Live Action Anime ala Hollywood, Harapan di Balik Kegagalan

Meskipun menjadi industri perfilman terbesar, live action anime Hollywood kerap mendapat reputasi buruk.
-Apakah Hollywood akan menghapus predikat tersebut?

Animasi Jepang atau biasa disebut anime umumnya memiliki jumlah penggemar yang banyak di hampir seluruh dunia karena konsep ceritanya yang menarik dan menghibur. Maka, enggak mengherankan kalau industri perfilman besar seperti Hollywood tertarik untuk mengadaptasi beberapa judul anime ternama ke dalam format live action.

Faktanya, hal tersebut telah dilakukan oleh Hollywood dalam beberapa tahun terakhir walaupun enggak berjalan dengan mulus. Film garapan Hollywood yang diadaptasi dari anime umumnya mendapatkan hujatan dari kritikus ataupun penggemar orisinalnya. Oleh karena itu, live action anime Hollywood cenderung mendapatkan reputasi buruk dalam industri perfilman.

via GIPHY

Lantas, apakah alasan yang membuat live action anime Hollwyood dianggap buruk? Lalu, adakah usaha dari Hollywood untuk menghilangkan stigma tersebut? Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hal tersebut, KINCIR bakal mebahasnya secara mendalam di bawah ini!

Peralihan Budaya Jepang ke Barat

Via istimewa

Mengingat anime dibuat di Jepang, latar tempat yang ada di dalamnya umumnya diambil dari negara tersebut. Sekalinya anime tersebut memiliki dunia fantasi sendiri seperti di One Piece dan Naruto, para karakternya tetap lekat dengan budaya Jepang, misalnya menyantap hidangan khas Negeri Samurai. Tentunya, latar tempat serta kebudayaan yang ada pada versi orisinalnya tersebut akan melekat dengan para penggemarnya.

Sayangnya, pada versi live action Hollywood, hal tersebut kerap diubah untuk menyesuaikan dengan lokasi baru dari filmnya, yaitu Amerika Serikat. Salah satunya ada pada live action Death Note (2017) produksi Netflix yang mana kota tempat protagonis utamanya berasal adalah Washington, Amerika Serikat. Padahal, pada versi orisinalnya, tokoh utama yang bernama Light Yagami tersebut merupakan anak SMA asal Tokyo.

Via istimewa

Berdasarkan interview yang dimuat di The Verge, Adam Wingard selaku sutradara versi live action, Death Note dapat diterjemahkan ke berbagai cara dengan tetap menyimpan inti ceritanya. Oleh karena itu, Wingard coba menghadirkan tema serta konflik yang lekat dengan Amerika Serikat lewat film garapannya tersebut.

“Saya pikir ada aspek film ini yang sangat Amerika, dalam arti bahwa kita adalah sebuah negara yang selalu berpikir kita adalah nomor satu dan bertanggung jawab untuk mengawasi dunia,” ungkap Wingard.

Menurutnya, aspek tersebut dapat dilihat pada sosok Light Turner yang menghabisi nyawa pemimpin Korea Utara serta meledakkan markas ISIS lewat bukunya tersebut. Hal ini pun berkaitan dengan Amerika Serikat yang digambarkan sering memiliki konflik dengan dua kubu tersebut di dunia nyatanya.

Via istimewa

Selain lokasi dan budaya yang berkaitan dengan Jepang, anime juga menampilkan karakter yang memiliki darah dari negara tersebut. Namun, lagi-lagi hal ini kembali diubah oleh Hollywood pada versi live action.

Mereka umumnya lebih sering memilih aktor ras kulit putih ketimbang asal Jepang untuk berperan sebagai pemeran utama di filmnya. Fenomena perubahan ras karakter menjadi kulit putih dalam live action anime Hollywood ini disebut sebagai whitewashing. Bahkan, industri perfilman Hollywood terkadang dianggap rasis karena melakukan hal tersebut.

Via istimewa

Meskipun begitu, Scarlett Johansson yang berperan sebagai Motoko Kusanagi di live action Ghost in the Shell (2017) berpendapat lain. Menurutnya, sebagai seorang aktor dia seharusnya diperbolehkan untuk berperan sebagai siapapun, terlepas dari ras yang berbeda karena itu adalah pekerjaannya.

Bukannya meredam amarah penggemar karya orisinal yang mengecam whitwashing di filmnya, pernyataan Johansson tersebut malah menyulut emosi. Alhasil, Ghost in the Shell hanya meraih skor audiens 51% di Rotten Tomatoes dan meraup pendapatan 169,8 juta dolar (sekitar Rp2,5 triliun) dari modal produksinya yang berjumlah 110 juta dolar (sekitar Rp1,6 triliun).

Enggak Paham Cerita, Ogah Dinasihati

Salah satu cara yang mungkin yang dapat dilakukan oleh Hollywood untuk mengatasi masalah hilangnya budaya Jepang dalam versi live action mereka adalah menggandeng kreator orisinalnya. Sebab, jika Hollywood memang lebih memilih untuk menyesuaikan dengan budaya Amerika, paling enggak kreator orisinalnya masih bisa mengarahkan aspek apa saja yang masih harus ada di filmnya.

Akan tetapi, hal ini enggak diterapkan oleh studio-studio di Hollywood yang ingin membuat live action anime. Hubungan mereka dengan kreator orisinalnya sebatas perizinan untuk mengadaptasi anime atau saran terkait filmnya. Mereka enggak melibatkan para kreator ke dalam produksi filmnya, entah itu sebagai produser eksekutif ataupun posisi lainnya.

via GIPHY

Sekalinya diberikan saran terkait proyek film live action-nya, mereka juga enggak selalu mengikuti nasihat dari kreator orisinalnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Akira Toriyama selaku kreator orisinal Dragon Ball yang juga enggak menyukai versi live action Hollywood dari anime buatannya.

“Pada saat versi live action Hollywood, naskahnya benar-benar enggak menggambarkan dunia atau karakteristik (dari Dragon Ball). Terlebih lagi, karena saya berpikir kontennya terlalu hambar dan tidak menarik, saya memperingatkan mereka dan memberikan ide untuk perubahan. Namun, mereka memiliki keyakinan yang aneh dan enggak mengikuti saran saya. Seperti yang saya duga, hasilnya adalah sebuah film yang enggak bisa saya sebut Dragon Ball,” ungkap Toriyama.

Via istimewa

Kondisi ini pun diperparah dengan sineas dari Hollywood yang enggak selalu memahami cerita dari anime orisinalnya. Lagi-lagi masalah ini dialami oleh proyek live action Dragonball Evolution (2009). Pasalnya, penulis naskah dari filmnya, Ben Ramsey, mengaku bahwa dia enggak familier ataupun tertarik dengan anime Dragon Ball.

“Saya masuk ke proyek (Dragonball Evolution) untuk upah yang besar. Bukan sebagai penggemar waralabanya, tapi sebagai pebisnis. Saya belajar bahwa ketika melakukan usaha kreatif tanpa rasa ketertarikan, hasilnya akan kurang optimal dan terkadang seperti ‘sampah’. Sebagai penggemar serial lain, saya tahu rasanya memiliki sesuatu yang disukai dan dinantikan menjadi hal yang mengecewakan,” pungkas Ramsey dalam permintaan maafnya terkait kegagalan Dragonball Evolution.

Film Dragonball Evolution memang bisa dibilang sebagai adaptasi live action anime terburuk yang ada di Hollywood. Film yang digarap oleh James Wong ini hanya mendapatkan nilai 15% pada situs Rotten Tomatoes. Enggak berhenti sampai situ saja, Dragonball Evolution juga meraih nominasi sebagai “Film Terburuk” pada ajang Golden Schmoes Awards 2009.

via GIPHY

Selain cerita, ketidakpahaman kreator akan anime orisinalnya juga berpengaruh terhadap penokohannya. Hal ini bisa dilihat dalam live action Death Note produksi Netflix, tepatnya pada sosok Light Turner, perwujudan dari Light Yagami sebagai protagonis.

Pada versi animenya, Light Yagami digambarkan sebagai cowok sosiopat cerdas yang sangat cool. Bahkan, ketika pertama kali bertemu sang iblis pencabut nyawa, Ryuk, Light hanya kaget untuk sesaat kemudian bersikap cool lagi. Light pun menyimpan rahasianya sebagai Kira dari siapapun hingga akhir kisah.

Perbedaan besar pun terasa dengan sosok Light Turner yang ada di live action. Pertemuan pertamanya dengan Ryuk digambarkan sangat konyol. Turner terlihat berteriak-teriak dan kabur sambil meminta pertolongan yang tentunya bertolak belakang banget dengan versi animenya. Apalagi, Turner dengan sengaja mengungkap rahasia Death Note hanya untuk memikat hati seorang wanita.

Berdasarkan pembahasan di atas, sudah enggak terlalu heran mengapa live action anime Hollywood dicap buruk, ‘kan?

Kesulitan Meringkas Cerita dan Mewujudkan Adegan Pertarungan

Via istimewa

Selain beberapa alasan yang ada di atas, terdapat faktor lainnya yang membuat anime agak sulit untuk diadaptasi ke dalam format live action. Alasan tersebut adalah panjangnya cerita. Pada sebuah anime, plot yang ada di dalamnya umumnya diceritakan lewat beberapa episode terpisah dan terkadang bisa berlangsung selama sekian season.

Tentunya akan sulit bagi sebuah film live action untuk menceritakan seluruh plot serial anime dalam durasi 90—120 menit secara mendetail. Salah satu cara untuk menceritakan keseluruhan plot anime dalam format film layar lebar adalah dengan membagi arc anime lewat kontinuitas sekuelnya.

Sayangnya, jika melihat reputasi buruk Hollywood dalam live action anime, kemungkinan untuk memiliki sekuel pastinya sangat kecil. Meskipun begitu, masih ada satu cara lagi bagi Hollywood untuk mewujudkan hal tersebut, yakni mengusung format serial.

Faktanya, hal ini sukses dilakukan oleh live action anime Death Note produksi Jepang. Pada 2015 lalu, merilis sebuah serial TV live action yang memiliki jumlah 11 episode yang masing-masing memiliki durasi sekitar 55–85 menit.

Ulasan yang diterima dari serial tersebut pun terbilang jauh lebih positif ketimbang dengan versi live action Hollywood yang ada di Netflix. Death Note asal Jepang dianggap setara dengan versi anime-nya dan mendapat nilai 7,1 di IMDb. Sedangkan, film live action Hollywood yang mengadaptasi anime tersebut hanya meraih skor 4,5 di situs yang sama.

Lalu, ada satu lagi tantangan besar dalam membawa anime ke format live action, yaitu pengalaman sinematik, khususnya adegan tarung. Seperti yang kita ketahui, momen berantem di anime kerap digambarkan sangat dahsyat dan epik karena murni animasi. Visual serta pergerakan saat berkelahi dari para karakternya berpengaruh untuk menambah keseruan dan dramatika momen-momen tersebut.

Untuk mewujudkan momen epik ini dalam versi live action, Hollywood enggak bisa cuma mengandalkan koreografi bertarung, tapi juga efek visual atau CGI. Mengingat Hollywood merupakan industri perfilman besar dengan teknologi yang mumpuni, seharusnya hal ini enggak sulit dilakukan oleh mereka.

Meskipun sempat memiliki reputasi CGI buruk saat film Dragonball Evolution, beberapa tahun terakhir ini sepertinya Hollywood mulai meningkatkan teknologi mereka untuk live action anime. Sebagai buktinya, Ghost in the Shell meraih beberapa nominasi untuk “Efek Visual Terbaik” di sejumlah ajang penghargaan terlepas dari ulasannya yang buruk, salah satunya adalah Empire Awards 2018.

Bahkan, film tersebut sempat terpilih untuk masuk nominasi Oscar pada kategori “Efek Visual Terbaik” walaupun pada akhirnya tereleminasi. Jadi, bisa dibilang Hollywood sudah mulai serius dalam urusan efek visual live action anime mereka.

Live Action Anime, Hollywood Mulai Berbenah?

Via istimewa

Melihat sejumlah permasalahan yang dialami oleh live action anime Hollywood tersebut, timbul pertanyaan; apakah mereka akan ‘bertobat’? Atau bakal tetap mengulangi pola yang sama? Pasalnya, dalam beberapa tahun ke depan ada banyak proyek anime yang bakal dijadikan live action oleh mereka.

Well, kemungkinan besar Hollywood kini sudah mulai serius untuk menggarap live action anime mereka. Film Alita: Battle Angel (2019) bisa dibilang menjadi babak baru bagi perfilman adaptasi anime di industri Hollywood. Soalnya, film tersebut mendapat ulasan yang cukup positif dengan skor 7,3 di IMDb dan menjadikannya live action anime Hollywood dengan rating tertinggi sejauh ini.

Enggak berhenti sampai situ saja, Alita juga sukses menyabet lima piala pada ajang Visual Effects Society Awards ke-18. Piala tersebut berasal dari kategori; “Outstanding Animated Character”, “Outstanding Visual Effects”, “Outstanding Created Environment”, “Outstanding Virtual Cinematography in a CG Project”, dan “Outstanding Compositing”. Bahkan, raihannya ini menyamai torehan piala film produksi Disney yang juga ada di acara tersebut, yakni The Lion King (2019).

Selanjutnya, Hollywood memiliki banyak proyek live action anime, seperti One Punch Man yang akan diproduksi Sony Pictures. Lalu, ada juga proyek live action Attack on Titan garapan sutradara film It (2017), Andy Muschietti. Oleh karena itu, kemungkinan besar nuansa horor dari para Titan bakal dibuat semenyeramkan sosok Pennywise si badut yang ada dalam filmnya.

Sayangnya, seluruh proyek live action anime Hollywood belum ada yang mengumumkan tanggal rilis pasti mereka hingga artikel ini ditulis.

via GIPHY

Lalu, untuk proyek live action ke depannya, Hollywood juga tampaknya belajar dari kesalahan mereka di sejumlah film sebelumnya. Salah satunya adalah proyek live action One Piece yang akan diproduksi oleh Netflix dan akan mengusung format serial dengan jumlah 10 episode di musim pertamanya. Selain itu, Eiichiro Oda selaku kreator orisinalnya juga ikut serta sebagai produser eksekutif dalam proyek tersebut.

Selain itu, pemahaman akan versi anime orisinalnya juga sudah mulai diterapkan untuk menggarap live action. Hal ini bisa kita lihat dalam proyek live action Akira yang akan digarap oleh Taika Waititi. Sutradara yang juga terlibat dalam Thor: Ragnarok (2017) tersebut mengaku telah menonton Akira saat masih berusia 13 tahun dan anime tersebut menjadi salah satu film favoritnya.

Akan tetapi, Waititi menambahkan bahwa dirinya enggak akan sepenuhnya me-remake anime Akira, melainkan mengadaptasi manga-nya. “Yang ingin saya lakukan adalah melakukan adaptasi dari bukunya. Banyak orang yang ketakutan (terkait live action Akira) bahkan belum membaca bukunya dan ada enam buku untuk dilalui,” ungkap Waititi sebagaimana yang dilansir Forbes.

Via istimewa

Meski demikian, tampaknya Hollywood masih sulit untuk menghapus citra whitewashing yang melekat pada mereka. Apalagi, film adaptasi anime Your Name (2016) yang nantinya akan digarap Marc Webb kabarnya bakal dibintangi oleh aktor Hollywood dan memiliki latar tempat di Chicago, Amerika Serikat.

Meskipun begitu, rencana untuk mengubah kebudayaan Jepang menjadi Amerika tersebut tetap mendapatkan lampu hijau dari kreator orisinalnya. Apalagi, Marc Webb juga bisa dibilang cocok dengan genre yang diusung Your Name, yakni romantis. Soalnya, Webb pernah menggarap 500 Days of Summer (2009) yang bergenre romantis-komedi dan mendapat kesempatan untuk tayang di Festival Film Sundance.

via GIPHY

Sejauh ini proyek film live action anime Hollywood mendatang yang diketahui pemeran utamanya berdarah Asia hanyalah Cowboy Bebop. Aktor berdarah Korea, John Cho, ditunjuk sebagai pemeran Spike Spiegel dalam film tersebut. Akan tetapi, enggak menutup kemungkinan kalau di proyek lainnya, seperti Akira dan Naruto pemerannya bakal memiliki darah Asia atau Jepang ‘kan?

Melihat sejumlah proyek yang sedang dalam tahap pengembangan tersebut, nampaknya ada perubahan yang cukup besar bagi live action anime Hollywood. Jadi, kita lihat saja apakah Hollywood mampu menghapus reputasi buruknya dalam sejumlah proyek live action ke depan.

***

Nah, kalau menurut kalian, apakah Hollywood mampu membuat live action anime yang berkualitas? Seperti apa optimisme kalian dengan proyek-proyek live action anime yang sudah direncanakan? Lalu, apa sajakah hal yang harus dipenuhi Hollywood agar hal tersebut tercapai? Share pendapat kalian di bawah dan ikuti terus KINCIR buat artikel menarik seputar film lainnya, ya!

Oh ya, di tengah pandemi Corona ini, jangan lupa untuk jaga kesehatan dengan selalu menggunakan masker, ya! Jika kalian bosan dengan desain masker yang biasa, kalian bisa membeli masker trendi di bawah ini. Nantinya, setiap pembelian satu buah masker ini, kalian telah membagikan tiga masker kepada orang lain yang membutuhkan. Langsung saja beli di sini!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.