Film-film Adaptasi Novel yang Bikin Kecewa Berat

Kalau lo suka baca novel, apa pun genrenya, pasti punya sedikit harapan supaya novel kesukaan lo bisa diadaptasi ke media lain kayak film atau game. Imajinasi novelis yang dituangin ke karyanya bisa bikin pembaca terkesima dan ngebayangin visualisasinya. Makanya, dalam industri film enggak sedikit yang bikin adaptasi film layar lebar dari novel.

Via Istimewa

Sayangnya, enggak semua kreasi adaptasi ini berhasil. Memang, sih, novel-novel yang diangkat, bisa dibilang, adalah karya-karya terbaik yang punya penggemarnya sendiri. Namun, enggak semua adaptasi ini bernasib sama. Justru sebaliknya, film-film ini mengecewakan penggemar karena enggak sekeren novel aslinya.

Apa aja, sih, film-film adaptasi novel yang gagal? Coba, deh, lihat rangkuman Viki dan kasih pendapat lo setuju atau enggak.

 

1. Eragon (2006)

Via Istimewa

Setelah The Lord of the Rings jadi film yang sukses besar, Hollywood mulai tergiur buat mengadaptasi cerita-cerita novel ke layar lebar. Di puncak kejayaan trilogi tersebut, pada 2002, novel Eragon, seri pertama Inheritance Cycle, terbit dan berhasil jadi perbincangan banyak orang. Ngelihat adanya potensi bisnis yang menguntungkan, Hollywood pun ngangkat novel karangan Christopher Paolini tersebut dengan racikan yang sama kayak proyek The Lord of the Rings.

Nyatanya, enggak selamanya formula yang sama menghasilkan sesuatu yang sama bagusnya. Buku yang tebalnya lebih dari 500 halaman itu jadi film dengan durasi selama 1,5 jam. Yap, ini udah mengindikasikan bahwa banyak unsur dalam buku enggak dimunculin di dalam film. Pembaca yang udah berekspektasi pun kecewa. Selain itu, film Eragon memiliki banyak perubahan pada plot dan karakter. Akhirnya, film adaptasi ini hampir enggak bisa dikenali oleh publik.

Plot film ini berkembang jadi kisah perjalanan hero yang klise tanpa ada penambahan bumbu-bumbu baru. Film yang disutradarai oleh Stefen Fangmeier ini jadi semacam “bisnis kecil-kecilan” di Box Office. Meskipun novel Eragon memiliki rangkaian sekuel, penggemar boleh senang karena enggak ada sekuel filmnya yang dibuat.

 

2. Charlie and the Chocolate Factory (2005)

Via Istimewa

Sebelum Tim Burton jadi sutradara film Charlie and the Chocolate Factory (2005), Mel Stuart lebih dulu ngarahin film Willy Wonka & the Chocolate Factory pada 1971. Dua film ini sama-sama merupakan adaptasi dari novel karya Roald Dahl. Bedanya, Willy Wonka & the Chocolate Factory tergolong film yang tanpa saingan di eranya. Sedangkan, satu-satunya kesuksesan Charlie and the Chocolate Factory adalah mempertahankan judul novel sebagai nama filmnya.

Jangan salah. Kalau filmnya Burton ini enggak pakai judul yang sama dengan novelnya, makin banyak kesalahan yang nongol. Beberapa kesalahan Burton adalah gangguan pendengaran pada karakter yang diperanin oleh Johnny Depp, Willy Wonka yang impersonal. Selain itu, penggunaan CGI di film ini terbilang berlebihan sehingga visualnya terlihat norak. Belum lagi penggunaan wajah aktor Deep Roy secara digital buat menggambarkan para Oompa Loompa dan diubahnya semua lagu ciri khas mereka. Perubahan hal-hal yang ikonis ini bikin penggemar novelnya kecewa luar biasa.

 

3. The League of Extraordinary Gentlemen (2003)

Via Istimewa

Zaman sekarang, film superhero udah banyak dan selalu ditunggu-tunggu banyak orang. Hal ini berbeda di awal 2000-an. Saat itu, film superhero masih belum begitu populer. Contohnya aja, The League of Extraordinary Gentlemen arahan Stephen Norrington yang gagal memikat hati penonton.

Film ini diadaptasi dari komik karya Alan Moore dan Kevin O’Neill. Komik ini sendiri mengadaptasi tokoh fiksi dari novel-novel klasik pada karakternya. Sebut aja Mina Murray dari Bram Stoker’s Dracula, Allan Quatermain dari King Solomon’s Mines, dan The Invisible Man karya H.G. Wells. Deretan karakter ini punya ciri khas yang dark dan gritty. Namun, versi filmnya malah disajiin sebagai film superhero.

Via Istimewa

Karakter dan plot dalam film sangat berbeda dengan di komik. Dengan kata lain, bikin penggemarnya kecewa. Bisa dibilang, The League of Extraordinary Gentlemen adalah Avengers versi 2000-an yang gagal total. Film ini bakal jauh lebih baik apabila diproduksi 10 tahun kemudian dengan naskah baru yang lebih bagus. CGI yang disajikan pun terlalu banyak, seolah-olah ingin mencari sensasi dari adegan-adegan aksi. Aktor kawakan Sean Connery sangat kesal dengan pembuatan film ini. Setelah itu, dia pensiun dari dunia film.

 

4. I Am Legend (2007)

Via Istimewa

Apakah lo penggemar Will Smith? Pasti pernah, dong, nonton film yang satu ini. I Am Legend adalah contoh lain dari sebuah buku dan film dengan judul sama. Sebenarnya, ada begitu banyak unsur di film yang bisa dijadiin judul lain. Soalnya, mungkin aja judul lain bisa mencegah respons negatif karena enggak berkaitan sama novel fiksi ilmiah yang klasik.

Novel ini menggunakan latar di Los Angeles era 1970-an, sedangkan versi film menggunakan latar New York pada 2012. Dalam novel, keluarga Neville (Smith) meninggal karena virus sebelum peristiwa kiamat terjadi. Sedangkan, versi film menceritakan keluarganya tewas dalam kecelakaan helikopter.

Perbedaan lain, monster di dalam novel para vampir, sedangkan dalam film yang disutradarai oleh Francis Lawrence ini, karakter Smith harus berhadapan dengan zombie yang enggak bisa nongol di siang hari. Selain Neville, semua karakter lain memiliki nama dan latar belakang yang berbeda.

 

5. The Cat in the Hat (2003)

Via Istimewa

Sebelumnya, karya Dr. Seuss yang lain pernah diadaptasi ke versi film. Judulnya adalah How the Grinch Stole Christmas (2000) yang dibintangi oleh komedian Jim Carry. Sayangnya, film ini dibenci oleh penonton. Hal serupa dialami oleh The Cat in the Hat dengan respons yang lebih kejam. Saking buruknya film ini, karier Mike Myers yang berperan sebagai The Cat menurun. Film ini juga merupakan awal dan akhir karier Bo Welch sebagai sutradara.

Novel ini sendiri punya pesan buat anak-anak supaya enggak ngebohongin ortu. Ketika diangkat jadi film, hasilnya malah enggak lucu dan menyebalkan. Lelucon-lelucon tambahan pun disematkan, dengan niat buat mewarnai film. Namun, ini malah bikin film ini makin terpuruk. Dengan kata lain, film ini menjual ceramah dan nasihat ala Dr. Seuss yang dikemas dengan lelucon kasar ala Scary Movie.

***

Sebenarnya, film-film adaptasi dari novel bisa nyajiin sesuatu yang segar, berbeda, dan tentunya mengejutkan. Namun, tetap aja ada beberapa faktor yang bisa bikin film adaptasi jadi diterima atau enggak. Di antaranya adalah faktor teknologi, naskah, dan yang pasti, reaksi para penggemar. Kalau gagal, bukan cuma kritik pedas yang didapat. Bahkan, karier sutradara dan pemerannya pun terancam.

Via Istimewa

Nah, dari lima film di atas, mana yang menurut lo jadi film adaptasi paling hancur? Atau, lo punya pilihan film adaptasi lain yang sama-sama menuai kekecewaan?

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.