*(SPOILER ALERT) Review film KKN di Desa Penari ini sedikit mengandung bocoran yang semoga saja enggak mengganggu buat kamu yang belum nonton.
Setelah terhalang oleh pandemi sebanyak dua kali, akhirnya KKN di Desa Penari ditayangkan di bioskop. Penayangannya sendiri menggunakan dua versi, yakni versi uncut dan versi 13+. Perbedaan versi ini bakal KINCIR bahas di bagian akhir.
Seperti utas dan buku yang ditulis oleh akun Twitter @simplem81378523, KKN di Desa Penari menceritakan sekelompok mahasiswa yang melakukan kuliah kerja nyata di desa terpencil. Sejak awal, Nur, mahasiswi yang diceritakan memiliki “roh penjaga” sudah merasakan ketidakberesan di desa tersebut. Ya, seperti yang dikatakan oleh para penduduk desa, di desa tersebut memang enggak cuma ada satu desa, tetapi “dua desa”. Desa kedua, tentu desa yang enggak kasat mata alias desa roh halus.
Ketika menonton KKN di Desa Penari, mungkin ada banyak orang yang menurunkan ekspektasi mereka. Pertama, banyak film horor berdasarkan kisah viral yang ceritanya lemah. Kedua, hype dari KKN di Desa Penari mungkin sudah hilang lantaran utas horor @simplem81378523 yang sudah berusia lebih dari dua tahun. Namun, penurunan ekspektasi adalah hal yang bijak karena KKN di Desa Penari lebih bagus dari kebanyakan film yang dibuat berdasarkan hype semata.
Review film KKN di Desa Penari
Enggak perlu jumpscare berlebih
Jumpscare kerap dipakai film horor untuk menutupi kisah yang lemah, sehingga pencari tantangan bakal “terhibur” dengan jumpscare yang berlebihan. Namun, bagi penikmat horor secara menyeluruh, teknik jumpscare berlebihan ini menyebalkan. Karena, hal ini bikin cerita menjadi kasar.
Film besutan Awi Suryadi ini enggak memakai cara klise seperti itu. Kehadiran “roh halus” ada sesuai porsinya saja, bukan sengaja dibesar-besarkan dan dibuat dramatis
Kurang lebih, “jumpscare” yang ada hampir sama dengan “jumpscare” yang ada pada utas. Jadi, buat kamu yang udah baca utasnya berkali-kali bahkan merupakan penggemar @simplem81378523, mungkin sudah enggak perlu menebak-nebak kapan hal-hal mengerikan akan terjadi.
Film horor yang “menyenangkan”
Sebel sama film horor yang sunyi kayak 4Bia: Flight 244? Atau film horor yang menjijikkan seperti The Human Centipede? Tenang, kamu enggak akan menemukannya di dalam KKN di Desa Penari.
Sensasi menonton KKN di Desa Penari kurang lebih sama dengan kayak pergi bareng-bareng sama teman buat masuk ke rumah hantu. Menyeramkan, sih, tetapi fun. Buat kamu yang takut banget sama hantu-hantu ala Joko Anwar atau film-film Thailand, kamu bisa latihan dulu dengan film ini.
Terlebih, film ini juga menyandingkan aspek-aspek urban legend yang populer di kalangan anak muda. Misalnya, nih, seperti “desa gaib” atau “hantu eksotis”. Tebak, siapa yang dimaksud dengan hantu eksotis? Ya, siapa lagi kalau bukan Badarawuhi.
Pemilihan Aulia Sarah buat memerankan Badarawuhi memang tepat. Raut wajahnya, bentuk tubuh, bahkan lenggak-lenggoknya memang mencerminkan apa yang dibayangkan warganet terkait Badarawuhi.
Sinematografi dan akting yang keren
Tepuk tangan patut diberikan kepada bagian sinematografi dari film ini. Dengan tone yang gelap, sesuai dengan kondisi desa yang memang masih tradisional, minim sinyal, dan penerangan seadanya, kita bisa merasakan ketidaknyamanan para tokoh. Seolah, rasa “pliket” alias lembap dan kotor bisa sampai ke penonton melalui pencahayaan dan fokus pada objek-objek tertentu di desa. Misalnya, seperti alas makan, dipan, tempat duduk, dan kebun.
KKN di Desa Penari memang bukan film yang direkam seadanya. Rumornya, rumah produksi menghabiskan hingga 15 miliar rupiah untuk film ini. Maka, jika sinematografi dan latar yang dipakai berkualitas, hal itu tentu enggak mengherankan. Isu 15 miliar rupiah itu menjadi bukan sekadar tempelan atau gimmick belaka.
Keapikan sinematografi ini juga patut diacungi jempol saat menyorot para pemain secara close-up. Misalnya, adegan saat Nur atau Widya ketakutan, adegan 18++ dari Bima, si fakboi pembawa masalah dalam kegiatan KKN ini, atau kemunculan Badarawuhi.
Dari segi akting, memang para pemain film KKN di Desa Penari ini mampu menghidupkan para tokohnya. Tissa Biani mampu membawakan peran Nur yang Islami, tenang, sekaligus lugu mengingat usianya yang masih muda. Adinda Thomas, pemeran Widya, juga bisa membawakan kesan ketakutan sekaligus aneh kepada para penonton. Ingat cerita rambut yang keluar dari mulut Widya? Ya, adegan ini dapet banget menjijikkannya.
Sementara itu, Achmad Megantara juga dapat menjadi sosok Bima yang porsi brengseknya enggak berlebihan. Sosok Bima ini banyak ditemukan di tengah ekosistem kampus sebagai cowok yang pembawaannya asyik, gampang berbaur, tetapi kurang bisa dipercaya.
Oh ya, pemeran Wahyu (Fajar Nugra) juga bisa bikin tokoh ini terlihat lebih asyik daripada utasnya. Ya, Wahyu adalah sosok pencair suasana yang bikin kita enggak melulu tegang saat membaca dan menonton cerita ini. Terlebih, Fajar Nugra memang merupakan komika yang udah terbiasa melucu.
Bagaimana dengan Ayu? Enggak perlu diragukan lagi sih, akting dan pembawaan Aghniny Haque. Aktris yang dulunya merupakan atlet ini memang bisa menjadi sosok yang “menggoda” dengan cara yang wajar, enggak berlebihan, sesuai porsi anak kuliahan. Bahkan, Aghniny dan Aulia Sarah adalah dua cast yang menurut KINCIR sulit digantikan oleh aktor lain.
Cerita yang enggak mengejutkan dan beberapa detail yang terlupakan
Terlepas dari menakjubkannya banyak aspek di film ini, KKN di Desa Penari tetap enggak terlepas dari banyak kekurangan.
Kekurangan pertama adalah kejutan. Seperti yang udah KINCIR singgung sebelumnya, film ini diadaptasi dari utas viral di Twitter. Namun, premis dan alurnya enggak berbeda. Jadi, buat yang udah pernah membaca utas tersebut, mungkin akan merasa bosan saat menonton. Satu-satunya hal yang bisa mengobati adalah keinginan buat melihat utas tersebut diwujudkan secara visual dan merasakan sensasi greget KKN-nya.
Yang kedua, penggunaan ponsel yang terlalu melampaui zaman. Latar waktu KKN ini adalah sekitar tahun 2009, di mana ponsel Android dan iPhone yang canggih seperti sekarang belum dipakai jamak. Secara umum, orang-orang masih menggunakan ponsel Symbian atau Java dengan bentuk yang beragam, bukan sekadar kotak.
Ada banyak hal enggak logis dari film, misalnya film superhero. Namun, film harus menuruti logika premisnya, bukan menuruti hukum logika di dunia nyata. Jadi, film yang disebut enggak logis bukan film dengan berbagai hal ajaib, tetapi film yang enggak menuruti logika dari premis itu sendiri. Apalagi, film KKN di Desa Penari bukan film komedi yang sengaja dibuat janggal seperti Marie Antoinette dengan keberadaan sepatu Converse atau bahkan iklan es krim yang menyajikan tokoh-tokoh kolosal menggunakan ponsel terkini.
Selain itu, penggunaan riasan perlu dikritik. Misalnya, riasan penduduk desa gaib. Alih-alih memberikan kesan menyeramkan yang aneh dan meneror, riasannya sekadar seperti riasan zombie. Padahal, zombie sendiri adalah mayat yang bangun dari kuburan, bukan makhluk gaib. Riasan ini seharusnya dibuat lebih creepy mengingat mereka adalah makhluk halus, bukan mayat hidup.
***
Meskipun sempat diejek sebagai film yang telat tayang dan udah hilang hype-nya, KKN di Desa Penari tetap merupakan film patut diapresiasi. Ia bukan film horor yang receh dan enggak niat dibuat. Baik kamu yang udah membaca utasnya mau pun belum, film ini bisa sangat menghibur, kok. Lebih asyik kalau ditonton ramai-ramai bareng temen buat merasakan sensasi KKN.
Oh ya, mungkin kamu akan merasa kecewa kalau menonton versi uncut. Pasalnya, adegan 18++ yang digadang-gadang bakal panas ternyata enggak seheboh yang diberitakan. Selain itu, versi uncutnya sebetulnya ramah remaja, alias masih bisa ditonton oleh remaja di bawah 17 tahun.