Anggapan bahwa game bergenre tembak-tembakan dapat menyebabkan kasus kekerasan baru-baru ini mencuat lagi. Aksi terorisme yang keji sejatinya punya motif yang sederhana: kebencian. Jika suatu game punya bentuk permainan yang serupa dengan aksi tersebut, bukan berarti game adalah penyebabnya.
Sebagai sebuah bagian budaya video game yang berlangsung sangat lama, genre shooter sudah populer dan dimainkan banyak orang. Bahkan, genre ini jadi salah satu game multiplayer yang belakangan stabil dan punya banyak audiens. Hadirnya ranah esports merupakan alternatif positif yang justru luput dari banyak mata.
Ingin tahu bagaimana sejarah perkembangan game shooter hingga belakangan populer dimainkan secara battle royale? Simak ulasannya berikut ini!
Lahir di Magnavox
Salah satu konsol pertama, yakni Magnavox Odyssey sempat membuat varian controller berbentuk shotgun. Alat yang kemudian disebut light gun itu dipakai untuk permainan di TV analog yang mana pemainnya harus "menembak" bulatan putih yang muncul. Sontak ini membuat pemain bisa seolah-olah mengatur bidikan sasaran secara virtual.
Selanjutnya, banyak yang mungkin ingat di era Famicom dan NES ketika light gun ini dipakai untuk menembak bebek yang terbang. Game bertajuk Duck Hunt sukses dimainkan oleh banyak pemain game di generasi '90-an. Sebelum ada fitur scrolling atau pun aiming, gaya bermain semacam ini dengan lugas memanipulasi layar televisi untuk menyediakan sasaran target yang bisa ditembak oleh pemain.
Doom dan Wolfenstein
Banyak yang mungkin sempat memainkan dua game bertajuk Doom dan Wolfenstein yang sama-sama digarap oleh Id Software di platform PC jadul. Sebelum bisa melakukan rotasi pembidikan sebesar 360 derajat, pemain hanya bisa bergerak maju mundur dan melakukan horizontal scrolling ketika membidik di dua game ini.
Hal yang sangat berkesan di dua game legendaris ini adalah nuansa sadis yang memang ditawarkan. Lengkap dengan balutan scoring musik bernuansa metal, game ini disinyalir memelopori kekerasan. Menuju 2000-an, di Amerika muncul gugatan terhadap game yang menyuarakan kekerasan seperti Doom, Wolfenstein, atau Mortal Kombat yang berujung lahirnya ESRB untuk membatasi distribusi game kepada kalangan anak-anak.
Call of Duty, Waralaba FPS Paling Visioner
Setelah genre first person shooter berkembang dengan pilihan judul seperti Counter-Strike, Call of Duty, dan Battlefield, pemain bisa merasakan pengalaman aim yang seolah-olah nyata. Dari beragam judul, pengalaman single player bisa menyediakan ruang bermain yang cukup berkesan dengan tekanan cerita di dalamnya.
Call of Duty bisa dibilang jadi waralaba FPS yang sukses sekaligus cukup kontroversial. Tengok saja sebuah misi di Modern Warfare 2 bertajuk "No Russian" yang sempat dicekal. Di dalam misi tersebut, pemain bakal melakukan adegan penembakan masal di sebuah bandara di kota Moskow. Banyak yang pada akhirnya menyalahkan Activision karena meloloskan hal tersebut. Padahal, jika dikaji secara cerita keseluruhan gamenya, babak ini memberi tekanan cerita yang sangat baik tentang konspirasi.
Popularitas Game Shooter Modern
Setelah battle royale masuk sebagai bentuk game shooter paling mutakhir dan memikat, popularitas game tembak-tembakan semakin menarik perhatian. Hingga 2018, misalnya, PUBG dan Fortnite dinilai sebagai game multi-platform yang paling banyak dimainkan. Enggak jarang beberapa dari mereka bahkan berasal dari kalangan di bawah umur.
Fortnite punya desain yang lebih kartunis dibandingkan PUBG yang lebih realistis. PUBG M yang bahkan dialamatkan untuk platform HP sukses dimainkan ratusan juta orang di seluruh dunia. Meski begitu, tujuan dan mekanika bermain masih berkutat soal "membunuh" pemain lainnya menggunakan senjata. Aksi terorisme di Selandia Baru bahkan dikaitkan dengan game serupa setelah gerakan ekstremis kanan yang dia anut ternyata mengakar juga pada kebudayaan meme di sekitar komunitas game.
Ruang Positif Esports yang Diabaikan
Di Indonesia, kayaknya prestasi esports masih dipandang sebelah mata. Terlebih memang belum banyak hasil positif yang bisa pemain berikan di kancah internasional jadi penyebabnya. Meski begitu, banyak prestasi besar dituangkan oleh atlet esports dari cabang game shooter semisal dua pemain CS:GO asal Indonesia yang kini main untuk tim berkelas internasional di Tiongkok. Enggak ketinggalan juga momen anak organisasi RRQ dari Indonesia di Thailand yang berhasil menyabet juara dunia di PUBG M Star Challenge akhir tahun lalu di Dubai.
Sudah sewajarnya pemerintah memang memperhatikan ruang esports sebagai sarana penyaluran yang baik. Selama ini, ketika kasus kekerasan mencuat, game dianggap sebagai kambing hitam padahal peran otoritas yang mengatur distribusinya sangat diperlukan. Semoga isu fatwa haram dari MUI ini jadi ajang introspeksi yang baik agar skena esports dan video game di Indonesia bisa berkaca pada proses sejarah yang panjang.
***
Tentunya kita berharap banyak pihak mulai ikut ambil memberdayakan ekosistem gaming yang sehat. Terorisme yang berjalan di masyarakat bukan disebabkan oleh video game, melainkan murni dilatarbelakangi kebencian. Di dalam game shooter, simbol kekerasan yang ditonjolkan merupakan sarana refleksi yang seharusnya ditafsirkan dengan baik sebagai kritik saja.
Bagaimana pendapat kalian? Beberkan di kolom komentar, ya!