Saat Netflix mengumumkan bakal menggarap film dokumenter tentang anime, sejujurnya enggak ada ekspektasi apa pun terkait film tersebut. Namun, melihat dokumenter Netflix lainnya, khususnya seri Re-Mastered yang mendetail banget menggambarkan suatu peristiwa, bolehlah berekspektasi tinggi tentang film dokumenter ini.
Nyatanya, berharap tinggi itu ujung-ujungnya menyakitkan. Menyimak Enter the Anime, bisa jadi kalian malah menganggap bahwa segala wahana, baik itu serial maupun film, khususnya tentang anime, sebaiknya memang dibuat oleh orang Jepang saja. Apakah Netflix memang enggak seniat itu bikin film dokumenter yang benar-benar “memasuki” dunia anime, kayak judul film dokumenternya, Enter the Anime?
Ada banyak alasan kenapa Enter the Anime menjadi dokumenter Netflix yang gagal membawa penonton menyelami dunia anime. Ini rangkumannya!
1. Lebih Mirip Liputan Jalan-jalan
Hal pertama yang langsung tebersit saat melihat beberapa menit pertama adalah film ini lebih mirip acara jalan-jalan akhir pekan dibandingkan dokumenter. Pendekatan ini memang enggak biasa, tapi juga enggak tepat untuk sebuah film dokumenter (meski tujuannya dibuat dengan gaya edgy). Ditambah lagi, cuma ada dua tempat yang dikunjungi sepanjang film ini, yaitu Los Angeles di Amerika Serikat dan Tokyo di Jepang.
Film dibuka dengan pengenalan Adi Shankar, sutradara Castlevania. Film ini pada dasarnya memang cuma memperkenalkan para kreator anime dan kurang lebih bagaimana proses kreatif mereka.
Sementara itu, Alex Burunova, sang sutradara Enter the Anime, enggak kalah pamor dibandingkan para kreator yang diwawancarainya. Soalnya, dia sudah dapat jatah sorotan yang cukup banyak.
Sayangnya, dia lebih banyak terlihat lagi asyik jalan-jalan ketimbang mengurusi tugas utamanya. Perihal film dokumenternya pun sekadar dijelaskan lewat narasi yang disulihsuarakan. Bahkan, narasi ini enggak bisa menjelaskan soal anime.
2. Perspektif yang Terlalu “Barat”
Sejauh apa pun produk budaya populer ini menyebar, tetap saja anime enggak bisa dilepaskan dari Jepang. Sayangnya, film dokumenter ini memilih untuk menampilkan tentang anime dari sudut pandang Barat, perspektif sutradaranya yang bahkan terlihat enggak punya keinginan menyelami anime.
Yap, kalian mungkin bisa maklum kalau unsur “Barat” dalam Enter the Anime mencakup pendapat “kasar” Burunova. Yang jelas, kalian enggak bakal mendapatkan jawaban tentang anime lewat film dokumenter ini.
3. Dokumenter Bertema Luas yang Personal
Anime bukanlah dunia yang sempit. Di dalamnya enggak cuma ada para penulis skenario, produser, dan sutradara kayak film. Ada juga peran pengisi suara, ilustrator, bahkan manga yang karyanya diadaptasi jadi anime.
Meski tema anime itu luas, ternyata dokumenter ini cuma bakal mengantarkan kalian kepada sudut pandang yang personal. Tanpa susah payah buat cari sudut pandang asyik menjelaskan dunia anime, film ini hanya menyajikan pendapat personal sang sutradara sebagai pengantar untuk kalian mengenal anime.
4. Terkesan Menghakimi
Entah ada berapa kali kata “gila”, “berlebihan”, dan penilaian lainnya yang terkesan nyinyir terlontar dari narasi Burunova. Jadi, alih-alih menikmati film dokumenter ini, kalian malah mungkin merasa ingin nyinyirin balik sutradaranya yang “songong”.
Terasa banget enggak ada respek dari sutradaranya atas topik yang dia pilih. Entah Burunova terlalu jujur atau memang orangnya saja yang "asal". Dokumenter ini enggak cuma terkesan terlalu personal, tetapi juga menghakimi.
5. Bagian Lain dari Promosi Netflix
Sebenarnya, semua kekesalan kalian atas Enter the Anime terjawab di poin ini. Yap, Netflix memang lagi gencar-gencarnya merilis anime Western, yaitu serial animasi bergaya anime dengan pengaruh budaya Barat yang kental. Bahkan, Netflix juga bekerja sama dengan para kreator anime Jepang untuk koleksi anime orisinal mereka.
Mengingat pengetahuan Burunova yang terbatas soal anime, pilihan pertamanya justru jatuh kepada Castlevania, anime Western orisinal Netflix yang rilis pada Juli 2017. Mungkin awalnya kalian mengira ini cuma permulaan. Nyatanya, selanjutnya kalian bakal diajak ke Jepang untuk bertemu dengan LeSean Thomas, komikus sekaligus kreator anime Cannon Busters yang baru saja rilis di Netflix pada 15 Agustus 2019.
Selanjutnya, kalian bisa melihat sutradara Baki, Toshiki Hirano. Baki merupakan salah satu anime orisinal Netflix yang diadaptasi dari manga dan disutradarai oleh orang Jepang. Di sesi ini, barulah kalian bisa mendapatkan informasi berharga tentang bagaimana proses pembuatan anime, khususnya produksi Baki.
Bagian lain yang cukup mendetail (dan berguna) adalah pembahasan soal Kengan Ashura—anime baru Netflix yang juga mulai tayang Agustus ini—dan Aggretsuko. Bahkan, saat berkunjung ke Toei Animation dan bikin pembahasan soal perusahaan besar ini, tetap saja ada promosi terselubung soal Knights of the Zodiac yang merupakan Saint Seiya versi Netflix.
Anime selanjutnya yang jadi sorotan adalah Rilakkuma and Kaoru, Aggretsuko, 7 Seeds, Ultraman, dan Levius. Rilakkuma and Kaoru menggunakan metode stop motion, sedangkan Ultraman dan Levius menggunakan teknologi 3DCG dalam animasinya.
Selingan soal soundtrack orisinal anime yang jadi bagian dari popularitas anime pun dikait-kaitkan dengan Neon Genesis Evangelion. Yap, anime ini mulai Juni 2019 bisa dinikmati di Netflix meski tanpa “Fly Me to the Moon” sebagai lagu penutupnya.
Selagi pembahasan Ultraman, ada juga bocoran soal proyek anime Netflix selanjutnya, yaitu Ghost in the Shell: SAC_2045. Terakhir, enggak lupa Burunova juga mendatangi Rui Kuroki, produser B: The Beginning.
***
Sebenarnya, sih, film dokumenter ini lebih tepat kalau diberi judul Enter the Netflix Anime karena memang enggak ada pembahasan selain anime-animenya Netflix. Dengan kata lain, ini adalah dokumenter yang narsistik, subjektif, dan enggak inspiratif.
Jadi, sebetulnya siapa yang diajak untuk memasuki dunia anime dalam film dokumenter ini? Entahlah, toh ini cuma bagian dari promosi Netflix. Kalian setuju? Lontarkan pendapat kalian soal Enter the Anime di kolom komentar, ya!