Beberapa tahun belakangan ini, lagi banyak banget manga dan anime yang diadaptasi jadi versi live action. Soalnya, enggak sedikit yang masih nganggap anime atau manga adalah sesuatu yang childish. Nah, live action dibuat buat menjangkau kalangan yang lebih luas yang enggak nonton anime atau baca manga. Makanya, sebuah live action bisa aja sama sekali enggak nargetin fans.
Sebetulnya, kalau ngomongin live action dalam budaya populer, lo perlu ingat bahwa ini sebenarnya enggak lebih dari sebuah adaptasi. Yang namanya adaptasi itu berarti saduran alias gubahan. Proses menyadur itu sendiri adalah proses menggubah yang bebas, tanpa ngerusak garis besar cerita. Nah, kalau garis besar ceritanya udah berubah banget, apakah namanya masih adaptasi?
Di bawah ini adalah lima live action yang gagal kece. Bukan hasil manis yang didapat, melainkan kritik tajam. Soalnya, film-film ini enggak berhasil mempertahankan keaslian manga atau anime yang diadaptasi. Oh, ya, live action anime dan manga yang dibahas ini cuma film yang dibikin 10 tahun belakangan, ya. Soalnya, kalau bahas yang jadul banget, jelas segi teknologinya bakal kalah sama live action yang rilis baru-baru ini. Simak, ya!
5. Ghost in the Shell (2017)
Ternyata, menggandeng si cantik Scarlett Johansson enggak bikin live action garapan Rupert Sanders ini selamat dari kritikan bernada negatif. Terlepas dari isu whitewashing, Viki sebetulnya enggak keberatan Mayor Kusanagi diperankan sama Johansson. Memang, sih, ini penyakit Hollywood sejak lama; kayak enggak ada aja aktris berdarah Jepang yang jago bahasa Inggris buat meranin karakter ini. Namun, film ini buruk sama sekali bukan karena akting Johansson jelek.
Yap, sebagian besar kritikan memang diberikan kepada kisahnya yang disederhanakan. Buat yang udah baca manga atau nonton animenya, lo pasti paham kenapa Ghost in the Shell adalah mahakarya. Itu karena kerumitan ceritanya dan alurnya yang enggak gampang ditebak. Sayangnya, live action garapan Sanders terbuai sama teknologi dan ngelupain cerita paling mendasar, yaitu ‘hantu’ dalam cangkang.
Sang mangaka, Masamune Shirow, memang kece banget memadukan masalah sosial, kemajuan teknologi yang luar biasa, sampai pemikiran tentang identitas diri dalam sebuah manga cyberpunk yang fokus menyoroti kepolisian Section 9. Brilian! Sayangnya, hal ini enggak bakal lo temuin di live action yang villainnya adalah perusahaan teknologi yang membelot.
Aksinya jadi enggak bermakna karena ceritanya juga kosong. David Sims dari The Atlantic juga berpendapat bahwa film ini enggak lebih dari salinan-salinan tipis yang terdiri dari beberapa potongan anime yang gambarnya hampir diambil bagian per bagian, sedangkan sisanya malah bikin karya aslinya jadi contoh terbaik yang harus ditonton. Dengan kata lain, live action ini enggak cukup bagus.
Buat penonton awam, film ini mungkin masih bisa berterima kayak I, Robot-nya Will Smith. Namun, buat yang udah ngikutin manga atau animenya, film ini memang jadi ringan banget, terlepas dari kecenya CGI yang digunain sepanjang film dan tentunya usaha Sanders buat bikin sudut pengambilan gambarnya persis kayak animenya di beberapa bagian. Meski begitu, sesungguhnya DreamWorks dan Paramount enggak rugi-rugi banget, kok. Soalnya, live action ini berhasil ngeraih pendapatan internasional mencapai 169 juta dolar, ngelawan bujet 110 juta dolar.
4. Lupin III (2014)
Live action ini senasib kayak Ghost in the Shell. Enggak ada yang salah sama pemilihan pemerannya. Bahkan, bisa dibilang, Shun Oguri berhasil banget meranin Lupin III yang selengean, usil, dan merupakan pencuri ulung itu. Karakter Fujiko Mine juga berhasil ditampilin dengan baik sama Meisa Kuroki. Namun, punya aktor yang bisa meranin karakter dengan baik enggak bakal bikin film itu bagus secara keseluruhan. Hasilnya, Lupin III ini dikritik habis-habisan karena banyaknya plot hole, naskah yang kurang kuat, sinematografi yang berantakan, dan editing yang kacau.
Viki juga mengakui, sih, bahwa sinematografinya, khususnya saat adegan aksi, cukup kasar. Bukan karena kebanyakan efek CG, tapi karena gambarnya enggak diambil dengan baik. Udah gitu, karakter Michael Lee yang diperanin sama Jerry Yan mending enggak usah ada aja dari awal. Soalnya, karakter ini justru bikin jalan cerita jadi kacau.
Bahkan, kritikus asal Jepang, Yuichi Maeda, sebagaimana dikutip dari Kotaku, menyebut film ini sebagai film yang mau terlihat keren, tapi malah jadi murahan. Enggak lupa, dia ngasih nilai 3 dari 100 (padahal dia ngasih nilai 65 buat live action Rurouni Kenshin). Sadis, ya!
Diadaptasi dari manga berjudul sama karya Monkey Punch, Lupin III disutradarai sama Ryuhei Kitamura (Godzilla: Final Wars). Film ini juga enggak rugi bandar, kok. Soalnya, masih bisa mencetak pendapatan 22,3 juta dolar dengan bujet 10 juta dolar.
3. Kite (2014)
Viki bahkan hampir lupa bahwa live action Kite pernah dibikin. Soalnya, memang enggak kedengaran booming sama sekali! Padahal, Kite itu anime yang cukup kontroversial, loh. Kite adalah anime yang dirilis pada 1998 dalam dua episode, masing-masing 30 menit.
Animenya digarap sama Yasuomi Umetsu berdasarkan naskah yang ditulis sama dia sendiri. Yang bikin anime ini jadi kontroversi adalah isu eksploitasi anak dan adegan seks yang eksplisit banget. Namun, hal ini enggak ada di live action yang digarap oleh Ralph Ziman dan dibintangin Samuel L. Jackson sebagai Karl Aker dan India Eisley sebagai Sawa.
Lagi-lagi, penyakit yang selalu ada di live action Hollywood adalah mengganti cerita supaya sesuai sama penonton mereka, tapi lupa buat menyesuaikan penokohan karakternya. Saat penokohannya beda, film ini jadi enggak membekas dan jadi membosankan. Kite dapat rating 0% di Rotten Tomatoes berdasarkan 14 ulasan. Artinya, semua ulasan bernada negatif!
Ben Kenisberg dari New York Times bilang bahwa film ini buruk banget karena berlarut-larut buat mencapai durasi singkatnya yang cuma 1 jam 30 menit. Kenisberg bahkan bertanya-tanya, apakah slow motion yang ada di dalamnya itu dibikin buat alasan artistik atau cuma buat ngulur waktu.
Dia juga nyebutin bahwa enggak ada chemistry sama sekali antara karakter Sawa dan Karl Aker. Hal ini enggak cuma di-mention sama Kenisberg, tapi juga kritikus lain kayak Robert Abele dari Los Angeles Times yang bilang bahwa keberadaan Samuel L. Jackson sama sekali enggak jadi jaminan.
2. Dragonball: Evolution (2009)
Viki enggak paham, kenapa live action ini sampai dibikin kalau satu-satunya hal yang berusaha disamain dari manga dan animenya adalah nama dan kostum doang. Akting aktornya jadi kelihatan berlebihan buat film yang jalan ceritanya berantakan—bahkan Chow Yun-fat pun kena efek akting berlebihan ini.
Zac Bertschy dari Anime News Network aja ngerasa bahwa plot dalam film ini enggak jelas dan kacau. Yang paling mengerikan lagi, naskahnya adalah bencana besar! Bertschy ngakuin kalau lo bukan fans Dragon Ball dan cuma tahu Goku, lo enggak bakal ngerti apa pun karena film ini memang enggak ngejelasin apa pun. Motivasi karakternya pun enggak ada.
Dragonball: Evolution memang punya cerita yang enggak masuk akal, efek CGI yang enggak bisa dibilang bagus, adegan pertarungan yang “so-so”, dan para pemeran yang aktingnya jadi menyedihkan banget karena naskah yang buruk. Film ini dapat skor 14% berdasarkan 60 ulasan di Rotten Tomatoes. Film ini juga enggak mencetak Box Office karena fans pun mengkritik keras film ini. Hasilnya, dibuat dengan bujet 30 juta dolar, film ini cuma menghasilkan total pendapatan internasional 57,5 juta dolar.
1. Attack on Titan: Part 1 & 2 (2015)
Yap, jelas banget bahwa peringkat pertama live action ‘terburuk’ jatuh kepada dua film Attack on Titan. Lo masih mau tanya kenapa? Sebelum Viki jabarin, Viki mau bilang dulu bahwa efek CG yang digunain buat ngegambarin Titan di film ini udah kece banget. Kesan ngeri dari sosok Titan sampai banget ke penonton.
Udah. Cuma itu doang yang bikin film ini “sempat” ditonton. Soalnya, yang tersisa dari film ini cuma karakter yang enggak tergarap dengan baik, akting yang biasa banget (malah terkesan berlebihan buat ngegambarin karakter Eren), plot yang kasar, jalan cerita yang enggak masuk akal, dan kamera yang suram. Belum lagi karakter tambahan yang enggak penting. Malahan, film ini ngilangin karakter paling penting. Jangan lupa juga, dari durasi yang bahkan enggak sampai 100 menit, film ini terlalu banyak nyajiin adegan enggak penting. Yap, sebanyak itulah kekecewaan yang bisa ditemuin di dua film live action Attack on Titan.
Yang paling ngeganggu, sih, sebetulnya film ini enggak berhasil menyampaikan apa yang udah bikin manga dan animenya nerima kritik positif, yaitu karakter yang sesuai sama cerita. Manga dan animenya bisa diterima di seluruh dunia karena konflik yang diangkat mendalam banget, menyinggung masalah moral dan kelas sosial. Jangan lupa bahwa temboknya dibangun dengan nempatin raja dan para bangsawan di tengah supaya jauh dari ancaman Titan. Ini masalah sosial yang penting banget dan luput dijelasin di filmnya yang malah bikin Eren jadi kayak pecundang yang cuma bisa tebar pesona.
Mikasa yang jadi cewek lemah, Armin yang enggak kelihatan cerdas, dan Levy yang malah digantiin sama karakter tambahan bernama Shikishima—yang sebetulnya enggak penting—bikin cerita dalam film ini makin enggak kerasa geregetnya. Karakter orisinal kayak Jean Kirstein dan Sasha Braus bahkan jadi enggak menonjol sama sekali. Bahkan, lo mungkin enggak ngerasa mereka ada di film itu.
Ceritanya juga enggak masuk akal. Manusia udah punya mobil, tank, dan senjata. Lalu, buat apa ada 3-D maneuver gear? Apakah semua manusia dalam film ini segitu bodohnya sampai enggak bisa ngalahin Titan dengan berbagai senjata yang ada? Oh, ya, bahkan ada helikopter juga! Luar biasa! Perlu lo ingat, Titan bukan monster di serial Ultraman yang bisa ngeluarin api atau serangan lainnya. Mereka makhluk bodoh yang kelemahannya jelas, yaitu di bagian belakang leher mereka. So, what’s the point of the story, actually?
Yah, menariknya, film ini juga dikritik habis-habisan sama Maeda yang ngebangkitin kemarahan sang sutradara, Shinji Higuchi (Shin Godzilla). Fans pun enggak berhenti ngebandingin efek khusus film ini sama film Hollywood yang menurut Viki sama sekali enggak bijak. Soalnya, bukan itu masalah utamanya. Meskipun ada bujet ratusan juta dolar buat efek CGI yang kece banget, kalau ceritanya kayak begitu, film ini tetap aja nerima komentar pedas.
Honorable(?) Mention: Death Note (2017)
Yap, ngomongin live action yang gagal, lo enggak boleh ngelupain Death Note versi Netflix. Death Note memang udah punya dua live action versi Jepang yang ngikutin cerita aslinya dan menurut Viki udah cukup berhasil. Tatsuya Fujiwara dan Ken’ichi Matsuyama berhasil banget bikin perang kecerdasan antara Light dan L jadi kelihatan nyata! Ini disusul sama spin-off yang ngisahin kehidupan L dan terakhir, Death Note: Light Up the New World yang meski kisahnya enggak ada di manga dan anime, tapi tetap ngikutin bagian paling penting di manganya. Nah, live action versi Netflix malah lebih layak dibilang parodi karena ngelupain penokohan Light dan L dan serta hal-hal krusial lainnya.
Viki udah pernah bahas, loh, bahwa live action versi Netflix ini sampai punya 10 hal ngawur yang bikin film ini bahkan sebaiknya enggak usah dibuat aja sejak awal. Beberapa di antaranya adalah drama remaja yang jadi sorotan utama di film ini dan tentunya, karakter Light yang enggak secerdas di manga dan anime. Kalau memang kayak begitu, kenapa enggak bilang aja sejak awal bahwa film ini terinspirasi dari Death Note, bukan diadaptasi?
Puncaknya, fans menuangkan kekesalannya sama sang sutradara, Adam Wingard. Lalu, mungkin ngerasa enggak nyaman, Wingard ngehapus akun Twitter miliknya! Namun, sebelum ngelakuin itu, sebagaimana yang dirilis sama Japan Today, Wingard sempat ngebalas komentar-komentar itu dengan argumen yang sebetulnya serupa rengekan di Twitter.
“Sorry trolls but the artist always wins in the long run.”
“I love how many people feel personally attacked by this tweet. Its [sic] almost like troll bait. Those that bit expose themselves.”
“Film criticism is different than b*tching at filmmakers on twitter.”
Yah, biar bagaimanapun, seorang sutradara yang enggak siap nerima kritik, seburuk apa pun, seharusnya enggak usah bikin film sejak awal. Risiko diserang dengan kritik negatif pasti ada. Toh, kalau yang dibikin adalah film yang bagus, udah pasti kritik negatif itu bakal tertutup sama kritikan positif. Sutradara cuma perlu ngebuktiin filmnya bagus, ya, dengan bikin film yang bagus. Udah, begitu aja.
***
Ngelihat lima film di atas, lo setuju bahwa film-film tersebut gagal sebagai live action? Atau, mungkin lo punya film live action lain yang menurut lo enggak layak tonton? Boleh banget berbagi di kolom komentar, loh!