Pemenang-pemenang piala Oscar sudah diumumkan. Seperti pada tiap penyelenggaraannya, mereka yang memenangkan Oscar pun menuai pujian juga cibiran. Selain Leonardo DiCaprio yang langsung menjadi sensasi karena beragam meme-nya—yang sebagian menyatakan puja dan puji, sebagiannya juga tetep isinya ngecengin mz Leo—langsung muncul menghiasi berbagai situs forum, Mad Max: Fury Road juga dapat perlakuan serupa mz Leo.
Nah, di beberapa grup Whatsapp yang Viki ikuti, ada juga teman-teman Viki yang mencemooh dan meragukan kualitas dan kapasitas Mad Max: Fury Road. Ada temen Viki yang bilang, “Akh apaan nih film tentang main bom bom car di gurun pasir gitu doang aja kok menang banyak amat piala Oscar?!” ada juga yang bilang, “Idih film enggak masuk akal kayak gitu, apaan sik enggak jelas, masak ada orang main gitar pake api di atas mobil gitu aja menang? Cih!”. Viki sebenarnya sangat berseberangan dengan mereka yang enggak setuju kalau Mad Max: Fury Road menang banyak Oscar. Makanya, nih simak beberapa alasan bahwa Mad Max: Fury Road patut diganjar Oscar bertubi-tubi!
1. Menggapai bahkan melebihi ekspektasi penonton.
Jujur aja nih, tim yang bertanggung jawab atas desain produk Mad Max: Fury Road emang Viki akuin jago. Makanya mereka menang kategori “best production design” di Oscar tahun ini ya karena hype yang mereka buat dari sebelum film ini tayang itu bisa tercapai di penayangan film. Dengan trailer-nya yang bikin penasaran dan mampu “bercerita” tanpa membeberkan keseluruhan film juga poster-poster yang mereka desain, Viki sebagai salah satu penonton, secara objektif, sih puas banget. Ekspektasi penonton atas latar tempat yang menggambarkan betapa gersang dan suremnya masa depan saat dunia sudah begitu sekarat karena pemanasan global pun bisa tergambar dengan baik di film ini.
2. Merealisasikan dunia post-apocalypse dengan ciamik.
Gini ya, menurut Viki masih banyak loh orang yang masih belum bisa objektif mengapresiasi bentuk seni. Soalnya, masih ada orang yang menganggap tema dan latar di Mad Max: Fury Road itu enggak masuk akal karena menurut mereka misalnya, “mana ada BBM langka, eh malah kebut-kebutan naik mobil?” atau “aneh banget ngapain itu mobil dikasih tiang lentur, terus ada orang yang dari tiang tadi bawa-bawa galah?”. Nah, Viki ingetin nih ya, itu kan ekspresi dari si pencipta cerita bahwa dia punya bayangan di kepalanya, nanti jauh di masa depan, kebudayaan manusia bakalan jauh beda dengan kebudayaan sekarang. Ide liar soal kehidupan manusia di masa mendatang di Mad Max: Fury Road ini menurut Viki mereka realisasikan dengan baik melalui pemilihan kostum, properti, dan tata rias yang keliatan sangat pas. Makanya kreativitas mereka itu bikin mereka menang Oscar juga di kategori makeup dan desain kostum.
3. Gemuruh dan ingar-bingar yang mampu memompa testosteron sepanjang film.
Kalau kalian udah nonton Mad Max: Fury Road, pada ngerasa enggak sih bahwa tensi film tersebut dibangun dengan baik. Menurut Viki, tensi film ini—dimulai dari Max (Tom Hardy) yang dikejar-kejar segerombolan orang—dibangun bukan dari tensi rendah. Begitu mulai, film ini langsung digeber di tensi tinggi. Dan gokilnya lagi, Viki ngerasa tensi film ini enggak pernah turun. Semacam dibikin supaya penonton dikit-dikit ngeden-ngeden tahan napas lewat aksinya mz Max dan mb Furiosa (Charlize Theron) yang dikejar-kejar oleh Immortan Joe (Hugh Keays-Byrne) dan para Warboys. Kayaknya, itu tensi penonton bisa terjaga tetap tinggi di ujung ya berkat tata suara yang hacep banget sepanjang film juga. Raungan mesin-mesin V8 terus menyalak sepanjang film, terus chord khas musik cadas yang dimainin sama si Coma-Doof Warior (warboy yang main gitar keluar api di atas mobil) pun sukses bikin testosteron penonton muncrat terus-terusan. Enggak heran kalau film ini dapet penghargaan juga di kategori soun editing dan sound mixing.
4. Efek visual yang memanjakan mata penonton.
Kebanyakan dari mereka yang bersorak-sorak kegirangan setelah nonton Mad Max: Fury Road juga bertestimoni beragam efek yang disajikan dalam film sungguh syahdu dan tepat guna. Eksekusi efek visual George Miller (sang sutradara) dalam film ini enggak berlebihan, enggak terlalu banyak ledakan yang lebay kayak film-filmnya Michael Bay. Teknik pengambilan gambar di beberapa adegan film ini pun dengan sukses bikin mata kita—kalau bisa ngomong—bilang WOOOW. Makanya, kalau boleh egois, Viki juga agak heran menyoal film ini malah enggak dapet Oscar di kategori best visual effect atau best cinematography.
5. Ngasih standar baru dalam meramu cerita film
Dengan mengangkat banyak tema sekaligus, semisal sains fiksi, dunia pasca runtuhnya kebudayaan manusia yang sekarang, pencarian utopia, sexism, perubahan iklim, dan ketamakan, kayaknya karya George Miller ini bisa jadi standar baru dalam meramu alur cerita film action. Bosen enggak sih kalian kalau terus-terusan nonton film action yang modal utamanya cerita balas dendam, atau ada satu tokoh jahat yang mengancam keberlangsungan dunia terus para jagoan berusaha deh nyelametin dunia, atau ada orang biasa kena gigitan serangga, atau radiasi sinar, atau jadi bahan percobaan lab, terus jadi superhero dan merasa bertanggung jawab buat menjaga keamanan masyarakat? Masak sih kalian juga enggak bosen liat film-film action yang isinya koreografi berantem-beranteman doang? Mudah-mudahan kelak bakal lebih banyak lagi deh film action yang diramu dengan dan dikemas dengan penuh passion.
***
Namun, apalah Viki ini, hanyalah seorang Warboy yang hina dina. Tapi, kalau boleh seorang Warboy yang hina dina ini berharap, coba deh lo semua lebih objektif lagi kalau mau mengutarakan pendapat. Yang George Miller lakukan bareng kru filmnya itu sangat hebat loh. Mereka dengan sukses merealisasikan sebuah premis yang konyol dan enggak masuk akal, bayangin aja premis “Di dunia post-apocalypse ada laki-laki enggak jelas kebut-kebutan naik mobil di permukaan bumi yang mayoritas udah tandus sambil bawa generasi terakhir perempuan-perempuan sehat, dikejar-kejar sama orang rakus dan para cecunguknya”. Dengan mudahnya, George Miller bikin premis yang terdengar bloon tadi jadi sebuah film, terus masih mau lo bilang karyanya itu enggak pantas dapat Oscar?