Dikenal sebagai salah satu filmmaker beken di Indonesia, Edwin merupakan sutradara yang punya segudang prestasi. Namanya mungkin asing, tapi karyanya pasti dikenal penikmat film Indonesia, bahkan dunia. Edwin memulai kariernya lewat film-film pendek yang kerap diputar di ajang festival Internasional.
Kariernya makin meroket ketika dia menggarap film Posesif (2017). Bagaimana enggak? Film tersebut jadi debut film panjang komersial Edwin yang menuai kritik positif. Nah, kini namanya makin bersinar setelah dia menggarap film Aruna dan Lidahnya (2018). Namun, tahukah lo kalau Edwin juga jadi sosok yang menginspirasi?
Penasaran? Buat lo yang belum terlalu mengenal sutradara beken ini, silakan simak sepenggal karier Edwin!
Visualkan Film Aruna dan Lidahnya
Sineas yang pernah menjadi asisten sutradara Riri Riza dalam film Gie (2005) ini mulai mencoba film-film komersial, setelah karya-karya mainstream-nya di film pendek. Setelah film Posesif, dia menggarap film adaptasi novel Aruna dan Lidahnya. Realisme yang dibawanya menampilkan interaksi manusia dengan segala problematikanya.
Namun ternyata, bukan hal mudah memvisualkan novel jadi film. Terdapat beberapa strategi yang harus dilakukan demi menyampaikan seluruh pesan di novel sama dengan di film.
“Pertama harus ketemu karakter Aruna. Kemudian juga mengenai makanan, bagaimana caranya penonton juga harus merasakan. (Strategi) Breaking the fourth wall juga jadi salah satu cara efektif langsung bikin karakter Aruna yang dibutuhkan dan mengundang penonton lebih dekat. Sehingga keinginan merasakan makanan jadi lebih deket dan intim.”
Hadiah Sebagai Sutradara Terbaik FFI 2017
Debut di film panjang komersial dan debut mendapatkan piala FFI sebagai “Sutradara Terbaik”, siapa, sih yang enggak mau? Itulah yang diraih Edwin di perjalanan kariernya. Mendapat pernghargaan bergengsi di ajang Indonesia tersebut dengan kategori tersebut bisa dibilang jadi impian banyak sineas Indonesia.
Nah, pencapaian yang diraihnya jadi salah satu pembuktian bahwa dirinya bisa keluar dari film-film mainstream-nya dan sukses menyabet Piala Citra dengan predikat “Sutradara Terbaik” di FFI 2017.
“Itu bagian dari apresiasi dan itu adalah hal yang menyenangkan. Jadi itu semacam hadiah atau bonus.”
Prediksi Film Indonesia ke depannya
Film Indonesia bakal terus berkembang makin baik ke depannya. Kualitasnya pun bakal makin bagus, dilihat dari film-film yang kini mentereng di layar lebar. Penonton Indonesia pun makin pintar memilih mana film yang bagus, mana film yang kurang bagus. Sementara, genre film-film masa kini bisa menentukan bagaimana film-film Indonesia di masa depan.
Sutradara yang pernah studi di Institut Kesenian Jakarta ini punya prediksi tentang genre film Indonesia ke depannya.
“Film kayak Aruna dan Lidahnya nantin bakal banyak, sih”
Bikin Film Berdasarkan Pengalaman Personal
Tema-tema yang dekat dengan keseharian dan relatable dianggap bisa ngena di hati penonton. Meski sederhana, film-film bertema keseharian bisa ngasih pengalaman unik bagi penonton. Faktanya, sebagian besar film-film Edwin, baik film pendek atau panjang, berdasarkan pengalaman personal atau keresahan sosial. Meski ada beberapa ada tema kehidupan yang sensitif, Edwin enggak takut menuangkan jadi karya.
“Tema keseharian terenyata banyak sekali detail yang deket. Kayak persoalan di keluarga, teman, dan sekitar. Sebenarnya, sumber untuk bikin film, ‘kan, macem-macem. Nah, yang enggak jauh-jauh dari yang ada di sekitar kita bakal banyak untuk dieksplorasi.”
Namun, Edwin juga enggak mengharuskan sebuah karya yang bagus itu yang dekat dengan keseharian. Dia juga terbuka dengan film fantasi, jika hal itu ngasih perasaan dekat ke penonton.
“Tapi,bukan berarti penonton enggak bisa diajak berfantasi. Ketika ditonton, orang bakal mencari kedekatan juga. Misalnya, kesehariannya yang masih dekat dengan sifat-sifat manusia saat ini. Film pada akhirnya yang paling penting adalah contemporery-nya yaitu kemampuan film yang bisa menangkap zaman. Mau bentuknya fantasi atau realisme, kalau dia jauh dari sehari-hari itu gagal. Kedekatan itulah yang menarik”.
Apresiasi terhadap Sinema
Sinema adalah seni yang juga wajib diapresiasi. Masing-masing orang pun punya cara yang berbeda untuk menghormati sebuah sinema. Begitu juga dengan Edwin, sebagai sineas indonesia, dia juga selalu melakukan penghormatan dan apresiasi terhadap sinema.
“Dengan cara bikin film, bikin apa yang kita suka dan dengan sepenuh hati. Enggak meremehkan penonton. Enggak khawatir penonton itu ngerti atau enggak. Terus, enggak berlebihan memperlakukan sinema sebagai sebuah kebiasaan manusia yang wajar.”
Proyek Film Selanjutnya: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Setelah sukses menggarap film Posesif serta Aruna dan Lidahnya, Edwin kini tengah bersiap dengan proyek film terbarunya. Saat sesi wawancara dengan Kincir.com pada Selasa (9/10), Edwin mengaku bahwa dirinya saat ini punya proyek film selanjutnya. Berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, film tersebut merupakan adaptasi novel karya Eka Kurniawan yang berjudul sama.
Sebelumnya, proyek film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas ini berhasil memenangkan Busan Award dalam Asian Project Market 2016. Ajang tersebut menyeleksi dan mempertemukan proyek film berkualitas kepada pendana, investor film, dan juga pembeli film dari berbagai negara.
“(Dipilihnya) projek itu, jadi waktu itu kami mempresentasikan projeknya dan dapet penghargaan sebagai projek yang masuk akal. Sekarang baru sampai nulis draft. Sekarang mau nyari lokasi, mau nyari pemain. Lagi dalam proses pre-produksi. Tanggal rilisnya juga belum ada.”
***
Itulah sepenggal karier Edwin yang udah mengharumka Indonesia. Masih banyak pencapaiannya yang patut kita acungi jempol. Banyak hal inspiratif yang bisa kita dapatkan. Edwin adalah salah satu sineas professional yang karyanya jadi inspirasi sineas muda di Indonesia.
Terus ikutin kisah para sutradara Indonesia hanya di Kincir.com, ya!