Kalian pasti bersepakat bahwa Weekly Shonen Jump adalah pabrik utama penghasil karya-karya shounen (remaja) yang bombastis. Majalah antologi ini merupakan tempat bernaungnya rentetan titel populer dan merengkuh status “cult”, seperti Dragon Ball, One Piece, Bleach, hingga Naruto.
Makanya, wajar bila penggemar menyambut dengan sukacita ketika mendengar pengumuman soal anime adaptasi Dr. Stone, manga shounen yang meleburkan elemen fiksi ilmiah dan nuansa pasca-apokalips. Anime ini digarap oleh TMS Entertainment (Detective Conan, Fruits Basket 2019, Megalo Box) dan sudah mengudara sejak 5 Juli tahun ini, meramaikan deretan anime musim panas 2019.
Plot cerita dan pengembangan karakter Dr. Stone semuanya ditulis oleh Riichiro Inagaki (Eyeshield 21), namun urusan ilustrasi diserahkan kepada Boichi. Oleh sebab itu, maklum saja jika desain karakter dalam Dr. Stone sedikit banyak mirip dengan karakter manga Sun Ken Rock.
Lantas, seperti apa keseruan anime Dr. Stone? Baca sampai tuntas untuk tahu jawabannya!
Cerita yang Menjanjikan
Suatu ketika di halaman belakang sekolahnya, Taiju Ooki memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya kepada Yuzuriha Ogawa, gadis yang disukainya lima tahun belakangan. Sebelum gadis itu memberi jawaban, tiba-tiba saja cahaya hijau misterius terpancar dari kejauhan dan dalam sekejap mengubah manusia di berbagai belahan dunia menjadi patung batu, termasuk Yuzuriha dan Taiju.
Kira-kira 3.700 tahun dalam lini masa animenya, Taiju terbebas dari perangkap yang selama ini membelenggu. Dia sebetulnya terbangun di wilayah perkotaan yang sama, namun telah berubah total setelah diambil alih kembali oleh alam. Taiju yang tengah kebingungan mencari jalan kemudian bertemu dengan protagonis lainnya yang sekaligus kawan akrabnya, Senku Ishigami.
Senku Ishigami mungkin lebih pantas diposisikan sebagai karakter sentral dalam anime ini. Dia merupakan siswa brilian yang tahu segala hal dan paham bagaimana langkah terbaik yang harus diambil dalam situasi pelik.
Dia mengajak Taiju membangun kembali peradaban manusia dari nol. Namun, tujuan mulia mereka mendapat pertentangan mutlak dari Tsukasa Shishiou, siswa jawara yang kemampuan fisiknya terlampau dahsyat.
Suasana Pasca-apokalips yang Cukup Memukau
Unsur pasca-apokalips menjadi hal paling segar yang dibawa dalam Dr. Stone. Dunia baru ini digambarkan indah dan asing, penuh tumbuhan yang lebat dan satwa liar bebas berkeliaran karena manusia tidak lagi berada di puncak rantai makanan.
3.700 tahun jelas bukan waktu yang sebentar bagi alam untuk memulai siklus kehidupan barunya. Mirip seperti skenario riil yang disimulasikan oleh para ahli tentang “bagaimana jika dunia modern benar-benar ditinggal oleh semua manusia yang saat ini eksis.”
Meski begitu, anime ini tak melulu menampilkan keterpukauan panorama. Di dalamnya juga ada fakta tragis bahwa orang-orang telah “dikutuk” menjadi batu. Tak ada meteor, tak ada nuklir, atau mungkin zombie yang melatarinya.
Tiba-tiba saja mereka semua bisu membatu. Jika mengacu pada kondisi para pemeran yang masih bisa dibangkitkan, semua manusia nahas tersebut ditengarai masih hidup dan menunggu untuk dipulihkan.
Mengapa segenap manusia tiba-tiba berubah menjadi batu? Apa atau siapa yang menjadi penyebabnya? Misteri ini menggelayut sejak awal episode dan mungkin baru akan terkuak menjelang bubarannya anime ini.
Sebenarnya, hal yang semestinya ditanyakan adalah apakah Dr. Stone mampu membuat senang penggemar dengan memberi ending yang memuaskan. Paling tidak, anime ini bisa menyajikan jawaban masuk akal atas misteri tersebut.
Pertentangan Humanisme dengan Idealisme
Salah satu masalah dalam anime ini adalah karakterisasinya. Senku adalah seorang prodigi ilmu pengetahuan yang mengetahui nyaris segala hal tentang bagaimana dunia ini bekerja. Dia piawai meracik anggur, tahu mana jamur yang berbahaya dan mana yang boleh dimakan.
Senku juga paham seluk-beluk pelajaran sains yang mungkin tidak akan pernah dipelajari oleh siswa SMA lainnya. Kalau ditanya soal pelajaran, bisa dipastikan “10 miliar persen” Senku tahu jawabannya. Betul sekali, Senku terlalu sempurna untuk ukuran seorang remaja.
Di sudut berlawanan, duduk seorang karakter yang dengan hanya melihat penampilannya saja, kalian akan tahu bahwa dia adalah antagonis utama di sini. Kekuatan fisiknya tak main-main. Dia dapat menumpas singa jantan bermodalkan satu pukulan. Kemampuannya dalam berburu pun tak tertandingi.
Tsukasa melontarkan pendapat bahwa seharusnya Senku tak perlu repot-repot membuat obat yang dapat membangkitkan seluruh manusia. Dia ingin membangun dunia yang ideal: hanya orang-orang yang berhati mulia yang berhak menghirup udara bebas.
Bisa ditebak bahwa konsep humanisme melawan idealisme seperti ini menjadi topik yang terus diungkit dalam anime Dr. Stone. Lantas, apakah Senku mampu menyelesaikan misinya untuk membangkitkan semua orang? Ataukah, Tsukasa berhasil menghentikannya dan menciptakan dunia yang dia inginkan?
Gagal Memaksimalkan Potensi
Eksplorasi Dr. Stone terhadap segala hal yang berbau ilmiah sebetulnya sudah sangat lumayan. Setidaknya, demikianlah yang kami lihat dalam beberapa episode awalnya dari total 24 episode yang direncanakan. Misalnya saja tentang proses peracikan anggur atau pembuatan garam yang ditampilkan dalam konsep sederhana, tapi sesuai dengan rumus aktualnya.
Sayangnya, anime ini kurang berhasil menggali potensi jauh lebih dalam untuk menasbihkan dirinya sebagai sebuah anime yang hebat. Twist yang tersebar mudah ditebak, kepribadian karakter (selain Senku dan Tsukasa) juga tidak begitu menonjol.
Taiju Ooki mungkin siswa yang tangguh, tapi dari segi karakterisasi dia lebih pantas diposisikan sebagai pelengkap yang hambar kebaruan. Caranya berteriak acap bikin kesal, alih-alih membuat kita bersemangat.
Sementara itu, Yuzuriha Ogawa seperti cewek anime “kebanyakan”. Dia adalah siswi cantik, periang, dan rutin memotivasi para cowok di momen krusial. Sebuah arketipe karakter yang sudah terlalu sering dihadirkan.
Unsur humornya, yang seharusnya menjadi konektor terbaik untuk merekatkan ketimpangan karakterisasi, pun tak bisa diharapkan. Dalam Dr. Stone, teknik humor yang dipakai sering kali melibatkan gestur wajah yang terlalu “cringey”. Iya, sih, ini anime shounen. Namun, kalau porsi dialog kocaknya diperbanyak, apalagi berbobot, anime ini bakal bisa dinikmati.
***
Dr. Stone memang berhasil mencuat sebagai salah satu anime yang menawarkan kesegaran, khususnya dalam segi konsep cerita. Dalam waktu yang bersamaan, garapan TMS Entertainment ini gagal memenuhi ekspektasi penggemar akan sebuah karya adaptasi manga yang telah dinanti cukup lama.
Nah, apakah kalian termasuk yang setia mengikuti setiap episodenya? Bagaimana pendapat kalian soal Dr. Stone? Jabarkan di kolom komentar, ya!