Apa yang kamu pikirkan saat mendengar tentang neraka? Kita akan selalu berpikir mengenai tempat yang dipenuhi dengan kobaran api panas. Ya, berbagai literatur, mulai dari buku-buku cerita hingga film kerap menggambarkan neraka sebagai tempat gelap, panas, penuh dengan kobaran api.
Berbeda dengan literatur kebanyakan yang memberikan gambaran api dengan visualisasi nyata, penggambaran neraka di dalam film-film ini cukup unik dan membuka pikiranmu tentang esensi penyiksaan itu sendiri.
Bukan cuma tentang api atau hal-hal bersifat siksaan fisik, film-film ini memakai sudut pandang lain untuk menggambarkan neraka yang mungkin jauh dari bayangan khalayak.
Penasaran bagaimana penggambaran neraka yang unik tersebut? Cari tahu siksaannya di sini.
Penggambaran neraka dalam paling unik dalam film!
The Twilight Zone – A Nice Place to Visit (1960)
Bagaimana jika neraka adalah tempat yang dipenuhi pesta, perempuan, dan harta kekayaan? Tentu banyak orang yang berbondong-bondong ingin masuk ke sana! Penggambaran neraka seperti itu ada di dalam salah satu episode serial fantasi psikologi legendaris The Twilight Zone.
Rocky Valentine, seorang perampok, meninggal dunia setelah ditembak oleh polisi dalam pengejaran. Setelah meninggal dunia, ia masuk ke dunia di mana ia mendapatkan kekayaan, pemujaan, kemenangan, dan semua wanita yang ia temui. Ia menginap di hotel mewah, selalu menang saat berjudi, dan selalu dipuji banyak orang.
Namun, lama-kelamaan ia merasa bosan dengan semua kemudahan itu dan meminta ke neraka kepada “pemandu” –seorang pria tua–yang menemaninya sejak awal. Pria itu justru bertanya, “Mengapa kamu berpikir kalau ini surga? Ini tempat yang lain!”.
A Nice Place to Visit menggambarkan neraka sebagai tempat penuh kemudahan karena justru itulah yang membuat jiwa manusia tersiksa. Tanpa adanya tantangan, orang yang rakus seperti Rocky akan merasa menderita. Lagipula, kebahagiaan sejati tidak bisa hadir jika tidak merasa kesusahan. Maka dari itu, tagline populer dari film ini adalah “it is such a nice place to visit, but i wouldn’t want to live there”.
Huis Clos/No Exit (1954)
Film yang merupakan book adaptation ini bersumber dari pemikiran seorang filsuf Prancis, yakni Jean-Paul Sartre, bahwa neraka adalah orang lain. Apa maksudnya? Mari cari tahu lewat penggambaran neraka dari film ini.
Joseph Garcin, seorang pria, serta dua perempuan, Inèz Serrano, dan Estelle Rigault, mendapati diri mereka berada di dalam ruangan dengan gaya Second-Empire ala Prancis. Mereka sudah meninggal dunia, tetapi bertanya-tanya mengapa mereka enggak ke “neraka” yang konsepnya mereka yakini di dunia.
Namun, rupanya neraka bagi mereka adalah orang lain di dalam ruangan itu. Mereka mengobrol untuk kemudian saling menyudutkan dan gengsi mengakui kesalahan. Garcin sendiri mencoba melarikan diri dan enggak ada yang menghalangi dia dari hal itu. Masalahnya, rasa ingin “menang” saat berdebat dengan orang lain di ruangan itu menghalangi semuanya untuk pergi, padahal, perdebatan itu sudah pasti enggak akan ada ujungnya.
Ya, mereka semua pendosa dan sedang berada di neraka. Namun, neraka itu adalah obsesi kita buat menang melawan orang lain dan ketakutan kita sendiri akan penghakiman orang lain kepada diri kita. Lewat karya ini, Sartre menyimbolkan neraka sebagai orang lain lantaran pendapat orang lain tentang diri kita enggak semudah itu dimanipulasi. Kita pun enggak bisa sepenuhnya merencanakan apa yang bisa dipikirkan dan dilakukan orang lain terhadap diri kita.
Lucifer (2016)
Lucifer, dalam serial besutan Netflix berjudul sama, merupakan fallen angel alias malaikat yang menjelma iblis yang dihukum untuk menjaga neraka. Karena bosan, ia pun turun ke Bumi dan bersenang-senang di Los Angeles dan membuka bar. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan Chloe Decker, seorang detektif di LAPD yang kritis dan keras kepala. Lucifer, merasa tertarik dengan adrenalin saat memecahkan kasus, kemudian menjadi konsultan LAPD.
Neraka yang digambarkan dalam serial ini cukup unik. Nuansanya memang gelap dan dingin dengan aura cyberpunk, tetapi hukuman-hukuman di dalamnya tidak berbentuk fisik. Dalam Lucifer, setiap pendosa masuk ke ruangan masing-masing dan terjebak dengan momen time-loop yang paling mereka sesali.
Sampai mereka bisa memahami kesalahan mereka dan memaafkan diri sendiri, mereka enggak akan bisa keluar dari time-loop yang bikin frustrasi. Benar-benar siksaan jiwa yang nyata!
What Dreams May Come (1998)
Film yang dibintangi oleh mendiang Robin Williams ini sebetulnya menggambarkan neraka utama seperti neraka-neraka pada umumnya yang dipenuhi dengan kegelapan dan juga api-api. Namun, ada satu neraka “unik” yang dipersembahkan oleh karya ini: neraka untuk mereka yang bunuh diri.
Chris Nelsen dan Annie Collins bertemu di sebuah danau yang indah. Setelah berpacaran, mereka kemudian menikah dan memiliki anak. Nahas, anak-anak mereka meninggal dalam kecelakaan dan setelah itu Chris meninggal dunia. Dia pun masuk surga sesuai dengan imajinasinya akan kenangan bersama istrinya. Namun, Annie yang bunuh diri setelahnya masuk ke dalam neraka sesuai dengan “kekosongan jiwanya”. Ia bunuh diri karena merasa dirinya kosong dan di akhirat, terdampar di reruntuhan bangunan kuno yang sepi. Itulah nerakanya dan Chris mencoba menyelamatkan jiwa sang istri.
What Dreams May Come memberikan pehamaman enggak cuma soal neraka dan surga, tetapi bagaimana kita belajar buat ikhlas dan belajar menerima kehilangan sebagaimana adanya.
Wristcutters: A Love Story (2006)
Satu lagi film yang bercerita tentang neraka bagi mereka yang bunuh diri: Wristcutters. Konsep latar tempat film ini sebetulnya adalah purgatory atau alam barzah dan bukannya akhirat atau tujuan akhir.
Zia bunuh diri dan mendapati dirinya terjebak di dunia yang seperti dunia nyata, tetapi lebih buruk karena di langit tidak ada bintang-bintang cantik, suasana kurang nyaman, dan orang-orangnya menderita. Di sana, ia menemukan banyak orang yang juga meninggal karena bunuh diri, termasuk pacarnya yang bunuh diri setelah tahu bahwa Zia bunuh diri.
Kisah di film ini absurd, penuh dengan komedi yang gelap –mungkin bisa bikin kamu tertawa, mungkin cuma tersenyum kecut–. Yang jelas, dengan penggambaran penderitaan yang “sederhana” tapi ngena, film ini mampu memberikan pesan bagi kamu untuk menghargai kehidupanmu dan menjalaninya dengan bijak, seberapa sulitnya kehidupan itu.
***
Deretan penggambaran neraka di atas menunjukkan bahwa siksaan itu mengarah kepada jiwa kita, jiwa yang menjadi sumber dari segala pemikiran dan perilaku kita semasa di dunia. Tentu semua “siksaan” itu lebih adil jika dialamatkan kepada jiwa, bukan?