis harus mematuhi apa yang diperintahkan Red Mountain, apa sebenarnya organisasi Red Mountain itu. Lo enggak bakal dapat jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Belum lagi ada beberapa keanehan terhadap penokohan dalam film ini. Misalnya aja seorang agen cewek bernama Lin yang sangat ahli dan perkasa. Dia selalu selamat seorang diri dari serbuan agen profesional padahal jumlahnya cukup banyak saat menyerang dia. Ajaib, deh!
Yap, mungkin untuk lo yang suka film yang mengasah daya otak, hal-hal tersebut cukup menganggu. Namun, kalau lo adalah tipe penonton yang hanya ingin menikmati alur, lo bakalan suka film ini. Soalnya, sang sutradara tampaknya memang ingin menonjolkan unsur laga dalam film ini. Sayangnya, adegan aksi dalam film ini, meski penuh totalitas, sebenarnya enggak terlalu spesial. Lo masih bisa nemuin adegan-adegan serupa di film-film aksi lainnya.
Lo mesti berterima kasih sama Hawke. Selain memiliki karisma yang kuat, dia juga memiliki kapabilitas akting yang meyakinkan. Ini terbukti lewat karakter Travis yang dia peranin. Pemilihan Paul Anderson buat meranin karakter Jim sebagai antagonis pun tepat. Jim sendiri diceritakan sebagai pria yang terjebak akan situasi yang mengharuskan dia memilih keluarganya atau persahabatanya dengan Travis.
Film ini berdurasi 1 jam 33 menit. Makanya, enggak mengherankan kalau adegan demi adegan terasa sangat terburu-buru dan kurang memorable seperti angin berlalu. Apalagi, Smrz kurang memberikan sentuhan komedi dalam setiap adegan ceritanya. Padahal, ada beberapa adegan yang sebenarnya sangat pas jika terdapat sentuhan humor.
Kalau pun ada adegan yang lo ingat dengan baik saat lo keluar dari bioskop, mungkin adegan itu adalah saat Travis menyelamatkan Lin. Travis menggunakan yang sebelumnya dia curi, yaitu taksi dengan merek Toyota Avanza, mobil yang populer digunakan sebagai kendaraan pribadi di Indonesia. Kalau lo termasuk yang punya mobil ini, mungkin lo bakal gemeteran saat mobil tersebut terlibat dalam aksi kejar-kejaran serta hujan peluru yang mengenai kaca dan kabin.
Sekali lagi, film ini bakal jadi tontonan menarik kalau lo memang adalah penggemar film aksi yang berniat cari hiburan ringan. 24 Hours to Live sebenarnya udah dirilis sejak 1 Desember 2017 di Amerika. Namun, di Indonesia baru ditayangin mulai 7 Februari 2018 di Cinemaxx, CGV, dan Flix Cinema. Kalau lo udah nonton, boleh, loh, kasih pendapat di kolom komentar!