Empat puluh tiga tahun berdiri sebagai perusahaan pengembang game third party pertama di dunia, Activision Blizzard telah dibeli salah satu pemilik platform utama di industri, Microsoft. Pengembang ini ditebus dengan harga USD 68,7 miliar atau setara Rp986 triliun.
Perusahaan yang didirikan oleh sekelompok karyawan Atari yang enggak puas dan memutuskan untuk mendirikan perusahaan sendiri ini sekarang dikendalikan Microsoft. Waralaba seperti Call of Duty, Diablo, Starcraft, Candy Crush, dan World of Warcraft tentu masuk di dalamnya. Pertanyaannya, bagaimana dampak perubahan kepemilikan ini bagi para pemainnya?
Akuisisi besar bukanlah hal baru di industri video game. Sebelumnya, Activision yang sempat jadi salah satu perusahaan video game terbesar juga bergabung ke Blizzard di bawah kesepakatan sebesar USD 18,9 miliar.
Soal beli-beli, Microsoft dan Sony ibarat berada di ring tinju. Keduanya secara teratur membeli studio pengembangan yang sudah ada sebelumnya. Tentu tujuannya adalah mengambil alih kekayaan intelektual (IP) mereka dan membuatnya tersedia secara eksklusif di platform mereka.
Dalam dekade terakhir, Microsoft paling agresif. Ia membeli Mojang, pengembang Minecraft pada tahun 2014 sebesar USD 2,5 miliar. Pada 2020, penerbit Elder Scrolls dan Doom ZeniMax juga berhasil dibeli dengan USD 7,5 miliar. Dengan akuisisi Activision Blizzard, Microsoft kini menjadi perusahaan terbesar ketiga di industri ini, di belakang TenCent dan Sony.
Game pass jadi fokus utama
Ada banyak cara pengembang untuk membuat ekosistem game mereka sendiri. Misalnya seperti World of Warcraft atau Final Fantasy XIV Online yang mengharuskan para pemainnya membayar ekspansi di samping bayar subsciption bulanan. Sementara itu, game seperti Valorant dan Fortnite, mendorong para pemainnya untuk battle pass dan skin kece.
Ketika perusahaan yang memiliki game-game ini mengumpulkan data baru dari jutaan pemain mereka, para pembeli seperti Microsoft ibarat membeli beberapa kota yang isinya penduduk pemain Call of Duty, Hearthstone, World of Warcraft, dan banyak judul lainnya.
Alasan utama Microsoft melakukan pembelian secara masif tak lain merupakan bagian dari strategi bisnisnya. Fokusnya tentu pada layanan Xbox Game Pass. Mirip dengan Netflix di perfilman dan Spotify di ranah musik, Xbox Game Pass memberi pelanggan akses ke katalog game digital besar dengan satu biaya bulanan.
Plus minus, sih. Dengan biaya bulanan, para gamer bisa menikmati sejumlah game; misalnya saja Back 4 Blood, World War Z, Wasteland, dan mungkin berbagai game Blizzard yang harganya ratusan ribu rupiah. Tapi, rasanya kayak menikmati tanpa memiliki, bagi kolektor game tentu ini jadi pertimbangan besar.
Ibarat serial eksklusif pada sebuah platform OTT, Microsoft bisa banget membuat waralaba Activision Blizzard hanya tersedia melalui Game Pass. Yap, strategi memaksa pelanggan menjauh dari konsol saingan (Playstation) atau platform distribusi seperti Steam dan Epic yang belakangan sering promosi dengan memberikan game gratis.
Dengan kata lain, Microsoft bisa menarik konsumen ke dalam lingkup eksklusifnya sendiri. Strategi umum sih, ketika platform digital berbasis langganan muncul, kita jadi berhenti menjadi pemilik produk dan malah jadi penyewa.
Lantas apa dampaknya untuk para pemain game yang induknya diakuisisi?
Selama tahun-tahun mendatang, Microsoft mungkin memutuskan untuk mempertahankan waralaba yang baru diakuisisi ini untuk platformnya sendiri. Untuk pemain PC, ada kemungkinan peralihan dari Steam atau Battlenet ke Microsoft Game Store. Bikin enggak nyaman, tapi enggak radikal.
Bagi pemain Playstation dan pengguna Mac kayaknya musti tahan emosi. Bisa jadi kamu harus beli PC atau Xbox jika ingin main waralaba yang terakuisisi ini di masa mendatang. Namun, dalam sebuah kicauan, CEO Microsoft Gaming, Phil Spencer mengungkap kalau Xbox memastikan bahwa mereka menghormati semua perjanjian yang ada di dalam perjanjian akuisisi Activision Blizzard.
“Sony adalah bagian penting dari industri yang kami fokuskan dan kami menghargai hubungan yang telah dibangun,” kata Phil.
Had good calls this week with leaders at Sony. I confirmed our intent to honor all existing agreements upon acquisition of Activision Blizzard and our desire to keep Call of Duty on PlayStation. Sony is an important part of our industry, and we value our relationship.
— Phil Spencer (@XboxP3) January 20, 2022
Activision Blizzard juga pernah menyebut bahwa Microsoft bakal tetap menghadirkan game-game yang berada di bawah payung Activision Blizzard di platform lainnya pasca akuisisi.
Kendati demikian, para pemain World of Warcraft pun tengah dirundung rasa gamang. Apakah nantinya sistem subscription akan berubah? Sebagai catatan, para pemain WoW bisa farming gold untuk membeli token yang bisa ditukar dengan game time 30 hari.
Ibarat dominasi Marvel di industri perfilman, banyak pula yang khawatir merger kedua raksasa yang tengah berlangsung akan melumpuhkan kreativitas dan inovasi di seluruh industri video game. Tenang, dilansir Global Games, peneliti Aphra Kerr mengungkap kalau sebagian besar pendapat yang dihasilkan industri game masih terkonsentrasi di sejumlah perusahaan game kecil. Masih banyak ruang untuk menghasilkan genre baru dari developer-developer kecil.
Dalam buku itu, dituliskan juga soal banyaknya genre baru dan beragam yang telah kita lihat selama dekade terakhir. Ini terjadi karena para pembuat konten independen dapat mengakses berbagai alat canggih seperti mesin game Unity and Unreal, dan audiens yang lebih besar melalui pasar digital; seperti sebagai Steam atau Xbox Game Pass.
Di lain sisi, kabar akuisisi Activision Blizzard ini membawa sedikitnya angin segar. Tengah menghadapi tuntutan atas kasus pelecehan dan seksisme, Microsoft kini harus membersihkan budaya kerja hingga nama baik Activision Blizzard. Apakah Microsoft akan mengemban tugas ini, atau justru menutup mata dan hanya berfokus pada bisnisnya? Kita tunggu!