Waralaba Film Hollywood Milking

6 Waralaba Film Hollywood yang Diperah Habis-Habisan sampai Kualitasnya Menurun

Sudah jadi hal lumrah, jika ada film yang mendapatkan animo tinggi dari masyarakat akhirnya dibuat sekuel. Selain untuk memuaskan penonton, tentu tujuan dari pengadaan waralaba film adalah untuk menjaring cuan sebanyak mungkin.

Rumah-rumah produksi dan distributor film tahu betul bahwa jika suatu kisah sudah mendapatkan tempat di hati masyarakat, mereka akan rela merogoh kocek untuk membayar tiket bioskop atau biaya langganan untuk menonton kelanjutannya. Masalahnya, pihak-pihak terkait kadang akan membuat sekuel terus-menerus agar uang yang mereka dapatkan berlipat ganda.

Sekuel-sekuel awal masih memiliki cerita yang oke. Namun, karena ide-ide ini diperah, ada titik di mana sumurnya begitu kering dan enggak bisa menghasilkan tontonan yang punya makna lagi. Fenomena ini disebut milking atau pemerahan film.

Waralaba film apa saja yang diperah sedemikian rupa sampai menghasilkan sekuel-sekuel yang kualitasnya menurun drastis? Ini dia.

6 Waralaba film Hollywood yang diperah sampai kualitasnya menurun

Despicable Me 

milking waralaba film
Despicable Me via Istimewa

Despicable Me (2010) menjadi waralaba film pertama yang menampilkan makhluk-makhluk bak bakteri kecil berwarna kuning yang kini kita kenal sebagai minion. Minion bukan hanya makhluk lucu. Mereka gesit, bodoh, sekaligus hanya punya satu tujuan hidup aneh: mengabdi pada penjahat.

Pada film pertama ini, langsung diceritakan bahwa para minion mengabdi pada Gru, penjahat kawakan yang berhasil mencuri banyak hal. Karakterisasi Gru pun multidimensional: ia adalah penjahat fatherless yang punya ibu cuek, judes tapi perhatian termasuk pada minion-minionnya, dan pada akhirnya betul-betul sayang kepada ketiga anak panti asuhan yang awalnya ia manfaatkan untuk menjebak lawannya.

Despicable Me 2 masih cukup apik saat menampilkan bagaimana Gru harus menghadapi seorang musuh dari masa lalunya dan bertemu dengan jodohnya, Lucy. Spin-off-nya, Minions (2015) dan Minions: The Rise of Gru (2022), juga bercerita cukup baik mengenai perjalanan para minion mencari tuan terjahat hingga bertemu Gru kecil, walaupun dalam beberapa adegan terasa agak “maksa”.

Namun, Despicable Me 3 (2017) dan Despicable Me 4 (2024) jadi semakin memaksakan pengembangan kisah kehidupan Gru. Ia sampai diceritakan memiliki saudara kembar, anak Gru, dan sebagainya. Memang, sih, penjahat-penjahatnya makin kreatif. Namun, rasanya penceritaannya enggak berkembang dan semakin lama semakin diada-adakan.

Jika saga minion ini terus menerus dibuat filmnya, bukan enggak mungkin suatu saat kisahnya bakal menjadi sangat buruk dan premisnya semakin enggak realistis.

Fast and Furious 

Fast and Furious via Istimewa

Fast and Furious jelas merupakan saga yang fenomenal, legendaris, dan selalu menjadi tempat untuk bermimpi bagi para pencinta aksi-aksi alfa serta mobil-mobil keren. Kisah ini berawal dari penyamaran agen FBI Brian O’Connor sampai akhirnya bertemu dengan Dominic Toretto, pembalap jalanan legendaris.

Awal mulanya, O’Connor bermaksud menyelidiki dan mencari bukti keterkaitan geng pembalap jalanan dengan pembajakan truk. Lama-kelamaan, O’Connor malah bersahabat dengan Toretto, saling menumpas kejahatan bersama-sama, menikahi adik Toretto, Mia Toretto, dan cerita bergulir hingga kematian Paul Walker (pemeran O’Connor) dalam Furious 7 (2015).

Usai kematian Walker, waralaba film ini masih terus berlanjut hingga terakhir mencapai Fast X (2023). Kualitas serial ini naik-turun, terkadang seru, terkadang datar, ada pula yang ngadi-ngadi alias terlalu dibuat-buat seperti salah satunya adegan mengendarai mobil di luar angkasa. Selain adegan-adegan aneh, ada tokoh-tokoh yang dihidupkan kembali secara ajaib seperti Gishele Yasar pada sekuel 2023 tersebut.

Setiap film dari Fast and Furious selalu punya adegan aksi yang seru serta kualitas gambar yang keren. Namun, tentu saja waralaba film ini lama-kelamaan kelihatan diperas habis-habisan hanya untuk mendulang keuntungan dari para penonton.

Marvel Cinematic Universe

MCU via Istimewa

Marvel Cinematic Universe memiliki banyak waralaba film yang dibagi dengan fase-fase tertentu. Saat ini, MCU akan memasuki Fase Enam lewat film-film Fantastic Four (2025)  Avengers: The Kang Dynasty (2025) dan Avengers: Secret Wars (2026).

Dengan konsep film-film superhero yang awalnya berdiri sendiri kemudian bersatu lewat crossover The Avengers (2012), MCU jelas mampu menjaring animo dan keingintahuan masyarakat. Asyik banget melihat para pahlawan super dengan latar belakang berbeda dan tujuan berbeda disatukan. Apalagi, setiap superhero itu juga masih dieksplorasi dengan film-film yang khusus membahas mereka sendiri.

Namun, utamanya setelah Avengers: Endgame (2019) yang ditutup dengan kematian Iron Man serta versi Gamora yang berbeda, ada beberapa sekuel MCU yang kelihatan keteteran dan hanya mengandalkan konsep-konsep unik tanpa eksekusi matang.

Kita bisa sebut bahwa Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022) punya konsep semesta paralel nanggung. Enggak luput juga Ant-Man and The Wasp : Quantumania (2025) yang enggak cuma lupa mengeksplorasi quantum realm secara dalam tetapi juga punya CGI buruk, relasi antarkarakter tanpa chemistry bagus, sampai villain nanggung.

Proyek-proyek MCU terkadang dibuat seolah hanya untuk fan service dan untuk mendulang uang lebih banyak. Namun, karena kurang dieksplorasi dan mungkin sudah hampir kehabisan ide, lama-kelamaan proyek-proyek ini seperti terpaksa diperah saja.

Jurassic Park

Jurassic Park via Istimewa

Masih selalu terbayang betapa ikonisnya adegan-adegan di Jurassic Park (1993), mulai dari anak-anak yang sangat bersemangat masuk ke sebuah taman dinosaurus canggih dari DNA dinosaurus pada nyamuk, T-Rex yang memangsa dengan ganas seseorang di dalam toilet, sampai bagaimana mereka harus menjelajahi taman luas sekaligus laboratorium-laboratorium sempit demi melarikan diri dari dinosaurus-dinosaurus ganas yang lepas dari kandang di Isla Nubar.

Plot-nya sederhana, begitu pula dilema dari pemiliknya John Hammond, sekaligus perdebatan eksistensialis dengan paleontologis Dr. Alan Grant (Sam Neill), asistennya Dr. Ellie Sattler, dan matematikawan Dr. Ian Malcolm. Dari kesederhanaan itu, kita bisa menikmati aksi-aksi menegangkan sekaligus mempertanyakan kemajuan teknologi yang kadang melawan hukum alam dan menyebabkan kekacauan.

Karena laris banget, sekuelnya pun dibuat pada tahun 1997 (The Lost World : Jurassic Park) dan 2001 (Jurassic Park: III ). Kedua sekuelnya enggak segemilang film pertama dan memburuk di nomor tiga. Namun, banyak orang yang masih menikmatinya atas nama nostalgia.

Belum selesai mendulang rupiah dari ketiga sekuel itu, lanjutannya yang jauh lebih modern dan dibintangi oleh Chris Pratt sebagai karakter utama pun dibuat pada tahun 2015. Film itu mengisahkan tentang pembangunan theme park baru di lokasi yang sama dengan lokasi theme park lama. CGI jelas lebih canggih, dinosaurus-dinosaurusnya pun realistis. Film ini mendapatkan rating dan pujian lumayan walaupun enggak sebaik film pertama. 

Pada tahun 2018, dibuat sekuelnya bertajuk Fallen Kingdom dan berlanjut dengan Dominion pada 2022. Ratingnya menurun, cerita semakin lemah, dan film terakhir bukan film yang menyenangkan buat ditonton. Ritmenya kurang enak dan enggak punya pembahasan berarti. Tokoh-tokohnya pun enggak memorable.

Milking film-film ini juga ditambah dengan versi-versi tontonan lain seperti Jurassic World Camp Cretaceous yang menampilkan para remaja korban program camping yang berjalan kacau. Serial ini juga perahan paksa, seolah tokoh-tokohnya enggak boleh beristirahat!

Semakin lama, waralaba film Jurassic Park ini kehilangan sisi filsafatnya mengenai eksistensi makhluk hidup dan keseimbangan alam. Semakin ke sini, produk-produk visualnya seolah cuma menonjolkan dinosaurus-dinosaurus ganas serta manusia yang ketakutan.

Fantastic Beast (Harry Potter)

Fantastic Beasts via Istimewa

Para penonton dan para kritikus secara umum akan setuju kalau waralaba film Harry Potter adalah saga legendaris. Sudah lebih dari satu dekade berlalu semenjak film terakhirnya (Deathly Hallows Part II) tetapi rasanya bayangan mengenai petualangan Hogwarts sulit hilang dari kotak memori.

Walaupun Harry dan kawan-kawannya sudah dewasa, cerita enggak berhenti. Pihak Warner Bros melanjutkannya dengan merilis spin-off yang diambil dari buku karya J.K. Rowling, Fantastic Beast and Where to Find Them. Spin off ini dirilis tahun 2016 dan berlatar waktu jauh sebelum Harry Potter lahir.

Sejak awal, kisah ini memang sulit menyamai saga Harry Potter yang memang plot ceritanya didasarkan pada novel-novel Harry Potter J.K Rowling. Buku Fantastic Beast sendiri sebetulnya cuma buku mengenai deskripsi makhluk-makhluk aneh dunia sihir. Tokoh magizoologist Newt Scamander dan tokoh-tokoh lain adalah buatan yang memang dikhususkan untuk film.

Fantastic Beasts makin menurun kualitasnya hingga sekuel terakhir, The Secret of Dumbledore (2022). Mungkin ada beberapa alasan. Pertama, dunia Harry Potter adalah a big shoes to fill in alias susah disamakan. Kedua, pembangunan karakter dan relasi Newt Scamander serta tokoh-tokoh lain kurang dalam. Ketiga, pendalaman karakter pun kurang filosofis, begitu pula reason mereka buat melakukan ini-itu dalam film. Nama besar Dumbledore bahkan enggak mampu menyelamatkan waralaba film perahan ini. Mungkin, Fantastic Beasts enggak seharusnya diangkat ke layar sinema.

Star Wars

Star Wars via Istimewa

Saat original trilogy-nya muncul pada 1977-1983, Star Wars menjadi salah satu budaya populer yang digilai oleh banyak orang. Trilogi ini bahkan mengangkat nama Harrison Ford yang bermain sebagai Han Solo. Kalau dibandingkan sama film-film fiksi ilmiah bertema luar angkasa saat ini, CGI dan efeknya jelas kalah jauh. Namun, konflik-konflik dan karakternya sangat pas, menyenangkan buat ditonton dan membuat semesta perang bintang ini menjadi seolah nyata.

Kemudian, hadirlah prequel trilogy yang kisahnya diceritakan terjadi sebelum original trilogy, sebelum Anakin Skywalker dikenal sebagai Darth Vader sang villain menakutkan yang legendaris itu. Trilogi prekuel ini diawali dengan The Phantom Menace yang mendapatkan sambutan kurang baik (tetapi dengan penghasilan besar), dilanjutkan dengan Attack of The Clones (2002) yang hampir sama saja kualitasnya, dan meningkat di Revenge of The Sith (2005).

Belum selesai, karena Star Wars sendiri bak sekte dengan jumlah penggemar di dunia yang begitu banyak, maka dibuatlah kisah-kisah lanjutannya di The Clone Wars (2008), Rogue One (2016), The Last Jedi (2017), Solo : A Star Wars Story (2018)  dan The Rise of Skywalker (2019). Kritik dan pendapat masyarakat tentang film-film itu beragam, tetapi sulit menyamai versi orisinilnya yang begitu sederhana sekaligus dalam di waktu yang sama.

Perahan itu enggak cuma ada di layar lebar. Disney Hotstar selaku VOD pemegang lisensi seolah ingin memerah semesta Star Wars sampai titik penghabisan dengan membuat banyak sekali serial tentang dunia Star Wars dari tokoh-tokoh yang berbeda.

Buat orang luar yang baru mau mengeksplorasi semesta ini, pasti akan bingung mana film yang harus diprioritaskan untuk ditonton dan apa relasi tokoh-tokoh dalam serial-serial Star Wars dengan kisah versi orisinilnya.

Star Wars adalah contoh dari milked-out alias pemerahan film yang paling sering dibahas penggemar film. Salah satu penggemar berat Star Wars di YouTube pun bahkan membahas soal ini.

***

Enggak ada salahnya memang membuat proyek baru untuk memperkuat sebuah semesta waralaba film. Toh, para penonton juga punya hak buat memilih tontonan mana yang mereka sukai, mana yang enggak. Namun, fenomena milking alias pemerahan film ini bikin karya-karya legendaris yang harusnya memorable menjadi terasa kacangan dan membosankan.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.