Setelah merilis Aladdin (2019), Disney kembali merilis live action dari film animasi klasiknya, The Lion King. Film yang telah digembar-gemborkan, ternyata enggak membawa kepuasan penggemar dan kritikus.
Film The Lion King (2019) cuma bisa dapat skor 55%, padahal film animasinya dapat skor 93%. Meski begitu, Audience Score-nya masih mencapai 89% yang berarti para penonton masih menyukai remake ini.
KINCIR pun sebenarnya menikmati The Lion King. Meski begitu, tetap aja terasa ada kejanggalan yang bikin remake ini enggak cukup memuaskan. KINCIR uraikan alasannya di sini.
1. Layar Flat
Sebetulnya, ini faktor eksternal di luar film, sih. Kalau kalian sadar, sampai film dimulai pun, tirai samping di layar bioskop enggak terbuka. Jadi, kesannya, layar bioskopnya lebih kecil.
Kenapa hal ini bikin geregetan? Soalnya, dengan teknologi animasi 3D full CGI yang mewah, layar kecil malah bikin kemegahan yang seharusnya ditampilkan jadi kurang maksimal.
Soal layar yang kecil ini, dalam teknis pembuatan film, ada aspek rasio yang menentukan ukuran gambar. Dalam hal ini, The Lion King dibuat dalam ukuran flat sehingga enggak memungkinkan dalam layar yang lebih lebar.
Hasilnya, tirai layar kanan dan kiri tetap tertutup selama film diputar. Kalau pun tirainya dibuka, bakal ada sisi hitam besar di sebelah kanan dan kiri layar yang mungkin aja mengganggu buat kalian.
2. Karakter Kurang Ekspresif
Jujur aja, menurut KINCIR yang bikin The Lion King (1994) sempurna dalam banyak hal salah satunya adalah karakter yang ekspresif. Hal itu bikin kematian Mufasa berarti, bikin pelarian Simba mencemaskan, dan perjalanan Simba kembali ke Pride Lands bikin merinding. Sekarang, dengan menampilkan animasi yang lebih realistis, The Lion King (2019) justru menghilangkan ekspresi karakternya.
Kalian pasti enggak lupa betapa liciknya wajah Scar, Simba yang polos, dan Nala yang tomboi. Naskah yang “main aman” juga membuat para aktor pengisi suara enggak bisa berekspresi total, sebagaimana yang diungkapkan oleh Peter Travers dari Rolling Stone.
Untungnya, kita masih terselamatkan oleh kekonyolan Timon dan Pumbaa yang, meski canggung pada awalnya, berhasil mencairkan suasana dan membawa The Lion King setidaknya kembali ke fitrahnya untuk sementara.
3. Persis Aslinya Tanpa Plot Twist yang Berarti
Mengulang film yang sejak awal sudah diakui sebagai sebuah mahakarya, sebenarnya bukan ide yang bagus. Namun, hal itu bisa dikesampingkan kalau remake-nya mungkin punya sesuatu baru yang bisa ditawarkan.
Aladdin, misalnya, keberadaan Jasmine yang pemberontak dan pada akhirnya menjadi sultanah adalah cara Disney memberikan penyesuaian film animasi lamanya dengan isu modern.
Sebaliknya, The Lion King jadi membosankan karena Jon Favreau “main aman”. Peter Howell juga menyebutkan pendapat yang senada. Membuat ulang kemegahan Afrika yang 100% berhasil ditampilkan dalam film animasinya bukanlah ide yang bagus.
Jadi, enggak ada salahnya kalau memang dibuat plot twist yang mengundang gereget. Sayangnya, karena gereget itu enggak ada, jadi enggak terasa juga kepuasan. Yang ada malah perasaan janggal setelah nonton filmnya, kayak ada yang tertinggal.
4. Terlalu Realistis
Kemajuan teknologi memang bikin film animasi 3D jadi terlihat semakin realistis. The Lion King pun menggunakan teknologi tersebut buat menampilkan film drama dengan teknik fotorealistik digital.
Hasilnya, kalian enggak bakal melihat gambar yang terkesan patah-patah, melainkan mengalir sempurna kayak lagi nonton film dokumenter alam. Satu sisi, remake ini jadi istimewa. Sisi lain, justru menjadi terlalu realistis adalah suatu masalah.
Matthew Lickona, kritikus film dari San Diego Reader, menyebut The Lion King sebagai “unlively action”, sindiran karena langkah Disney adalah semata-mata cari uang. Soalnya, dengan menjadikan terlalu realitas, malah banyak hal janggal yang bikin enggak nyaman,
Contoh, matahari yang terbenam terlalu cepat. Sebenarnya, itu adalah poin yang masuk akal dalam film animasi yang kartunis. Sebaliknya, hal itu jadi janggal ketika menggunakan teknologi fotorealistik digital yang membuat animasinya jadi seperti hidup.
5. Sulit Bernostalgia
Berbeda sama Toy Story 4 (2019) yang bikin penontonnya bernostalgia, The Lion King (2019) malah jadi film yang menjauhkan penggemar film animasinya dari perasaan melankolis akan film animasinya.
Tetap saja, versi animasinya lebih magis. Matthew Lickona dari San Diego Reader menyebutkan dalam kritiknya bahwa bahkan “Hakuna Matata” dalam The Lion King (2019) terasa seperti ekspresi keputusasaan seorang nihilis daripada mantra hidup tanpa beban yang memang tergambarkan di film animasinya.
Memang, awalnya kalian bakal merasa familier, tapi makin lama kalian bakal merasa kesulitan menyusun ingatan ke versi animasinya, karena efek fotorealistik digital yang bikin karakter kesayangan kalian jadi terlalu “mirip binatang”.
Nora McGreevy dari Boston Globe menyatakan bahwa karya fotorealistik telah mengkhianati frasa “Hakuna Matata”. Artinya, seharusnya enggak ada alasan bagi Disney untuk khawatir, meski sayangnya mereka tetap khawatir membawa The Lion King dengan tujuan melenceng: dari membangkitkan nostalgia, menjadi salah satu mesin pencetak uang.
***
Kalau menurut kalian, The Lion King (2019) memuaskan atau justru meninggalkan banyak rasaa geregetan? Apakah kalian yang menikmati film animasinya juga merasa versi remake ini cenderung dipaksakan? Bagikan pendapat kalian di kolom komentar, ya.