*(SPOILER ALERT) Artikel ini sedikit mengandung bocoran film Selesai yang mungkin mengganggu buat kalian yang belum nonton.
Kombinasi antara Anya Geraldine dan Ariel Tatum adalah sebuah paket sempurna. Hal tersebut diwujudkan oleh Tompi dalam film bertajuk Selesai. Layaknya film pada umumnya, pendapat penonton terbelah menjadi dua. Ada penonton yang merasa bahwa film tersebut jauh melampaui ekspektasi mereka. Namun, enggak jarang pihak yang memberikan kritik, terutama pada sisi cerita dan penokohan.
Kritik itu semakin santer terdengar setelah kontroversi dalam wawancara bersama Tompi. Menanggapi kritik-kritik yang mampir, Tompi menganggap bahwa ia bikin film “enggak perlu mendapat pengakuan dari orang lain, karena belum tentu mereka punya ilmunya.”
Selain itu, nama Tompi kembali menjadi perbincangan akibat pernyataannya bahwa ia enggak harus pakai sudut pandang perempuan untuk membuat film ini, padahal, film Selesai jelas membutuhkan sudut pandang perempuan. Masih ada banyak pernyataan Tompi di fitur Spaces Twitter yang cukup kontroversial, membuatnya dicap cringe, sombong, dan antikritik.
Terlepas dari reaksi Tompi, apakah benar film Selesai sejelek yang dikatakan oleh sebagian netizen dan pengamat film? Kami akan mengulas lebih dalam. Tentu pendapat kami ini bisa sama, bisa pula berbeda dari kebanyakan orang, karena terlepas dari adanya ilmu kajian dan kritik film, selera enggak pernah benar-benar netral.
Apakah Film Selesai Sejelek Itu?
Akhir Cerita yang Kurang Memuaskan
Sebelumnya, mari kita bahas tentang premis film Selesai. Ayu (Ariel Tatum), yang kelihatannya adalah seorang ibu rumah tangga, merasa gusar karena Broto (Gading Marten), sang suami, lagi-lagi ketahuan berselingkuh sama seorang cewek bernama Anya (Anya Geraldine).
Saat Ayu akan pergi dari rumah, Broto menahannya dan ibu yang ia sayangi tiba-tiba datang. Kemudian, ada pula imbauan untuk enggak keluar rumah karena sebuah virus flu (seperti COVID-19). Hal-hal itu seolah seperti “tanda alam” (meminjam istilah dari Broto), kalau Ayu memang harus tinggal di rumah, bermain peran di depan ibu mertuanya yang mendamba cucu.
Kisah pun kemudian bergulir pada interaksi antara Ayu, Broto, Ibu, Yani (asisten rumah tangga), dan kekasih Yani. Broto yang terus-menerus dihubungi Anya seolah enggak ingin salah sendiri dan menuduh Ayu selingkuh. Namun, Ayu memang ‘selingkuh’, dan kesimpulan ini bakalan kami bahas lebih lanjut.
Akhir dari film ini adalah hal yang menurut KINCIR bikin film menjadi mengecewakan. Soalnya, ada dua kejutan di ending yang alih-alih mengejutkan, malah jadi aneh dan menyebalkan. Kejutan di akhir cerita sebaiknya memang enggak bertumpukkan seperti ini.
Kejutan pertama adalah bahwa pengakuan Ayu kalau dia selingkuh dengan Dimas, adik Broto, adalah sebuah halusinasi. Selama ini, Ayu merasa bahwa ia selingkuh dengan Dimas, padahal, itu hanyalah imajinasinya aja sebagai balasan atas perlakuan Broto.
Kedua, adalah adegan saat Ayu kemudian dirawat di rumah sakit jiwa, bersamaan dengan hadirnya beberapa adegan lain: kilas balik pertemuan Ayu dengan Broto, kencan dengan Broto, hubungan seks dengan Broto, ungkapan bahwa ia akan selalu mencintai Broto, dan juga aksi Ayu memuntahkan semua obat –seolah sebagai justifikasi atas pilihan bahwa ia lebih baik gila, selama di dalam kegilaan itu ada sosok Broto.
Hal-hal ini memang bikin enggak nyaman. Pertama, bukannya Ayu berhalusinasi sama Dimas? Lalu, kenapa ketika ia memuntahkan obat dan ia menyatakan bahwa cintanya adalah Broto? Seharusnya, ada salah satu adegan yang lebih baik dihilangkan supaya enggak tumpang tindih. Obsesi cinta Ayu sama Broto ini jadi mengabur karena saat film hampir menyentuh akhir, Ayu malah berhalusinasi soal Dimas.
Kami sempat berpikir bahwa film ini punya plot twist kayak Pintu Terlarang (2009) bahwa ternyata, semua yang kita tonton dari awal hanyalah halusinasi Ayu semata. Ayu enggak pernah menikah sama Broto, ia hanyalah selingkuhan yang bertemu di kantor, dan istri asli Broto sebetulnya adalah Anya. Teori ini cukup liar dan bisa aja salah besar, tetapi kalau benar, sebetulnya film ini bisa menjadi lebih baik.
Akting yang Bagus, tetapi Kurang Spesial
Setelah menyaksikan akting Gading Marten sebagai Richard dalam Love for Sale (2018), aktingnya dalam film Selesai terlihat biasa aja. Sebagai Broto, Gading cukup menyebalkan, kelihatan plin-plannya, dan egois. Namun, entah kenapa akting Gading di sini enggak spesial dan terlupakan.
Akting Ariel Tatum sebagai Ayu cukup bagus, tetapi akting ini agak melemah pada adegan meja makan saat ia bersama Dimas, Broto, dan Ibu. Pada saat menyatakan bahwa ia selingkuh sama Dimas, dialog Ariel Tatum kelihatan kurang natural. Rasa benci dan obsesinya enggak nyampe, dan kurang bisa terselamatkan walaupun aktingnya di adegan RSJ cukup bagus.
Anya berakting layaknya Anya Geraldine. Sosok Anya yang kita lihat di dalam film ini seolah enggak berbeda jauh sama sosok Anya di media sosial yang terlihat manja, menggoda, dan enggak baperan.
Nah, akting yang keren datang dari sosok Farish Nahdi (Dimas), Marini (Ibu), Tika Panggabean (Yani), dan Imam Darto (Bambang). Sebagai Dimas, Farish sangat emosional saat harus memperjuangkan argumentasinya bahwa ia enggak selingkuh sama Ayu, dan emosi serta kecemasannya nyampe banget.
Sosok ibu, juga kelihatan banget mengayomi menantu, tetapi tetap saja enggak bisa melepaskan diri dari sosok “orang lawas” yang begitu memperjuangkan pernikahan, menginginkan cucu, dan pada akhirnya sedikit membela sang anak dengan memaksa Ayu secara halus untuk memperlihatkan ponselnya.
Kemudian, sosok Yani dan Bambang pun sangat merepresentasikan banyak orang yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Obrolan Yani dan Bambang soal karier, cinta, dan uang, bener-bener sesuai dengan kebanyakan realita yang kita temukan di kota besar di Indonesia.
Sinematografi yang Menarik
Melihat aspek sinematografi film ini seolah mengingatkan kita sama hal-hal yang menyenangkan untuk diteguk dan dikunyah: misalnya kayak secangkir kopi susu kekinian dan roti bermentega. Awalnya, film ini menggunakan tone kekuningan. Lama-kelamaan, film ini memakai tone yang lebih cerah dan lebih jelas.
Pergantian tone yang halus ini seolah mau merepresentasikan bagaimana pola hubungan mereka: yang awalnya mengabur, yang awalnya kelihatan rumit, lama kelamaan terlihat jelas. Awalnya, kita dibuat bingung sama perasaan Broto. Apakah Broto masih mencintai Ayu? Apakah Anya cuma mainan? Lama-kelamaan, kita tahu bahwa Broto lebih memilih Anya, dan Anya dihamili oleh Broto.
Ide yang Unik dan Layak Dijadikan Kontemplasi
Eksekusi film pada bagian akhir memang mengganggu, tetapi harus diakui bahwa idenya cukup unik. Ayu, yang awalnya adalah perempuan independen, pemilik startup di mana Broto berinvestasi, seharusnya bisa cukup waras untuk menentukan kapan ia harus pergi.
Alih-alih pergi betulan, aksi Ayu untuk membawa koper hanyalah aksi teatrikal semata. Ayu enggak bener-bener mau pergi. Mungkin Ayu cuma mau mengancam Broto, mungkin juga mau pergi betulan, tetapi tertahan rasa sayangnya kepada ibu. Pada akhirnya, Ibu toh hanya ibu biasa, yang lebih berpihak sama anak cowoknya, walaupun enggak ditampilkan dengan gamblang.
Ayu, seorang perempuan menarik, independen, dan juga lebih bisa mengambil keputusan (dibandingkan Broto), seharusnya bisa pergi saat pertama kali Broto berselingkuh. Nyatanya, Ayu malah bertahan dan memutuskan buat berhalusinasi selingkuh dengan Dimas.
Atau, kalau pun teori konspirasi bahwa semua ini hanyalah khayalan Ayu, tokoh Ayu tetap tragis karena menjadi gila hanya karena seorang Broto, cowok kaya yang biasa aja, enggak pandai mengambil keputusan, enggak tegas, agak anak mama, dan hobi selingkuh.
Nyatanya, ada banyak sekali cewek yang kelihatan pintar, tetapi rela menderita demi cinta mereka sama cowok yang enggak seberapa. Seolah ini mengkhianati logika, tetapi obsesi kita terhadap seseorang bisa melepaskan kita dari pikiran yang waras.
Pemasaran yang Bagus
Sebuah karya enggak bisa dilepaskan dari proses pemasaran. Karya yang bagus banget bakal percuma kalau enggak diikuti pemasaran yang menarik. Nah, dari awal, packaging film Selesai dan konsep pemasarannya ini sangat keren, lho. Keputusan untuk mengusung Ariel Tatum dan Anya Geraldine adalah keputusan brilian karena pastinya bakal menjadi buah bibir.
Selain itu, tone dari poster juga keren banget, memancarkan nuansa yang sensual. Dengan melihat posternya aja, kita udah tahu bahwa salah satu tema yang diusung adalah perselingkuhan penuh nafsu dan bahwa film ini bakal bertabur sensualitas. So, enggak mengherankan kalau film Selesai banyak dicari orang bahkan dari hari pertama dirilis.
Jadi, apakah film Selesai adalah film jelek? Sebetulnya, film ini dianggap jelek karena ada beberapa kekurangan yang membuatnya jadi enggak marvelous alias menakjubkan. Ditambah lagi, Tompi selaku sutradara mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial hanya dalam waktu hitungan hari setelah film rilis.
Film yang seharusnya enggak masuk ke dalam kategori jelek, tetapi juga enggak terlalu outstanding ini akhirnya dianggap jelek karena banyak orang udah sebel sama sang sutradara. Yah, pada akhirnya, selera memang enggak netral. Selalu ada hal-hal bersifat eksternal yang memengaruhi penilaian kita terhadap film.
Nah, sekarang, bagaimana pendapatmu tentang film Selesai? Bagikan di kolom komentar, ya.