Premis banal, cerita familier, harus bayar pula, bagaimana Layangan Putus justru merasuk ke market milenial bahkan Gen Z?
Bertahun-tahun, sinetron menjadi raja tontonan di Indonesia. Sebagai tayangan dengan konten fiktif, sinetron dianggap sebagai alternatif hiburan terbaik di layar kaca. Apalagi, enggak kayak film yang dulu hanya diakses di bioskop, sinetron bisa dinikmati di rumah dengan mudah.
Sebagian generasi milenial dan Z tentu paham bagaimana dominasi penayangan sinetron selepas adzan maghrib. Rasanya saat itu, televisi sudah pasti dikuasai ibu-ibu.
Dielu-elukan para penontonnya, bikin kualitas sinetron Indonesia terlena. Mereka tidak berinovasi, sehingga berakhir sebagai konten meme si generasi serba streaming. Padahal, generasi ini jadi penentu kelanjutan suatu tren. Tapi, mereka dibuat jengah dengan drama di luar nalar. Terlaru norak.
Sebenarnya kualitas mayoritas sinetron Indonesia sudah santer terdengar sedari dulu. Namun, dulu masyarakat belum memiliki banyak pilihan tontonan, sehingga mau enggak mau mereka “terpaksa” menerima tontonan yang bisa mereka akses.
Semenjak adanya smartphone dan platform Video on Demand (VOD), pilihan tontonan semakin beragam. Masyarakat enggak hanya terpaku pada apa yang disajikan di televisi saja. Mereka juga bisa mengakses tayangan dari negara lain atau tayangan-tayangan Indonesia dengan cerita yang lebih padat dan berkualitas.
Ya, keberadaan platform VOD ini mau enggak mau bikin sineas Indonesia gerah dan berkreasi lebih lewat film maupun series.
Keberadaan video on demand memberikan banyak kejutan yang dulu tak bisa kita temukan dalam “sinetron Indonesia pada umumnya”. Misalnya, ketika sang raja layar lebar, Reza Rahardian, tiba-tiba muncul dalam My Lecturer My Husband. Bagaimana bisa seorang Reza Rahardian main sinetron?
Kemudian, kejutan datang lagi dalam Imperfect The Series. Hadir sebagai spin-off dari film Imperfect, Imperfect the Series mengisahkan tentang empat anak kos di rumah ibu Dika –Neti, Maria, Endah, dan Prita- yang dalam film memberikan sentuhan humor.
Keberadaan serial ini membuktikan bahwa tokoh utama sinetron enggak harus tersakiti, enggak harus memiliki standar kecantikan, dan enggak harus hadir di tengah konflik tajam.
Yang lebih unik? Ada lagi! Judulnya Sianida yang lagi-lagi tayang di We TV. Sianida mengambil kisah perempuan yang saling menyukai dan konflik yang timbul akibat hal itu. Konflik LGBT sebenarnya sudah banyak difilmkan, sayangnya konflik ini enggak ramah televisi.
TV kesulitan dalam menayangkan sinetron atau FTV dengan konflik ini. Terlalu berisiko dikomplain, belum lagi harus bersinggungan dengan aturan sensor. Sandy dan Shizuka yang berbikini saja diblur. Sukses bikin netizen geleng-geleng kepala.
Bagai angin segar, Layangan Putus muncul mencuri perhatian. Bukan hanya bagi para penikmat sinetron, mereka yang mungkin skeptis pun tertarik. Padahal, konflik Layangan Putus soal perselingkuhan dan orang ketiga; dua topik khas sinetron yang dianggap receh.
Series Indonesia yang bahasa familiernya sinetron, terasa lain. Enggak ada gumaman yang ngomong sendiri dan terdengar jelas. Layangan Putus bukan hanya memikat market usia produktif di Indonesia, ia juga trending di Malaysia, Belanda, Singapura, Hong Kong, Australia, bahkan Amerika.
Nah, apa sih, yang membuat serial di platform VOD berbeda dengan sinetron Bagaimana pengaruh sistem rating terhadap karya-karya ini? Bahas lebih dalam di sini, yuk!
Penonton sudah rindu kualitas
Enggak berkualitas! Begitulah reaksi orang-orang setiap mendengar sinetron Indonesia. Sinetron TV terkenal berepisode panjang dengan tokoh-tokoh yang terasa kontrasnya. Si baik terlalu bodoh. Sementara itu, tokoh jahat kebangetan bengisnya. Kekacauan itu ditambah dengan adanya konflik klise seperti lupa ingatan, dokumen hilang, tes DNA tertukar, dan sebagainya.
Rasanya, sulit buat enggak kehilangan akal untuk menonton sinetron di TV zaman now!
Namun, jangan salah! Pada awal munculnya stasiun TV, Indonesia pernah punya beberapa sinetron yang berkualitas. Sinetron Indonesia yang disiarkan untuk pertama kalinya adalah Losmen (1980). Losmen berkisah tentang dinamika keluarga Pak Broto dan para penyewa. Jadi, kisahnya pun beragam di setiap episode. Oh ya, jangan bayangkan sinetron ini tayang setiap hari, ya! Satu episode ditayangkan sebulan sekali. Jadi, penonton pun sangat menanti-nanti kehadirannya.
Losmen kemudian diikuti dengan sinetron remaja bertajuk Aku Cinta Indonesia (ACI) pada tahun 1985 mengenai para remaja di SMP Kota Kita. Konfliknya enggak berlebihan. Bahkan, tokoh antagonisnya, Wati, memiliki kelakuan yang wajar layaknya anak SMP pada umumnya.
Setelahnya, ada sinetron bertajuk Keluarga Rahmat yang mulai menampilkan tokoh antagonis ngeselin: Bu Subangun. Bu Subangun adalah tetangga bermulut pedas dengan wajah judes.
Kemudian, pada tahun 1989, lahirlah RCTI, stasiun TV swasta pertama di Indonesia. Nah, sinetron pertama di RCTI yang berjudul Hati Seluas Samudra disiarkan pada tahun 1993. Inilah awal mula kisah yang mendayu-dayu dalam sinetron Indonesia. Hati Seluas Samudra bercerita tentang Robby (Jeremy Thomas) dan Rommy (Anjasmara), dua anak lelaki dari keluarga kaya yang doyan berfoya-foya. Namun, suatu hari, ayah mereka bangkrut dan mereka pun harus bekerja keras.
Walaupun kisahnya agak mendayu-dayu, tetapi episodenya cuma sampai 10. Kemudian, pada tahun 1994, muncul sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang legendaris. Sinetron ini menampilkan kehidupan masyarakat Betawi yang sederhana dan enggak dibuat-buat. Konfliknya pun enggak lebay.
Nah, era sinetron yang mendayu-dayu, tokoh antagonis kejam, plot yang mulai ngawur, dan tentu saja episode amat panjang bermula dari Tersanjung (1998). Sinetron ini bahkan udah beberapa kali mengganti tokoh Indah, sang tokoh utama. Perjalanan panjang ini baru berakhir pada tahun 2005!
Semenjak saat itu, terpantiklah ide sinetron dengan nafas panjang dan kualitas plot serta sinematografi yang asal-asalan. Bahkan, logika cerita pun enggak diperhatikan. Yang terpenting, adalah bagaimaba sinetron ini bisa terus mengundang banyak iklan.
Sinetron-sinetron bernapas panjang ini memang biasanya enggak akan dihentikan jika ratingnya enggak turun. Fenomena ini jelas menimbulkan perdebatan: “Siapa yang salah? Media atau masyarakat?”
Di satu sisi, banyak media yang mengklaim bahwa selera masyarakat, terutama akar rumput, memang seperti sinetron yang biasa kita temui di TV. Namun, di sisi lain, banyak juga yang membela penonton dan berkata bahwa mereka enggak memiliki pilihan selain melihat apa yang disajikan TV –hiburan utama di sekitar mereka.
Perdebatan ini seperti argumentasi antara mana yang lebih dahulu ada di dunia? Ayam atau telur? Enggak ada habisnya!
Padahal, sebetulnya enggak sulit membuat karya yang berkualitas. Nyatanya, perfilman Indonesia enggak selalu stagnan layaknya sinetron di TV Indonesia. Kendati kita pernah berada pada era “horor mesum” tahun 2010-an, tetapi kualitas film-film Indonesia selalu meningkat.
Sinetron pun, sebetulnya bisa dibuat berkualitas. Contohnya, dengan memperpadat episode, mengurangi konflik yang enggak believable, dan juga membuat cerita yang enggak melulu berfokus pada anak yang tertukar, perebutan harta, tes DNA tertukar, atau amnesia.
Nah, titik terang ini mulai ada ketika Internet menjadi sesuatu yang mudah diakses oleh masyarakat Indonesia. Perkembangan ponsel yang pesat membuat masyarakat Indonesia menjadi lebih mudah mengakses berbagai tayangan, termasuk tayangan dari luar negeri. Tayangan yang dulunya cuma bisa dinikmati di TV kabel, kini bisa dinikmati hanya dengan bermodal ponsel dan platform VOD.
Semakin banyak menonton, tentu selera juga jadi bergeser.
Berbayar, kenapa series di VOD bisa dilirik?
Platform VOD merupakan aplikasi yang berisi konten berupa film, serial, dan tayangan lain dari berbagai tempat. Bersama dengan platform live streaming, platform ini membuka pintu bagi siapa saja yang punya smartphone untuk mengakses tayangan dari berbagai negara.
Nah, banyak pegiat seni Indonesia yang kemudian masuk melalui kanal ini. Mengajukan konten ke kanal VOD lebih realistis ketimbang harus terus-menerus bersaing di bioskop. Selain itu, mereka juga bisa mendapatkan keuntungan yang lumayan dengan kerjasama ini.
Kerjasama antara pembuat konten dan platform VOD seperti Netflix ini berawal dari licensing agreement. Platform dapat menayangkan konten dalam kurun waktu tertentu, dengan jumlah episode tertentu, dengan pembagian hasil yang sudah disepakati sebelumnya.
Setiap film atau serial memiliki kurun waktu penayangan tertentu. Hal tersebut dipengaruhi negosiasi dan seberapa laris tayangan itu di sebuah platform. Nah, platform ini pun menjadi wadah bagi sineas untuk memperluas pasar. Soalnya konten yang ditayangkan dapat dinikmati oleh masyarakat di negara lain juga. Tentu saja, hal ini membuka peluang bagi pembuat film atau series untuk melebarkan sayap mereka.
Dengan biaya berlangganan mulai dari puluhan ribu rupiah saja per bulan, ada begitu banyak orang yang tertarik berlangganan konten di platform video on demand. Konten-konten series pun juga enggak sampai ratusan episode. Kalau pun episodenya banyak, biasanya dibagi per musim tayang.
Namun, memang ada sedikit perbedaan antara penikmat tayangan video on demand dan penikmat sinetron di TV. Mayoritas penikmat konten VOD berharap lebih dari konten VOD karena mereka berinisiatif untuk membayar biaya berlangganan. Sementara itu, penikmat sinetron cenderung lebih pasif dan seolah rela untuk “dikultivasi” oleh TV, selama apa yang ditayangkan enggak berat.
Tuti (bukan nama sebenarnya), adalah salah satu penikmat sinetron yang tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Usianya sudah mencapai kepala empat. Tetangga dan teman pengajiannya di kampung sangat menyukai sinetron seperti Cinta Amara dan Love Story.
“Seneng nonton sinetron, soalnya kadang-kadang ceritanya bikin sedih, kadang-kadang romantis banget. Anjasmara tambah ganteng, siapa yang nggak mau punya bapak dan suami kayak gitu? Udah kaya, baik lagi,” ujarnya kepada KINCIR.
Menurut Tuti, sinetron memberikan konflik yang menegangkan. Ia mencontohkan episode ketika ibu kandung Maudy (sinetron Love Story), mati-matian mencoba untuk membuktikan bahwa anaknya bukan anak dari Argadana, mantan suaminya. Ya, lagi-lagi tes DNA menjadi ide klise yang didaur ulang, tetapi masih disukai.
Hal tersebut berbeda dengan Dwi (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswi tingkat akhir. Ia mengaku berlangganan dua platform, Netflix dan WeTV. Netflix ia gunakan untuk menonton film dan drama Korea. Sementara itu, platform VOD WeTV ia gunakan untuk menonton Layangan Putus yang sedang hits.
“Layangan Putus itu memang tentang perselingkuhan, tapi enggak bertele-tele. Kinan itu menderita, tapi masih punya power. Konfliknya ada di tengah kehidupan kita. Lagipula, yang main aktor papan atas. Saya senang menonton Netflix dan WeTV karena banyak pilihan konten seru dan bermanfaat,” katanya.
Dwi kemudian mengeluhkan bahwa makin ke sini, sinetron TV Indonesia semakin ngawur saja. Ia begitu jengah melihat sang ibu ketagihan sinetron dari pagi hingga malam, tetapi dengan cerita yang itu-itu saja. Pemilihan aktor pun dianggap hanya mementingkan fisik semata.
“Soal sensor, aku kurang setuju, ya. Suka menyensor yang enggak penting. Tapi, urusan kekerasan, bahkan pada anak, yang biasa ada di sinetron, enggak pernah disensor, tuh!,” ungkapnya.
Bagi Dwi, sensor memang dibutuhkan, tetapi bukan berarti harus mengekang. Ia setuju bahwa ada banyak konten Netflix yang vulgar. Namun, pengguna bisa mengatasinya dengan melihat rating usia dan keterangan isi konten di bagian kiri atas. Ada pula fitur Kids yang membuat orang tua bisa mengontrol tontonan anak.
“Kalau channel biasa, mana bisa. Ibu bapaknya nonton Ikatan Cinta, anaknya juga,” pungkasnya.
Sistem rating dan iklan: antara TV dan gawai
Ada perbedaan sumber pendapatan antara sinetron di TV dan sinetron Indonesia di platform VOD. Pendapatan platform video on demand bergantung pada pembagian royalti yang ditetapkan oleh platform tersebut. Semakin banyak penonton, semakin banyak royalti yang didapatkan.
Sebetulnya, hal tersebut juga berlaku pada televisi. Semakin tinggi rating, maka semakin banyak pula iklan yang dipanen oleh stasiun TV dan rumah produksi. Namun, cara untuk mendeteksi tinggi rendahnya penonton memang berbeda pada platform VOD dan TV.
Bagaimana cara mengukur rating TV? Nielsen, salah satu lembaga rating terbesar di Indonesia, menggunakan panel yang dipasang di televisi sekitar 2.300 keluarga. Sebetulnya, jumlah ini kurang banyak dibandingkan panel yang dipasang di Australia. Padahal, pengguna TV di Australia tidak sebanyak di Indonesia.
Namun, menurut pihak Nielsen, jumlah itu sudah cukup mewakili demografi Indonesia. Selain itu, keterbatasan dari segi bujet pun menjadi alasan mengapa panel pengumpul data rating di Indonesia jumlahnya terbatas.
Nah, dari representasi demografi itu, diambil data tayangan yang kerap diakses. Kemudian, tayangan dengan rating tertinggi akan menarik banyak iklan karena dianggap memiliki banyak penonton. Menurut Nielsen, pengambilan sampelnya sudah cukup mewakili demografi Indonesia. Cakupan wilayahnya pun sudah disesuaikan.
Dibandingkan dengan data dari VOD, data televisi tentu lebih enggak sahih. Data dari VOD sendiri diambil dari penggunaan per gawai, sehingga bisa lebih mudah untuk ditelusuri dan disimpulkan, minim sampling error.
Selain itu, dengan adanya platform video on demand, otomatis pasar penikmat TV pun berubah. Rating kelompok masyarakat kelas A dari sebuah acara TV, misalnya, yang tadinya diisi oleh orang-orang menengah ke atas dengan level pendidikan tertentu, kini bisa berubah, bahkan menurun.
Bagaimana Layangan Putus jadi penantang gahar sinetron Indonesia
“Layangan Putus itu viral pasti cuma karena ada isu pelakornya, deh!”
Pendapat ini banyak berseliweran di media sosial dan sebetulnya enggak salah. Masyarakat Indonesia memang tertarik banget sama isu perselingkuhan, terutama jika itu dilakukan oleh pihak cowok yang sudah menikah.
Bahkan, setiap kali timbul video viral tentang perselingkuhan, warganet langsung berbondong-bondong melabrak suami yang berselingkuh dan perempuan idaman lain sebagai bentuk solidaritas terhadap istri sah.
Layangan Putus bukan sinetron pertama tentang perselingkuhan. Sebelumnya, di televisi, sudah ada sinetron tentang tema perselingkuhan seperti Orang Ketiga yang dibintangi oleh Marshanda, Rionaldo Stockhorst, dan Naysilla Mirdad.
Namun, Layangan Putus membawa perselingkuhan menjadi isu yang realistis dan menyentil, bukan sekadar drama-dramaan enggak jelas. Hal ini berbeda dengan Orang Ketiga yang masih dibumbui drama njelimet, tokoh utama yang karakternya kurang berkembang, sampai dengan adanya “insiden lupa ingatan”.
Orang Ketiga, hampir saja menjadi series yang berkualitas dan berbeda dari sinetron pada umumnya. Sayangnya, seiring dengan berjalannya waktu (dan meningkatnya rating), penyakit lama sinetron kembali merasukinya. Ceritanya jadi di luar nalar.
Diambil dari kisah nyata karya Momny ASF tentang rumah tangganya di Facebook, Layangan Putus menceritakan kisah Kinan, seorang dokter yang kini menjadi ibu rumah tangga penuh waktu demi mengurus sang anak. Suaminya, Aris, adalah eksekutif muda yang tampan. Namun, seolah ketenangan hidup ini enggak cukup buat Aris. Aris malah selingkuh dengan Lidya di saat istrinya hamil besar.
Tokoh Kinan bukan tokoh yang sepenuhnya menerima rasa sakitnya. Kinan adalah wanita cerdas dengan support system baik yang bahkan punya trik untuk menjebak suaminya.
Perselingkuhan Aris pun adalah sesuatu yang seolah menyentil kenyataan. Di dunia nyata, banyak banget laki-laki kayak Aris yang justru bosan dengan kesempurnaan. Mereka merasa bahwa mereka “menang” sebagai pencari nafkah tunggal, sehingga merasa bahwa mereka berhak selingkuh. Bagaimana dengan Lidya? Lidya adalah tipikal selingkuhan pada umumnya, yang karena nafsu, akhirnya mencoba untuk “pura-pura bodoh”
Senjata Layangan Putus justru bukan pada premisnya. Premis ini jadi berkualitas karena diterjemahkan dengan begitu dekat dengan realita.
Begitu mudahnya bagi Kinan menemukan fakta bahwa Aris berselingkuh, tanpa harus melalui berbagai macam drama yang aneh, seperti hilang ingatan, tersesat, ditipu orang, dan sebagainya. Semua berjalan dengan alamiah dan dapat diterjemahkan dengan mudah oleh nalar kita.
Penokohannya pun patut diacungi jempol. Aris dan Lidya memang jahat, tetapi kejahatannya enggak ngadi-ngadi. Aris jahat, tetapi kita masih bisa menemukan alasan kejahatannya itu. Hampir semua cowok yang berselingkuh akan berkilah seperti Aris.
Bagaimana dengan Lidya? Lidya enggak digambarkan sebagai sosok antagonis yang pengin meracuni tokoh utama bahkan menculik anaknya. Lidya, layaknya selingkuhan pada umumnya, (mungkin) merasa bersalah, tetapi menyimpan perasaan itu sehingga dia cuma bisa menjadi masa bodoh. Tentu, ini berbeda dengan “tokoh pelakor lain dalam sinetron” seperti Mischa dalam Cinta Fitri, misalnya.
Dari aspek sinematografi, Layangan Putus juga digarap dengan niat. Pencahayaan di rumah Aris-Kinan, misalnya, sangat sesuai dengan vibe rumah milenial menengah atas zaman now di Jakarta yang mengusung konsep minimalis-modern.
Kerennya pencahayaan ini juga terlihat saat Aris dan Lidya berciuman di mobil. Cahaya meredup, seolah melambangkan kalau cinta mereka itu cuma bisa dilakukan “di dalam gelap”. Ini tentu berbeda dengan pencahayaan yang digunakan dalam sinetron yang kadang asal-asalan, terlalu cerah di semua adegan.
Pemilihan karakter, wardrobe, latar tempat, dan juga sinematografi Layangan Putus memang bisa masuk ke dalam kehidupan orang normal. Makanya, enggak mengherankan kalau sinetron ini bisa ditonton oleh orang-orang dengan pendidikan yang cukup tinggi dan di kalangan menengah ke atas.
Tentunya, keberadaan Layangan Putus membuktikan bahwa, topik sereceh apa pun, kalau digarap dengan serius, juga bisa menjadi sinetron yang disukai berbagai kalangan dan juga dianggap berkualitas.
Pertanyaannya, kapan sinetron di TV Indonesia akan menyusul dengan kualitas serupa, bahkan lebih? Atau mungkin apakah memang lebih menguntungkan membuat cerita ratusan episode yang enggak nalar, daripada sebuah series padat dengan beberapa episode?