Beberapa belas hingga dekade lalu, Marvel memang hanya tampil lewat komik-komik dengan grafis yang cukup intens dan berwarna-warni. Penggemarnya tentu banyak, tetapi bersifat segmented. Pertanyaannya, bagaimana Marvel Cinematics Universe mampu merangkul target pasar yang lebih luas, lebih dari sekadar comic geek?
Mari kita tengok ke masa lalu…
Pada tahun 1968, Cadence Industries pernah membeli lisensi Marvel dengan harga yang cukup terjangkau. Hasilnya adalah series Spider-Man (1977) dengan rating 5,3 dan film televisi Dr. Strange (1978) dengan rating 5,1 di IMDb.
Pada tahun 1986, Marvel dibeli dari Candence oleh New World Picture. Di bawah New World Picture, diproduksilah The Incredible Hulks Returns (1988) dan Howard the Duck (1986) diproduksi. Film kedua menghabiskan biaya pembuatan sekitar USD37 juta dengan keuntungan hanya USD15 juta.
Setahun setelahnya, Marvel dibeli oleh Ron Perelman (Ronald Perelman). Laki-laki ini membeli Marvel lewat MacAndrews & Forbes. Pada saat itu, Perelman menganggap bahwa Marvel dapat diperlakukan seperti Disney.
“Disney lebih halus dan Marvel lebih berorientasi pada aksi,” katanya.
Dekade 90an adalah masa di mana Ron Perelman menemukan satu formula untuk pemasaran: merchandise. Maka, dibelilah saham ToyBiz (perusahaan mainan) dan dibentuk kerjasama dengan pihak lain yang berkaitan dengan merch. Pada tahun 1993, Marvel Studios dibentuk. Pemimpinnya adalah Avi Arad, sebelumnya orang ToyBiz yang memang sudah khatam dalam penjualan mainan.
Lalu, apakah strategi ini berhasil?
Tahun 1996, justru Marvel dinyatakan bangkrut. Hal ini enggak bisa dilepaskan dari beberapa hal. Pertama, menurunnya penjualan komik. Kedua, terlalu banyak superhero Marvel sehingga branding pun menjadi enggak fokus. Ketiga, keputusan Perelman ini justru menjadi buah simalakama. Di satu sisi, strategi untuk melakukan pemasaran via mainan itu bagus. Di sisi lain, ini juga membuat Marvel kesulitan finansial. Pada akhirnya, Marvel pun terpaksa menjual lisensi Spider-Man ke Sony hanya dengan USD7 juta saja.
Proyek Blade pada tahun 1998 adalah titik balik kebangkitan Marvel. Dengan biaya produksi USD45 juta, Marvel mendapatkan keuntungan sebesar USD70 juta. Ini merupakan hal yang meningkatkan kepercayaan diri mereka, hingga kemudian Iron Man (2008) diproduksi sebagai awal dari masa kejayaan Marvel Studios.
Dalam rentang waktu itu, tentu banyak jalan terjal yang dilalui hingga adanya restrukturisasi besar-besaran seperti pengorganisasian Marvel Enterprise menjadi empat bagian (Marvel Studios, Marvel Characters Group, Toy Biz, dan licensing and Publishing) hingga penggantian nama Marvel Enterprise menjadi Marvel Entertainment.
Kembali ke Iron Man (2008), film yang mengawali fase pertama (fase 1) dari Marvel Cinematic Universe ini sukses besar secara rating dan finansial. Dengan biaya produksi sejumlah Rp1,9 triliun, Marvel mendapatkan keuntungan hingga Rp8,3 triliun.
Setahun berikutnya, Disney pun mengakuisisi Marvel dengan harga USD4,24 miliar. Namun, lisensi itu tentu enggak mencakup karakter-karakter Marvel yang masih dipegang oleh waralaba lain seperti Fox (X-Men) dan Spider-Man. Fox sendiri diakuisisi oleh Disney pada tahun 2019 dan Sony serta Marvel bekerja sama pada Spider-Man: No Way Home.
Baca sebelumnya: Candu Marvel Cinematic Universe, Mau Sampai Kapan?
Seperti yang kita ketahui, film-film Marvel usai Iron Man (2008) apalagi pascaakuisisi Disney, mendulang sukses besar. Kejayaan Marvel Cinematic Universe ada saat menjelang akhir fase 1 (Avengers), fase 2 (Iron Man 3, Guardian of the Galaxy, Avengers: Age of Ultron, Ant-Man), dan fase 3 (Doctor Strange, Spider Man: Homecoming, & Far from Home, Avengers: Endgame), Bahkan, Avengers: Endgame (2018) menembus rekor film box office sepanjang sejarah.
Setelah menjajal berbagai formula, apa yang membuat Marvel mendulang kesuksesan?
Tak bisa dimungkiri bahwa ada beberapa faktor yang membuat proyek-proyek Marvel mendulang keuntungan yang sangat besar. Pertama, Marvel memang berusaha keras pascakebangkrutannya, termasuk mengevaluasi apa yang mereka tawarkan ke pasar dan hero seperti apa yang ditampilkan. Kedua, Marvel memahami strategi konten marketing.
Kamu pasti tahu bahwa karya-karya Marvel dapat dinikmati lewat berbagai media, mulai dari film, serial TV, hingga komik. Uniknya, karakterisasi dan penceritaan yang dibuat Marvel pada setiap kanal berbeda-beda. Marvel enggak akan menggunakan formula komik di film atau formula TV di film, begitu pula sebaliknya. Setiap konten memiliki karakternya sendiri-sendiri, tergantung kanal dari konten tersebut. Ini adalah strategi yang bagus karena pada akhirnya, Marvel bisa menjaring banyak penggemar dan “memberi makan” rasa suka penggemarnya.
Dilansir Dignation, Marvel juga mampu bertahan karena simbol-simbol yang ia gunakan. Marvel membedakan karakter penjahat dan hero berdasarkan tampilan fisik dan juga berdasarkan latar belakang mereka. Coba lihat para pahlawan Marvel. Mereka enggak lahir dari kesempurnaan dan mereka juga memiliki stereotip masing-masing yang kuat.
Iron Man, misalnya, kendati konglomerat, tetapi menyimpan dendam karena kecelakaan orang tuanya. Ini persis seperti anggapan banyak orang bahwa orang terkaya sekali pun pasti punya “trauma” dan “masalah keluarga pelik”.
Captain America, seolah merepresentasikan american dream lewat proses kimia khusus. From zero to hero, dan semuanya dapat terjadi berkat keajaiban Amerika Serikat dan keinginan untuk membela negara.
Star-Lord, dalam film, adalah contoh nice guy yang di dalamnya menyimpan trauma kehilangan dan enggak punya figur ayah, sehingga awalnya ia tumbuh menjadi sosok yang kurang bertanggung jawab da player.
Maka dari itu, mudah untuk mengingat para hero Marvel, bahkan saat kita enggak berusaha mengingatnya. Begitu mudah mengasosiasikan pahlawan-pahlawan ini dengan hal-hal unik di alam bawah sadar.
Para pahlawan ini enggak lahir dari kesempurnaan, memiliki kelebihan dan kekurangan layaknya manusia biasa. Ini membuat kita merasa bahwa everybody can be a hero. Pahlawan bisa datang dari mana saja dan pahlawan bisa saja enggak sempurna.
Berbeda dengan hero yang dibentuk oleh trauma sehingga menimbulkan empati, para villains kebanyakan lahir dari obsesi. Misalnya, seperti Thanos yang terobsesi untuk mengatur dunia, atau Ronan the Accuser yang haus kekuasaan. Villain Marvel pun hadir dengan bentuk-bentuk yang asing bagi manusia dan monstrous. Para penjahat ini memang memiliki reason untuk menjadi jahat, tetapi karena kejahatan mereka kebangetan, sulit bagi kita untuk membelanya. Para penjahat ini enggak berada di area abu-abu.
Marvel juga enggak segan menyelipkan unsur humor. Bayangkan, para pahlawan yang terlihat kuat, gagah, dan menangani hal-hal serius yang mengancam dunia, bisa bercanda dan berbuat bodoh. Ini adalah unsur-unsur menyenangkan yang bisa kamu temui dalam diri Ant-Man, Spider Man, dan Thor.
Hal yang menciptakan kultur fans yang cukup fanatik dan besar dalam Marvel adalah sifatnya yang omnipresent. Masih ingat dengan strategi Perelman yang membuat merchandise? Strategi itu juga memengaruhi kesuksesan Marvel, tetapi bukan di waktu yang salah seperti pada dekade 1990an itu.
Christine Roeder, dalam tesisnya yang berjudul “Mapping the Relationship Between the Marvel Cinematic Universe and Its Fans” menuliskan bahwa salah satu hal yang membedakan MCU dari waralaba lain adalah bahwa ia menyebar luas dan jauh.
Sama seperti fandom Star Wars- dan Harry Potter, ia hadir di hampir setiap usaha kapitalis; ada mug, seprai, pakaian, keripik kentang dan lebih banyak lagi. MCU hadir tidak hanya sebagai film, tetapi juga sebagai acara TV, buku dan mainan.
Semuanya ada di semesta yang sama, dan kamu bisa memilih, mana sisi semesta yang mau kamu lihat. Kamu bisa menonton acara TV-nya tanpa harus melihat filmnya, dan sebaliknya. Ini seperti pengalaman masuk ke dalam taman bermain dan memilih sendiri wahana yang kamu suka tanpa harus mencoba keseluruhan wahana untuk menjadi bahagia.
Adanya Internet juga memperkuat adanya fandom Marvel Cinematic Universe. Para penggemar dapat berkumpul dalam satu forum, membahas hal-hal seru soal MCU. Fandom sendiri dapat menumbuhkan rasa kebersamaan sesama penggemar, hingga memengaruhi pembentukan identitas dan keterlibatan di dalamnya (Agnensia, Disertasi Fan War Fans K-Pop dan Keterlibatan Penggemar dalam Media Sosial Instagram, 2019).
Berakhirnya Fase 3, Sebuah Antiklimaks?
Marvel memang sebuah fenomena dalam dunia aksi dan film. Pasca Iron Man, rating film-film dan serial Marvel pun hampir selalu tinggi di IMDb dan Rotten Tomatoes. Ini tentu berbeda dengan DC Universe yang kurang stabil dari sisi film. Kita sama-sama tahu kalau beberapa film andalan DC justru mengecewakan dan berating rendah.
Namun, enggak semua orang setuju lho dengan rating-rating itu! Pendapat yang jauh berbeda diungkapkan oleh Martin Scorsese. Ya, kalau kamu geek film, pasti tahu apa pendapat sutradara Taxi Driver ini. Ia mengkritik Marvel sebagai “taman bermain” alias film yang enggak serius.
Pendapat Scorsese ada benarnya, ada pula salahnya. Marvel tentu enggak dibuat untuk menjadi film yang bermakna dalam layaknya film-film Scorsese atau film festival lain. Ya, itu adalah film aksi, apa yang kamu harapkan selain aksi intens dan CGI canggih? Namun, memang harus diakui kalau kisah-kisah Marvel itu terlalu ringan, enggak membutuhkan “otak yang harus berputar keras”.
Pendapat serupa juga diucapkan oleh Denis Villeneuve, sutradara Dune (2021). Menurutnya, film-film Marvel enggak lebih dari film cut and paste dari ide-ide film lain yang mengandalkan banyak proses penyuntingan alih-alih berlandaskan karakter kuat pemainnya. Enggak cuma itu saja, ia mengatakan bahwa, “Film-film Marvel membuat banyak orang menjadi zombie.”, dan juga membandingkannya dengan karya-karya Christopher Nolan.
Tentu kamu tahu bahwa Christopher Nolan ada di balik film superhero “tetangga sebelah” yakni DC Universe. Sehingga, kita menjadi berpikir, apakah setelah Avengers: Endgame, Marvel mulai “sedikit” cut and paste pesaingnya?
Kalau dibilang cut and paste, rasanya memang berlebihan. Film-film yang dirilis Marvel usai Avengers: Endgame memang seolah memang ingin menjadi lebih “dark”. Beberapa contohnya seperti Spider Man: Now Way Home yang mengubah tokoh Peter Parker enggak lagi menjadi your friendly neighbor seperti dua seri sebelumnya, tetapi memaksanya untuk “menyendiri” dan serius. Ada pula Dr. Strange: Multiverse of Madness, yang mencoba untuk menjadi “gila” (meskipun gagal) dan meletakkan salah satu pahlawan dalam Avengers menjadi villain.
Memang pada akhirnya perubahan-perubahan itu enggak membuat Marvel menjadi sama dengan “tetangga sebelah”. Para pahlawan Marvel memiliki keunikannya tersendiri. Namun, setelah perang hebat yang menewaskan Iron Man pada Infinity War, lebih tepatnya usia fase ketiga dan memasuki fase keempat, Marvel bak kehilangan arah.