2016 kayaknya jadi tahunnya film-film horor dan thriller. Gimana enggak, tahun ini ada The Conjuring 2, Lights Out, The Boy, The Other Side of The Door, bahkan Ouija 2 dan Rings yang rencananya juga bakal tayang tahun ini. Yang enggak boleh lo lewatkan, adalah sekuel langsung The Blair Witch Project yang sudah tayang Oktober ini, yaitu Blair Witch.
Buat menyegarkan ingatan lo, The Blair Witch Project adalah film yang menggunakan found footage psychological horror movie. Film ini mengisahkan 3 orang mahasiswa yang membuat film tentang The Blair Witch di Black Hills. Ketiga mahasiswa tersebut menghilang di sebuah hutan dan jasad mereka enggak pernah ditemukan. Sementara itu, video dan peralatan mereka ditemukan setahun kemudian dan video itulah yang menjadi film The Blair Witch Project.
The Blair Witch Project adalah film indie yang paling sukses dan jadi box office setelah meraih pendapatan mencapai US$248juta (sekitar Rp3triliun). Padahal, film ini cuma menghabiskan modal sekitar US$500ribu (setara dengan Rp6,5miliar). Kesuksesan film ini memang enggak terduga. Tapi, promosinya memang unik dan meyakinkan banget. Bahkan, banyak orang yang mengira kalo aktornya beneran hilang dan beneran ada legenda tersebut di Maryland. Wajar, sih, soalnya sutradaranya sendiri yang niat banget sampai bikin film dokumenter tentang legenda ini plus bikin website yang isinya keterangan tentang peristiwa Blair Witch dan informasi mengenai ketiga mahasiswa yang hilang. Ditambah lagi, ketiga aktornya memakai nama sendiri di film ini. Jadi terasa nyata banget, kan?
Sayangnya, kesuksesan di film pertama enggak diikuti dengan kesuksesan di film kedua. Di film kedua, Blair Witch 2: Book of Shadows, banyak yang enggak puas sama proyek tersebut. Nah, setelah kegagalan tersebut, sang sutradara pun mencoba peruntungan lagi dalam film ketiga, Blair Witch yang merupakan sekuel langsung dari film pertama. Film ini mengambil latar 20 tahun setelah peristiwa di The Blair Witch Project. James Donahue menemukan sebuah video di YouTube yang merupakan salah satu video milik ketiga orang yang hilang 20 tahun lalu. Dia percaya bahwa si pemegang kamera di video itu adalah kakaknya, Heather Donahue, yang menurutnya mungkin masih hidup dan ada di hutan Black Hills.
Bersama Lisa Arlington, seorang mahasiswa film yang mau membuat tugas akhir, James pergi ke Maryland untuk mencari kakaknya yang hilang. James juga ditemani oleh Peter Jones dan Ashley Bennett. Sebelum pergi ke hutan, mereka memutuskan untuk bertemu sama si pengunggah video kakaknya di Youtube. Mereka adalah dua orang penduduk lokal, Lane dan Talia. Setelah Lane dan Talia meminta untuk ikut bersama mereka ke hutan, akhirnya mereka berenam pergi ke hutan itu untuk mencari Heather. Lokasi pertama adalah tempat Lane dan Talia menemukan video tersebut.
Blair Witch masih menggunakan metode pengambilan gambar yang sama kayak The Blair Witch Project. Jadi, sepanjang film lo bakal merasa jadi para aktor yang ngelihat dan ngerasain langsung kejadian di film itu. FYI, di film pertama, banyak penonton yang mengeluh pusing dan mual setelah menonton filmnya karena kamera yang goyang banget. Nah, di Blair Witch ini dijamin lo enggak bakal ngerasain hal yang sama karena kameranya udah canggih. Gambarnya jernih, apalagi Lisa juga membawa drone yang dilengkapi GPS untuk memantau area di hutan.
Selain peralatan film yang lebih canggih dari film pertamanya, Blair Witch sebetulnya mencoba mengulang kengerian The Blair Witch Project. Seperti yang udah Viki bilang sebelumnya, film pertama menyorot tiga mahasiswa film yang mau mendokumentasikan legenda Blair Witch. Film ketiga ini juga menggunakan mahasiswa film, Lisa, sebagai salah satu tokohnya, yang bikin metode found footage jadi masuk akal. Biarpun sebetulnya James Donahue adalah tokoh utamanya yang bikin mereka pergi ke hutan di Maryland itu, keberadaan Lisa bikin film ini jadi sama mencekamnya dengan film pertamanya.
Tegang. Itu yang Viki rasakan selama nonton film ini dari tengah sampai selesai. Film ini berdurasi 89 menit (enggak sampai satu setengah jam), tetapi ketegangannya lumayan membekas setelah nonton. Sepertinya, ketegangan dari empat tokoh secara bergantian bikin film ini cukup memuaskan. Lo enggak bakal dibiarkan menghela napas sampai selesai.
Kenyataan kalo film pertama adalah kesuksesan yang enggak terduga memang enggak bisa diabaikan. Daniel Myrick dan Eduardo Sanchez benar-benar berjuang keras supaya The Blair Witch Project terlihat nyata. Wawancara dengan warga lokal, pertemuan dengan narasumber, pencarian bukti, dan film dokumenter yang disiapkan sebelumnya adalah bukti bahwa mereka memang niat. Ditambah lagi para aktornya sebenarnya sama sekali enggak tau apa yang bakal terjadi sama mereka. Mereka cuma dikasih petunjuk setiap harinya dan diarahkan ke tempat pengambilan gambar menggunakan GPS. Proses pengambilan gambar selama 19 jam yang dipotong jadi 90 menit bahkan bikin The Blair Witch Project terasa sangat nyata.
Sementara itu, Blair Witch diawali dengan alasan yang enggak memuaskan dari James yang kebetulan adalah adik salah satu mahasiswa yang menghilang di Black Hills, Heather Donahue. Setelah 20 tahun berlalu, video yang dia percaya adalah milik Heather diunggah ke YouTube oleh Lane dan Talia. Video itu bikin dia percaya bahwa Heather mungkin masih hidup. Teman-temannya pun enggak bisa bilang apa-apa selain ikut ke hutan di Maryland itu untuk membantu James menemukan Heather.
Karena berawal dari sesuatu yang enggak begitu kuat, Blair Witch jadi semacam sekuel yang “meniru” film pertama dengan sentuhan modern dan keterlibatan lebih banyak tokoh. Banyaknya tokoh memang bikin ketegangan di film jadi lebih intens. Khususnya, di pertengahan film sampai detik terakhir. Tapi, pada akhirnya, film ini enggak bisa sepenuhnya meniru film pertamanya yang ketegangannya dibangun sejak awal. Di Blair Witch, dari awal sampai pertengahan film, semua terasa datar layaknya film dokumenter biasa.
Yang paling mengganggu dari film ini adalah suara-suara di hutan. Viki enggak tau suara apa aja yang Viki dengar sepanjang film karena terlalu berisik dan terlalu aneh kalo dilihat dari suasa hutan sesepi itu. Tapi, para tokohnya terlalu rasional untuk menerima bahwa suara itu aneh dan terdengar kayak ada di telinga mereka sendiri. Rasionalitas mereka juga cukup mengganggu dan selalu bikin para tokoh di film horor terlihat bodoh.
Terakhir, misteri yang coba ditanamkan di film pertama bisa Viki bilang sepenuhnya dikacaukan di film ini. The Blair Witch Project sukses karena bisa menghadirkan kengerian saat enggak ada apa-apa. Enggak ada yang tau apa yang terjadi, enggak ada yang tau sosok Blair Witch yang diduga adalah Elly Kedward, dan enggak ada yang pernah melihat sosoknya juga. Saat film horor dibikin cuma untuk menampilkan “hantu”-nya, yang terjadi adalah penonton kaget, bukan takut. Tegang memang, tapi enggak takut. Itu yang Viki rasakan saat nonton Blair Witch.
Tapi, terlepas dari itu semua, film ini cukup menguji mental dan bikin Viki jadi pengen kemah di hutan (Loh? Ini, sih, enggak ada hubungannya). Film ini adalah pelajaran bahwa jangan pernah meremehkan legenda setempat. Legenda, biarpun kedengarannya mustahil, adalah hasil pengalaman warga setempat yang mungkin berlatar dari kejadian yang benar-benar nyata. Semacam di Indonesia, kalo dibilang jangan pakai baju hijau di Pantai Selatan biar enggak dibawa sama Nyi Roro Kidul, ya sebisa mungkin hindari aja, biarpun sebetulnya lo enggak percaya. Jangan malah nantangin.
Buat lo yang mau modus sama gebetan di bioskop, film ini bisa jadi film yang tepat. Viki jamin gebetan lo yang penakut bakal bersandar di lengan lo sampai filmnya selesai. Tapi, kalo gebetan lo adalah pecinta film horor; alih-alih takut, gebetan lo bakal skeptis. :p