Membicarakan tentang film horor, pikiran kita pasti akan selalu beralih pada hal yang supranatural alias parade hantu-hantu. Formula ini memang nyatanya selalu sukses digunakan oleh banyak film, salah satunya Pengabdi Setan 2: Communion yang bertabur jumpscare hantu dan bikin jantung hampir copot.
Namun, banyak film horor yang ternyata enggak menggunakan formula hantu sama sekali, lho! Keberadaan hantu hanyalah ilusi atau bahkan, kengerian bersumber dari manusia itu sendiri!
Apa saja film horor yang berhasil menyajikan teror sempurna tanpa keberadaan hantu sama sekali? Rasakan ketakutan menguasaimu saat nonton film-film ini.
Peringatan! Resensi ini mengandung spoiler yang bisa saja bikin kamu enggak nyaman sebelum menonton.
Flatliners (2017)
Merupakan remake dari film tahun 1990, Flatliners versi 2017 masih bercerita tentang para mahasiswa kedokteran yang melakukan percobaan afterlife. Mereka “bunuh diri” untuk kemudian dibangunkan beberapa detik kemudian.
Eksperimen itu memang awalnya enggak mengancam mereka. Namun, lama-kelamaan, mereka mulai melihat penampakan sebagai efek samping dari percobaan tersebut. Awalnya, mereka berpikir bahwa hal itu mungkin saja terjadi akibat kenekatan mereka menyentuh afterlife.
Apa yang mereka lihat –seperti Courtney, salah satu tokoh– yang bertemu arwah almarhumah adik, sebetulnya enggak beneran nyata. Semua bayangan horor itu terjadi karena percobaan itu sedikit merusak otak mereka. Mereka pun jadi berhalusinasi, kebanyakan adalah halusinasi akibat rasa bersalah di masa lalu.
Flatliners (2017) berpotensi menjadi film horor yang lebih menjanjikan daripada versi 1990. Apalagi, teknologi film sudah semakin canggih. Sayangnya, justru ratingnya lebih rendah karena plot yang kurang kuat dan efek horor yang kentang.
Modus Anomali (2012)
Joko Anwar memang rajanya horor Indonesia yang bikin trauma. Salah satu filmnya yang cukup menegangkan adalah Modus Anomali.
Kisah dibuka dengan seorang pria bernama John Evans yang terbangun kemudian ketakutan karena dikejar-kejar oleh sesuatu di sebuah hutan. Entah psikopat, arwah, atau dua-duanya? Ia diduga sedang mencari anak-anak dan istrinya yang hilang. Teka-teki semakin membingungkan dengan petunjuk dari telepon serta video-video yang ditonton sang pria.
Awalnya kita mengira bahwa sang pria lupa ingatan karena dikubur hidup-hidup oleh sang psikopat. Kita juga akan merasa kasihan dengan pria itu lantaran istrinya telah meninggal dunia. Namun, jangan percaya dengan apa yang kamu lihat, karena menjelang akhir, tabir terungkap dengan lebih jelas.
John Evans ini, bukanlah korban. Ia adalah psikopat yang bersenang-senang dengan membuat dirinya tersakiti. Ia membuat dirinya lupa ingatan, kemudian merasakan sensasi dikejar-kejar hingga membunuh anggota keluarga orang lain yang tersisa di hutan. Baginya, pembunuhan ini adalam permainan belaka. Permainan yang ia lakukan di tengah waktu senggang saat anak dan istrinya ke luar kota.
Orphan (2009)
Sepasang suami istri yang bersedih usai keguguran anak ketiga mereka, memutuskan untuk mengadopsi seorang anak berdarah Rusia dari sebuah panti asuhan bernama Esther. Sejak awal, anak ini terlihat aneh, bahkan seolah-olah lebih tua dari usia yang seharusnya, sembilan tahun. Anak pertama mereka sendiri enggak suka sama Esther.
Makin lama, perilaku Esther semakin mengganggu dan janggal. Apalagi, suster dari panti asuhan tempat Esther bernaung sebelumnya mengatakan bahwa setiap kali Esther diadopsi, akan selalu ada kejanggalan dan kesialan yang menimpa sang keluarga. Ternyata, perkataan Suster Abigail itu benar adanya. Sayang, Suster Abigail harus mengalami kecelakaan yang disebabkan oleh Esther.
Menjelang akhir film, terbuka kenyataan bahwa Esther sebetulnya adalah orang dewasa. Ia mengalami pertumbuhan terbalik –layaknya Benjamin Button (The Curious Case of Benjamin Button), dan selama ini berpura-pura menjadi anak kecil yang awalnya terlihat lugu. Ya, enggak ada hantu di dalam film ini. Esther pun bukan anak perempuan yang kerasukan. Ia memang sakit jiwa dan hal itu mungkin salah satunya disebabkan karena perbedaan pertumbuhannya dengan orang lain.
The VIsit (2015)
Found footage alias rekaman dengan video amatir sering dipakai untuk menciptakan kengerian yang lebih nyata dalam sebuah film horor. Selain dalam Keramat (2009) dan As Above So Below (2014), konsep tersebut dipakai dalam film The Visit.
The Visit bercerita tentang dua orang remaja yang pergi ke rumah kakek dan nenek mereka setelah bertengkar dengan sang ibu. Sebelumnya, sang ibu sudah enggak berkomunikasi lagi dengan kakek dan nenek karena bertengkar akibat pernikahannya enggak direstui.
Awalnya, terasa menyenangkan berada di rumah kakek dan nenek. Namun, enggak lama, mereka merasakan kejanggalan. Ada banyak perilaku aneh dari kakek dan nenek mereka.
Usut punya usut, ternyata, kakek nenek mereka yang betulan sudah meninggal dibunuh oleh dua psikopat yang kabur dari penjara. Dua psikopat ini adalah orang yang menyamar menjadi kakek dan nenek mereka.
Bagaimana dua remaja itu berusaha untuk bertahan hidup dari dua lansia yang gila dan creepy adalah daya tarik utama dari film ini. Raut wajah aneh dari kakek dan nenek palsu ini juga sukses meneror penonton. “Liburan di rumah kakek-nenek” yang semestinya menyenangkan berubah menjadi malapetaka, memberikan trauma pada penonton.
Pintu Terlarang (2009)
Joko Anwar memang jagonya saat membuat film horor psikologis dengan ide-ide gila. Salah satu yang pernah ia buat adalah Pintu Terlarang.
Dari awal, Pintu Terlarang memang sudah memberikan nuansa yang enggak nyaman lewat tone warna gelap dan ide bahwa istri Gambir, seorang pematung, kerap mengaborsi anaknya dan menaruhnya di dalam patung-patung Gambir.
Film semakin membawa kita pada ketidaknyamanan saat Gambir menemukan bahwa sang istri berselingkuh. Kemudian, kita semakin dibuat bingung dengan adanya wartawan, anak yang disiksa orang tuanya, dan masih banyak lagi.
Apa yang terjadi? Apakah ada keberadaan hantu atau psikopat di sini? Kita pun dibuat bertanya-tanya.
Jawabannya pun baru muncul di akhir cerita. Bahwa semua hal yang kita tonton hanyalah imajinasi Gambir. Gambir, adalah anak yang disiksa orang tuanya, membunuh keduanya, kemudian masuk ke rumah sakit jiwa.
Kendati tanpa hantu, film ini sangat cukup bikin kita bingung, stress, sekaligus ketakutan.
We are What We Are (2013)
Manusia kadang bisa lebih sadis daripada hantu, dan hal itu ditunjukkan dengan jelas di dalam film We are What We Are. Seorang keluarga terhormat, yang menyediakan area parkir luas untuk orang-orang yang tinggal di van, baru saja berduka karena sang ibu, Emma, meninggal dunia.
Saat autopsi, sang dokter menemukan kejanggalan pada otak sang ibu. Hal itu mengantarkan sang dokter pada kecurigaan lain terhadap keluarga tersebut. Apalagi, sebuah badai membuatnya menemukan tulang-tulang manusia.
Rupanya keluarga terhormat tersebut mempraktikkan kanibalisme secara turun-temurun. Kanibalisme itu dilakukan dengan cara menculik dan membunuh perempuan-perempuan muda dan menyantapnya saat Thanksgiving.
Kendati budaya tersebut sudah berlangsung lama, tetapi anak-anak dari keluarga itu sebetulnya ingin hidup normal. Inilah konflik penting dalam film selain tentang bagaimana sang dokter harus mengungkap kasus kanibalisme tersebut.
Akhir film ini bisa dibilang sangat gore serta menimbulkan tanda tanya. Enggak nyaman, dan bikin kita parno sama tetangga sendiri.
Enggak harus selalu ada hantu untuk membuat sajian film horor terasa mengerikan. Karena, senjata utama film horor ada pada bagaimana alur dan karakter mampu membuat penonton terlepas dari zona nyaman mereka, dan merasa paranoid.