Alih-alih membawa kegembiraan, kabar bahwa waralaba film Harry Potter akan diremake sebagai serial di HBO Max oleh Warner Bros. justru menuai kritik dan pesimisme. Pesimisme tersebut datang tidak hanya dari beberapa sineas tetapi bahkan penggemar alias potterhead.
Ada beberapa alasan mengapa penggemar merasa pesimistis dengan kabar tersebut. Apa saja? Berikut deretan ketakutan penggemar jika petualangan Harry-Hermione-Ron dibuat ulang dalam versi serial.
Kehilangan nuansa asli
Kenangan anak-anak kelahiran 80,90, dan 2000-an awal akan waralaba Harry Potter dan sepaket suasana di dalamnya begitu membekas, sampai-sampai mungkin sulit untuk menggantikan kenangan tersebut. Kendati dibuat seapik mungkin tanpa wokeness, kenangan tentang suasana itu dianggap sulit tergantikan oleh para penonton.
Apalagi, teknologi yang dipakai pasti akan jauh lebih canggih dalam versi serial. Walaupun beberapa CGI di waralaba Harry Potter masih kurang canggih untuk ukuran masyarakat zaman now, tetapi kesan klasiknya-lah yang membuat Harry Potter selalu asyik ditonton berulang kali saat ia muncul kembali dalam momen-momen tertentu.
Terkait “nuansa”, Chris Columbus, sutradara Harry Potter and The Sorcerer’s Stone dan Harry Potter and The Chamber of Secret mengatakan bahwa remake ini enggak perlu.
“Semua pihak di Hollywood sekarang doyan membuat ulang semua film. Untuk apa? Mari kita hidup dengan film-film yang sudah ada. Tidak ada gunanya remake dari film yang memang klasik. Mengapa tidak membuat yang orisinil?”
Cerita akan bertele-tele
Waralaba Harry Potter melakukan tugas yang baik dalam meringkas kisah-kisah J.K. Rowling menjadi karya yang padat dan kuat. Bukan hal yang mudah membawa karya Rowling ke dalam layar sinema karena kisahnya begitu kompleks dengan konflik yang beragam, bahkan di setiap sekuelnya.
Beberapa serial yang merupakan prekuel, sekuel, bahkan remake dari waralaba film sukses enggak semuanya diterima dengan baik. The Rings of Power, yang merupakan prekuel dari waralaba The Lord of the Rings misalnya, menuai kritik karena kualitasnya jauh di bawah waralaba aslinya dan membuat impresi penggemar terhadap semesta Tolkien rusak. Selain itu, plot-nya kurang asyik untuk diikuti dan agak bertele-tele.
Nasib The Cursed Child enggak jelas
Setelah petualangan para remaja Hogwarts selesai di Harry Potter and The Deathly Hallow Part II, ada karya baru bertajuk Harry Potter and The Cursed Child. Karya berbentuk novel itu memang enggak sepopuler karya-karya Harry Potter sebelumnya, tetapi masih punya kaitan yang erat dengan karya-karya yang udah diangkat ke dalam film.
The Cursed Child sendiri berfokus pada cerita anak Harry Potter, Albus Severus Potter yang harus “menyandang beban” nama besar sang Ayah. Sementara itu, Harry Potter dewasa harus berjuang untuk menghadapi dunia kerja di Kementerian Sihir yang berat, belum lagi tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
Sejauh ini, The Cursed Child hanya dibuat dalam bentuk pertunjukkan panggung dan belum ada pembicaraan lanjut mengenai film atau serial yang diangkat dari cerita itu. Penggemar menyayangkan mengapa rencana remake harus ada sementara itu cerita terbaru Harry Potter malah dibiarkan.
Penuh dengan wokeness
Semenjak teaser film-film live action Disney muncul, semakin banyak orang yang menyayangkan kentalnya wokeness –istilah untuk kaum sok progresif yang ingin keluar dari status quo–, dalam pemilihan cast-nya. Misalnya, Ariel atau Tinkerbell yang memang sudah diatur sebagai kulit putih sejak dari versi kartun, kini dipaksakan untuk berubah ras demi menyandang status progresif dan universal itu.
Sebetulnya, bagi penonton enggak ada yang salah dari film multietnis, misalnya seperti Dungeons & Dragons: Honor Among Thieves. Namun, penonton, baik dari Indonesia mau pun negara lain, menyayangkan pemaksaan cast yang enggak sesuai dengan versi aslinya.
Banyak orang yang takut jika serial Harry Potter ini akan memuat banyak wokeness sehingga beberapa tokoh sentral akan diganti ras-nya, dan hal itu berpotensi menghilangkan nuansa semesta Harry Potter yang sudah diciptakan oleh J.K. Rowling di dalam novelnya.
Penuh dengan kampanye LGBT
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada banyak rumah produksi yang menyematkan nilai-nilai LGBT pada setiap karya filmnya –bahkan jika film tersebut ditujukan untuk anak-anak dan remaja. Sebutlah serial kartun Clarence, beberapa Disney Shows, bahkan satu adegan selintas lalu di Finding Dory.
Masalah orientasi seksual memang enggak akan pernah habis untuk diperdebatkan dan dibahas, tetapi banyak penonton yang was-was jika serial Harry Potter akan sengaja memasukkan pesan subliminal LGBT.
Senasib dengan Fantastic Beasts
Berbanding terbalik dengan waralaba Harry Potter, Fantastic Beasts, yang diangkat dari buku Fantastic Beasts and Where to Find Them karya J.K. Rowling, panen kritik baik dari penonton mau pun dari kritikus. Film-film Fantastic Beasts dinilai kurang baik dari segi plot dan penokohan. Konfliknya datar dan enggak jelas di mata para kritikus. Tomatometer pun menunjukkan nilai 74% untuk film pertama, 36% untuk film kedua, dan 46% untuk film ketiga. Skor yang jelas jauh dibandingkan waralaba Harry Potter.
J.K. Rowling sendiri masuk ke dalam jajaran penulis skenario dan itu bukan hal yang dianggap baik. Sebagai novelis, J.K. Rowling memang keren, tetapi penulisan skenario adalah hal yang berbeda. Skenario J.K. Rowling dianggap bertele-tele dan enggak kuat dari segi cerita.
Para penonton khawatir jika J.K. Rowling kembali menjadi penulis skenario untuk serial Harry Potter, serial itu akan cenderung membosankan dan enggak menarik seperti filmnya.
Pengembangan karakter yang Tricky
Serial menyediakan ruang durasi yang lebih lama ketimbang film, dan ini memungkinkan eksplorasi masalah para tokoh dengan lebih dalam. Ini adalah kabar baik sekaligus kabar buruk.
Kabar baiknya, jika ramuannya tepat, kita bisa mengenal para tokoh dengan lebih dekat. Kabar buruknya? Serial ini akan bertele-tele dan cerita utama justru akan terganggu dengan masalah-masalah tokoh sampingan. Kita tahu bahwa beberapa tokoh sampingan seperti keluarga Weasley, Luna Lovegood, Severus Snape, bahkan Petunia Dursley memiliki masalahnya masing-masing. Namun, mengeksplorasi masalah banyak tokoh berpotensi bikin cerita menjadi ruwet.
Belum ada kabar lebih lanjut apakah serial ini akan benar-benar diwujudkan atau menjadi sekadar rencana. Namun, jika izin J.K. Rowling keluar, bisa saja serial ini akan hadir sebagai “penebusan” gagalnya Fantastic Beasts.
Bagaimana denganmu? Setuju enggak kalau kisah klasik Harry Potter di-remake?