Potret Perempuan dalam Sinema Indonesia dari Masa ke Masa

Sosok perempuan memang tak dapat diabaikan dalam sinema Indonesia. Bahkan, jika dilihat, representasi perempuan dalam film Indonesia mengalami perubahan dari dekade ke dekade. Perubahan itu lebih dari sekadar ornamen seperti riasan atau mode, tetapi sesuatu yang lebih dalam seperti identitas hingga peran di dalam masyarakat.

Perkembangan zaman dan masyarakat memengaruhi film dan tentunya memengaruhi peran perempuan di dalam film. Seperti apa peran perempuan di dalam sinema Indonesia dari waktu ke wakti? Mari tengok di sini:

Periode 50-an-60-an: Perempuan yang feminin dan penuh tingkah laku halus

Via Istimewa

Sejarah perfilman Indonesia sebetulnya dimulai dari 1900-an, tetapi “sejarah yang dianggap sebenar-benarnya”, yang menjadi tonggak perfilman Indonesia adalah pada tahun 50-an. Pada 30 Maret 1950 bahkan diperingati sebagai Hari Perfilman Nasional, berbarengan dengan dirilisnya Darah dan Doa, yang dibuat oleh anak bangsa, Oesmar Ismail, bukan propaganda kolonial.

Trauma pascaperang dan kegelisahan eksistensialis menjadi tema besar dari dua film awal Oesmar Ismail, tetapi lantaran yang pergi perang memang kebanyakan adalah pria, tokoh utama dari kegelisahan ini adalah pria. Perempuan, dalam Lewat Djam Malam (1954) digambarkan sebagai kekasih, korban pembunuhan, lainnya sebagai PSK. 

Pada Tiga Dara (1956), alias salah satu film Oesmar Ismail yang jauh lebih populer, perempuan menjadi tokoh-tokoh utama dan digambarkan feminin, dengan penggunaan rok serta tingkah laku halus. Mereka dipenuhi keceriaan, nyanyian, dan perasaan yang mendayu-dayu. 

Tiga Dara bisa dibilang sebagai sebuah terobosan yang baik. Perempuan memiliki ceritanya tersendiri dan konfliknya sendiri selaku individu.

Konflik karakter perempuan juga semakin beragam pada film era 60’an. Konfliknya lebih dari keluarga, tetapi juga cinta dan profesi. Profesi-profesi perempuan pada era 60-an ini kebanyakan adalah selebritas, penyanyi, atau lulusan Sekolah Kepandaian Putri yang notabene identik dengan hal-hal seperti fashion dan kosmetik. Ornamen-ornamen identitas ini sangat feminin dan memiliki perbedaan yang jelas dengan pilihan identitas para pria. Para perempuan juga kerap menjadi sosok yang diperebutkan oleh pria dalam hal cinta.

Periode 70an: Perempuan dalam paksaan nafsu dan kubangan hitam

Via Istimewa

Berbeda dengan potret perempuan yang cenderung digambarkan halus, santun, dan penuh dengan hal-hal manis, perempuan dalam era 70-an cenderung menjadi objek seksual dan digambarkan selalu menjadi korban dari hal-hal berbau seksual, seperti fantasi seks, pemerkosaan atau perdagangan perempuan.

Nudity, adegan seks, hingga kata-kata kasar sangat kental terlihat pada banyak film di era 70-an. 

Bernapas dalam Lumpur (1970) misalnya, menceritakan Supinah, yang mencari sang suami pengkhianat di Jakarta, tetapi terperosok ke dalam lubang perdagangan perempuan. Pun ada Nafsu Gila (1971), yang punya premis misteri dan pembunuhan, tetapi sosok perempuan pernah diperkosa. Ada pula film yang diambil dari novel sejarah, Samiun dan Dasima (1970) yang dengan gamblang mempertontonkan buah dada perempuan dan ciuman erotis di bagian tubuh. 

Isu hubungan seks perempuan dan keperawanan juga banyak dibahas pada era ini. Perempuan menjadi korban kebrengsekkan laki-laki pada hal berbau seksualitas dan hidup mereka hancur karenanya.

Periode 80an: Perempuan penuh gaya dan berani mendefinisikan diri

Via Istimewa

Masih ada beberapa film yang menampilkan “adegan terbuka” bahkan pada bagian dada, tetapi secara umum perempuan-perempuan pada film 80an digambarkan lebih dinamis, bergaya, berpendidikan,  dan punya pilihan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dan banyak peran yang biasa dikerjakan pria. Ini tentu enggak dapat dilepaskan dari akses pengaruh film dan lagu-lagu luar negeri, termasuk Amerika Serikat.

Sosok-sosok perempuan di film Indonesia era 80-an digambarkan lebih berani berpendapat, berani menentukan gaya yang mereka suka bahkan masuk ke jenjang pendidikan tinggi di Institut atau Universitas. Misalnya, dalam film remaja SMA Roman Picisan (1980), Masih Adakah Cinta (1980) atau Begadang Karena Penasaran (1980), sosok perempuan berani menentukan kepada siapa dia jatuh cinta.

Ada pula film biopik sejarah Tjoet Njak Dien (1988) yang menggambarkan keberanian perjuangan Cut Nyak Dien dalam memberantas para penjajah, menjadi wakil rakyat Aceh. Bahkan, juga dirilis film Bangunnya Nyi Roro Kidul (1985) yang walaupun erotis dan penuh ketelanjangan tetapi menampilkan perempuan bisa memimpin.

Via Istimewa

Perempuan juga ditempatkan punya pesona yang modern dan menggoda. Film-film waralaba seperti film-film Warkop DKI dan Catatan Si Boy misalnya, menampilkan para perempuan yang bergaya dinamis, berani berpendapat, kadang menggunakan outfits yang sama dengan laki-laki, tetapi agak sulit diatur dan kadang bisa “liar” dalam hubungan cinta.

Periode 90-an: Objek seksual dan penuh nafsu liar

Via Istimewa

Tahun 90an adalah era di mana perfilman Indonesia dianggap “mati suri”. Pada masa ini, keberadaan channel-channel TV swasta menyita perhatian masyarakat dan memberikan jenis hiburan baru selain film bioskop. Akibatnya, para sineas pun ogah-ogahan membuat film yang berkualitas dan FFI (Festival Film Indonesia) pun ditiadakan.

Via Istimewa

Film-film Indonesia yang diproduksi pada dekade ini enggak berkualitas dan bahkan penuh dengan erotisme. Para perempuan dijadikan objek seksualitas sebagai penarik penonton pria. Para perempuan juga kerap digambarkan memiliki nafsu jalang.

Judul-judul film pun enggak malu menampilkan sensualitas dengan poster-poster lekuk tubuh perempuan. Misalnya Kenikmatan Tabu (1994), Nafsu X (1996), Gadis Metropolis (1991), dan Birahi Perempuan Halus (1997). Pada dekade ini, lahir banyak selebritas yang mendapat julukan bom seks.

Periode 2000an: Anak muda ibukota yang dinamis dan gaul

Via Istimewa

Rilisnya Ada Apa dengan Cinta? (2001) menjadi salah satu tanda bangkitnya film berkualitas Indonesia. Kesuksesan ini pun memengaruhi karakterisasi dalam film-film lain, termasuk karakter para perempuan.

Sosok-sosok perempuan yang ditampilkan di dalam film cenderung mengikuti Cinta: anak muda, ibukota “banget”, gaul, enggak ketinggalan zaman, dan tentu berpendidikan. Pola karakter cewek muda gaul ini terlihat dalam Eiffel I’m in Love (2003), 30 Hari Mencari Cinta (2004), hingga Me vs High Heels (2005).

Via Istimewa

Pada era ini, teenlit alias novel-novel tentang anak remaja dan chicklit, novel-novel tentang kaum muda banyak yang diangkat menjadi film. Teenlit dan chicklit sendiri memiliki formula yang biasanya merujuk kepada perempuan gaul dan up to date ibukota dengan permasalahan asmara dan eksistensi mereka.

Citra perempuan pada film-film era 2000an ini lekat dengan pergaulan ibukota, musik, karier, sekolah, dan tentu saja cinta modern.

Periode 2010-an-sekarang: Lebih beragam dan variatif, merangkul perbedaan

Via Istimewa

Citra perempuan pada era 2010-an sampai sekarang di film-film Indonesia lebih variatif. Memang, Indonesia sempat berada pada masa di mana film horor erotis kembali meraja lela. Namun, hal tersebut enggak berlangsung lama karena semakin banyak film Indonesia berkualitas, kejenuhan penonton, hingga munculnya platform video on demand.

Via Istimewa

Beruntungnya, film-film Indonesia zaman sekarang sangat merangkul perubahan dan perbedaan. Perempuan bisa menjadi ibu rumah tangga yang memegang teguh budaya seperti dalam Ngeri-Ngeri Sedap atau menjadi petarung seperti dalam The Raid, The Night Comes from Us, hingga Gundala dan Mencuri Raden Saleh. 

Via Istimewa

Perempuan juga bisa menjadi penggerak cerita utama dalam film horor, bukan sekadar korban, seperti dalam Perempuan Tanah Jahanam, Kafir, dan sebagainya.

Selain merangkul peran perempuan yang beragam, film-film era kini juga merangkul perbedaan. Semakin beragam warna kulit dan suku para aktor yang berlaga, bahkan sosok perempuan enggak harus selalu terlihat kekotaan, tinggi, putih, atau punya badan bak gitar spanyol. 

Beragamnya peran perempuan pada masa kini di perfilman Indonesia adalah sesuatu yang patut untuk dihargai dan dirayakan.

***

Karakter perempuan dalam sinema Indonesia dapat menjadi cermin budaya sekaligus penggerak tren di tengah masyarakat. Semoga ke depannya, peran-peran perempuan semakin variatif sehingga perempuan enggak perlu merasa ragu untuk menjalani pilihannya.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.