Dominasi laki-laki dalam industri gaming dan esports kayaknya sudah tidak relevan. Pasalnya, data tahun 2020 dari Niko Partners dan Google mengungkap bahwa gamer perempuan mengambil bagian 41% dari keseluruhan gamer di Amerika Serikat. Sementara itu di Asia, gamer perempuan mencapai 40-45%, dan keberadaan mereka terus bertambah.
Semakin banyaknya populasi gamer perempuan di dunia game bikin banyak penelitian mencuat; salah satunya menyoal motivasi di balik perempuan main game. Laman Forbes Prancis menulis kalau selain pelarian, gamer perempuan mencari kompetisi atau menantang diri mereka sendiri; sedangkan laki-laki melihat permainan untuk mengatasi stres dan untuk mencapai kesuksesan melalui kompetisi.
Sebuah penelitian terhadap gamer Taiwan mengungkapkan bahwa perempuan bermain untuk pencapaian dan alasan sosial, sementara laki-laki bermain untuk mengisi waktu. Berbeda dengan Amerika, tampaknya gamer perempuan bermain untuk pencapaian dan alasan sosial, untuk terlibat secara sosial, dan mempertahankan hubungan.
Tanpa disadari, kita harus siap bahwa perempuan sedang menuju setengah populasi pemain game di dunia. Masalahnya, apakah platform, komunitas, dan game yang ada sudah cukup terstruktur untuk melayani segmen konsumen perempuan ini?
Sebagai ranah yang pernah didominasi laki-laki, para game developer punya cara sendiri untuk menghibur mata gamer laki-laki. Namun, mereka kini harus mengatur strategi ulang pasar perempuan yang potensial. Karena mungkin saja, formula memanjakan mata laki-laki bisa jadi bikin risih pasar perempuan.
Di sisi lain itu, tak hanya menyoal para perempuan yang menuntut kesetaraan. Ada pula perempuan yang memanfaatkan game untuk menggaet mata laki-laki. Berpakaian seronok dan melakukan hal di luar nalar bisa jadi pilihan konten yang meraup keuntungan besar. Sementara dari kacamata platform, mereka harus menjawab segala kebutuhan; baik dari sisi gamer, developer, dan penikmatnya.
Kali ini KINCIR membahas lebih dalam soal gelombang gamer perempuan; menyoal bagaimana mereka memanfaatkan platform demi eksistensi dan cuan. Suka atau tidak, setiap gamer perempuan punya cara uniknya untuk merebut pasar. Sudah siap?
Cara pengembang game puaskan mata laki-laki
Menjadi industri yang awalnya didominasi laki-laki, tentu membuat developer game punya cara sendiri untuk memanjakan mata kaum adam. Banyak pengembang game yang menampilkan laki-laki sebagai karakter utama dalam game.
Penelitian dari University of Michigan mengatakan jika representasi karakter protagonis perempuan dalam game keluaran Nintendo dan Sega hanya mencapai 15% saja dan sisanya merupakan karakter protagonis laki-laki. Justru representasi ini jadi lebih jomplang di industri game.
Objektifikasi karakter perempuan dalam game kerap terjadi, paling sederhananya adalah penampilan dan pakaian mereka. Misalnya karakter Ivy dalam game Soul Calibur 6, yang pakaiannya jauh melenceng dari konsep seorang petarung.
Contoh lainnya dapat kita temukan dalam game Dead or Alive 6, yang memiliki mekanisme dalam menjadikan pakaian dari karakter perempuan sebagai barang unlockable. Sesuai dengan dugaan, semakin seksi pakaian yang mereka gunakan, maka semakin besar pula mata uang in-game yang harus kamu habiskan untuk mendapatkan pakaian tersebut.
Ada supply ada demand. Developer tentu punya alasan khusus dalam mendesain karakter atau pakaian perempuan dalam game-nya. Selama ada permintaan dari penggemar, pengembang game tentunya tidak perlu berpikir dua kali. Meraup keuntungan dengan memanfaatkan para penggemar game yang haus akan konten tersebut tentu mempermudah jalan mereka.
Tidak hanya soal objektifikasi, kadang kita menemukan kalau karakter perempuan cenderung dianggap sebagai seorang kekasih dari karakter protagonis laki-laki. Mereka dibuat polos dan perlu diselamatkan oleh karakter laki-laki.
Beda lagi dengan salah satu waralaba game terpopuler keluaran Rockstar Games, yaitu Grand Theft Auto. Dalam game yang kerap berisikan konten-konten dewasa, mulai dari kriminalitas, kesadisan, hingga konten seksual ini representasi perempuan kerap kali dipandang sebelah mata.
Sadar jika kebanyakan penggemar game GTA adalah laki-laki, karakter perempuan yang terdapat dalam game tersebut terbilang hanya sebatas pemanis saja. Kebanyakan dari mereka berperan sebagai karakter sampingan, atau kekasih dari sang pemeran utama.
Misalnya saja karakter Angela De Santa, yang merupakan istri dari Michael De Santa. Perannya dalam game GTA V hanya sebatas istri yang selingkuh pada awal game. Setelah itu ia tidak memiliki peran berarti dan seolah menghilang di balik kisah seru yang Michael lalui.
Saking kentalnya objektifikasi perempuan di GTA,tersedia fitur untuk bisa menyewa perempuan sebagai pekerja seks komersial. Bahkan tampilan mereka dibuat sangat seksi, dengan dialog-dialog yang sangat menggoda serta adegan seksual yang cukup frontal.
Bila melihat dari kacamata gamer perempuan, kayaknya ini treatment ini jadi kurang menarik; bisa jadi menyudutkan. Amouranth misalnya, walau kerap tampil terbuka dalam live streaming, ia justru jengah dengan adegan seksual yang menyudutkan perempuan dalam game.
“Ini sangat ironi ketika banyak orang punya isu dengan perempuan nyata yang memegang teguh seksualitasnya ketika semua video game yang dimainkan remaja atau orang dewasa di Twitch menampilkan adegan seksual terang-terangan. Dead or Alive, ada dua perempuan saling beradu bokong dengan bikini, itu enggak apa-apa. Stripper di GTA itu enggak apa-apa. Hanya perempuan nyata yang enggak bisa menampilkan seksualitasnya. Sementara laki-laki bisa membuât karakter perempuan sedemikian rupa dalam video game dan itu masih bisa diterima,” jelas Amouranth dalam sebuah interview.
Ketika gelombang gamer perempuan melonjak, pengembang game mau tidak mau mengubah strategi mereka. Mereka harus menciptakan sebuah ekosistem yang juga nyaman bagi para gamer perempuan. Belakangan, kehadiran sosok perempuan mandiri sebagai pahlawan utama pun bermunculan.
Contohnyai game Horizon Zero Dawn dan sekuelnya yang berjudul Horizon Forbidden West. Guerilla Games menggambarkan sosok Aloy, sebagai sosok yang mandiri dan badass, yang tentunya menjadi angin segar bagi industri video game.
Pujian terus membanjiri karakter yang menjadi protagonis utama dalam kedua game tersebut. James Daly, salah seorang jurnalis game dari situs gamingbible.co.uk menilai jika Aloy adalah karakter terbaik yang pernah Playstation Interactives Studio telurkan.
Ceritanya berbeda karena Aloy mampu punya kombinasi sifat intelektual dengan rasa kasih sayang yang sudah menjadi naluri alamiah seorang perempuan.
Contoh lainnya juga dapat kita temukan dalam sosok Ellie, yang menjadi karakter utama dari salah satu franchise game terbaik dunia yakni The Last of Us. Dalam game tersebut kita dapat melihat bagaimana sosok Ellie berkembang dari seorang remaja, menjadi sosok perempuan dewasa yang mandiri dalam The Last of Us Part II.
Berbagai konflik yang harus Ellie lalui dalam dua game tersebut membuat kita sangat merasakan perkembangan karakter dari perempuan yang satu ini. Hal tersebut juga bikin Ellie menjadi karakter yang sangat bersinar, lebih dari pemanis.
Setiap pengembang game tentunya memiliki pertimbangan masing-masing dalam membentuk karakter perempuan mereka. Kita tidak bisa menyalahkan pengembang game yang hanya menuruti permintaan pasar dengan mengobjektivikasi perempuan, mengingat mereka merupakan sebuah perusahaan yang tentunya harus meraih pendapatan.
Namun Guerilla Games maupun Naughty Dogs sudah memberikan bukti nyata jika karakter protagonis wanita tetap mampu meng-carry sebuah game yang tidak hanya sukses secara komersial tapi juga sukses dari segi kritik.