Overwatch merupakan salah satu game andalan dari Activision Blizzard. Game tersebut mampu menarik minat banyak orang, sehingga tidak heran jika Activision Blizzard ingin terus mengembangkan skena kompetitif game tersebut.
Salah satu caranya adalah dengan menggelar Overwatch League (OWL) yang pertama kali dihelat pada 2018. Sistem yang mereka anut juga mengadopsi sistem liga franchise yang ada di olahraga Amerika Serikat seperti NFL dan NBA.
Hanya bertahan selama kurang lebih lima tahun, Activision Blizzard akhirnya memutuskan buat menutup OWL pada Rabu (8/11) pekan lalu. Kira-kira apa yang menjadi penyebab di balik gagalnya OWL? Yuk, simak artikel KINCIR berikut ini!
Alasan di balik bubarnya Overwatch League
Biaya pendaftaran yang sangat mahal
Sistem kompetisi yang menganut franchise league memang menjadi sebuah pisau bermata dua. Apabila liganya bisa membawa keuntungan dalam jumlah, maka tim-tim yang berlaga tentunya bisa ikut kecipratan untungnya. Namun jika tidak berjalan sesuai rencana, tim-tim tersebut terbilang rugi lantaran harus menyetor uang dalam jumlah besar buat bisa ikut berlaga.
Pada edisi pertamanya yang bergulir tahun 2018, 12 tim esports yang menjadi “founding fathers” harus membayar USD 20 juta. Setahun berselang, delapan tim baru diwajibkan menyetor uang hingga USD 35 juta sebagai syarat untuk mengikuti OWL.
Biaya pendaftaran tersebut terbilang sangat tinggi buat ukuran game esports. Jika kita bandingkan dengan turnamen League of Legends di Korea Selatan, turnamen LCK hanya meminta tim buat membayar kurang lebih USD 8,34 juta. Padahal League of Legends terbilang game yang sudah jauh lebih stabil ketimbang Overwatch yang masih baru pada saat itu.
Viewership turun drastis
Ketika pertama kali berlangsung, antusiasme penonton terhadap turnamen ini terbilang sangat tinggi. Selain karena meroketnya kepopuleran Overwatch di tahun 2018 silam, OWL juga menjadi satu-satunya kompetisi resmi di skena kompetitif game tersebut yang dihelat dengan sangat megah.
Hal tersebut terbukti dari jumlah penonton yang rata-ratanya hingga 140 ribu penonton dan mencapai 437 ribu peak viewers pada musim pertama. Jumlah tersebut menurun drastis di tahun 2023. Misalnya pada Spring Stage Qualifiers 2023, rata-rata penontonnya hanya 55 ribu dengan 118 ribu peak viewers.
Rencana yang terlalu ambisius terhalang oleh pandemi
Ketika pertama kali diluncurkan, Activision Blizzard memilik rencanya yang terbilang ambisius. Mereka ingin mengadopsi sistem liga yang ada di olahraga konvensional ke ranah OWL. Misalnya dengan menempatkan tim-tim ke berbagai kota yang berbeda, sehingga setiap kota memiliki basis suporter yang berbeda.
Selain itu liga yang mereka usung juga akan menganut sistem home-away, dan tim tamu harus travel ke kota tempat tim kandang bernaung. Format tersebut terbilang sangat ambisius, mengingat tim-tim yang berlaga harus menyiapkan atau mencari stadion sendiri dengan fasilitas canggih dan mampu menampung penonton dalam jumlah banyak. Selain itu basis suporter buat setiap tim di setiap kota juga tidak bisa terbentuk secara instan.
Apesnya lagi sebelum rencana tersebut terealisasi dengan matang, pandemi COVID-19 melanda. Seluruh rangkaian kegiatan turnamen mulai dari pertandingan hingga produksi acara harus berlangsung secara online, sehingga seluruh pemain hingga staf produksi harus bekerja dari rumah masing-masing.
Hasilnya banyak proyek yang harus terhenti di tengah jalan. Salah satu yang paling populer adalah Philadephia Fusion yang sudah menginvestasikan lebih dari USD 50 juta buat membangun stadion esports bernama Fusion Arena, kini tidak lebih seperti proyek mangkrak karena konstruksinya belum dilanjut hingga saat ini.
Tim anggota franchise league mulai angkat kaki
Menurunnya jumlah viewers memiliki imbas yang cukup signifikan dengan kelangsungan bisnis OWL. Hal tersebut membuat tim esports mulai memikirkan jalan keluar buat meninggalkan OWL supaya tidak semakin merugi, mengingat biaya pendaftaran dan juga biaya operasional yang tinggi.
Chengdu Hunters menjadi tim pertama yang memutuskan buat hengkang dari OWL, pada awal tahun 2023. Selain tidak adanya kejelasan soal masa depan liga, hengkangnya Chendu Hunters membuat tim lain juga mulai memikirkan langkah serupa.
Apalagi dalam klausul kontraknya, setiap tim dijanjikan akan mendapatkan uang termination fee sebesar USD 6 juta apabila mereka memutuskan buat keluar. Hal tersebut yang memicu voting yang dilakukan oleh semua pemilik tim, terkait masa depan mereka di OWL. Setelah voting dilakukan, mereka semua sepakat buat meninggalkan liga franchise OWL.
Semua tim hengkang, akhirnya liga harus ditutup
Ketika semua tim yang berlaga memutuskan buat mundur dan proyeksi keuntungan yang tidak tercapai, Activision Blizzard mau tidak mau harus membubarkan Overwatch League yang sudah mereka jalankan.
Proyek ambisius yang diusung oleh CEO Activision Blizzard, Bobby Kotick dipastikan gagal total. Padahal mereka sempat memproyeksikan akan mendapat keuntungan hingga USD 120 juta melalui turnamen offline, sponsorship, hingga penjualan merchandise pada tahun 2020 yang lalu.
Sayangnya menurunnya antusiasme penggemar terhadap Overwatch hingga pandemi COVID-19 yang menghambat proyek besar mereka, membuat Overwatch League harus berakhir secara prematur. Hal ini tentunya menjadi sebuah pembelajaran bagi seluruh pelaku di industri esports, supaya kejadian serupa tidak kembali terulang di masa depan.
Jangan lupa buat terus mengunjungi KINCIR untuk mendapatkan informasi terbaru seputar games dan esports!