Di acara bertajuk "Selasa StartUp" yang digelar oleh Daily Social (14/5), Arief Widhiyasa membagikan pengalamannya mengepalai Agate Games. Perusahaan yang telah dia kembangkan bersama 18 temannya sejak 2019 ini punya banyak prestasi. Untuk ukuran pengembang dalam negeri, Agate terbilang spesial karena telah mempublikasikan belasan judul game di berbagai platform hingga masuk pasar internasional.
Pada pembuka diskusi, Arief mengatakan kalau industri game dalam negeri sedang berkembang pesat. Dia memaparkan data kalau industri game berskala global telah mengalahkan angka pendapatan industri film dan musik, bahkan jika keduanya digabungkan.
Arief mengambil contoh di 2018. Saat itu, industri game menghasilkan networth tiga kali lipat pendapatan industri game. Dia pun memberi perbandingan antara film Avatar yang meraup untung sebesar 2.8 miliar dolar. Tertinggal jauh dengan pendapatan GTA V yang kini hampir mendapatkan penghasilan hampir 6 miliar Dolar.
Arief juga menyayangkan industri game dalam negeri Tanah Air takut untuk berproduksi. Sektor ekonomi kreatif menurutnya bakal berkembang pesat untuk beberapa tahun ke depan. Untuk itulah dia ingin industri game harus mampu menyumbang produktivitas.
"Angka pencapaian industri game dalam negeri kita sangat besar, tapi kurang dari 1% masuk ke perusahaan game dalam negeri," tutur Arief.
Arief lantas menuturkan kalau angka investasi Indonesia untuk sektor industri game masih sangat kecil. Berbanding jauh dengan negara Tiongkok, misalnya, yang menginvestasikan hampir 70% untuk produksi dan penjualan. Padahal, menurut Arief pasar Indonesia hampir sama aktifnya dengan Jepang.
"Saya berharap di kemudian hari Indonesia punya studio game sebesar Square Enix atau Bandai. Bukannya tidak mungkin karena pasar kita sebenarnya besar," ujarnya.
Agate yang kini berumur 10 tahun telah merasakan pahitnya perjuangan mengembangkan game di Tanah Air. Dia memulai perusahaan bersama 18 founder dengan terus menjaga komitmen hingga saat ini. Saat merintis usahanya tersebut, Agate pernah merasakan kehabisan simpanan untuk keperluan sewa rumah kantor.
"Kami bahkan merasakan digaji hanya Rp50 ribu," pungkas Arief menceritakan pengalamannya.
Menurut Arief, salah satu masalah krusial yang belum bisa dipecahkan adalah sumberdaya developer serta ruang kerja untuk para pengembang. Kini, Agate sudah memiliki kantor bertingkat di wilayah ekonomi kreatif di Bandung. Menurutnya, ini bukan hanya pencapaian, namun sebuah usaha untuk membentuk ekosistem perusahaan game yang nyaman untuk para pengembang.
Menuju akhir diskusi, Arief menyambut pertanyaan sederhana para audiensi yang kebanyakan berasal dari penikmat industri game. Bahkan, salah satu yang datang mengaku sebagai pengembang amatir dan meminta saran dari Arief mengenai masalah pengembangan. Sang CEO lantas memberi wejangan kalau menciptakan game adalah proses panjang yang harus dirayakan dengan sukacita.
Dengan diskusi ini, diharapkan kalau banyak pihak makin peka sama isu industri game dalam negeri. Buktikan kalau kalian juga peduli sama industri game dengan mengikuti perkembangannya terus, ya! Biar kalian enggak ketinggalan info industri game dalam negeri, terus ikutin beritanya hanya di kanal KINCIR.