Bagi gamers, pertanyaan paling yang menyebalkan kala bertemu dengan keluarga besar di momen Lebaran bukanlah, “Kapan nikah?” atau “Mana pacarnya?” Jangankan keluarga besar, orangtua kalian saja mungkin masih berpikir sinis terhadap aktivitas bermain game. Berbagai persepsi yang dilontarkan sering kali bikin jengkel. Seakan-akan, main game adalah kegiatan nirfaedah semata.
Sebagai manusia yang mulai beranjak dewasa, tentu kalian sudah bisa membedakan hal yang baik dan buruk. Kalian seharusnya sudah mulai bisa memanfaatkan waktu dengan bijak sehingga bermain game enggak mengganggu rutinitas lainnya. Namun, tetap saja hobi ini kerap disalahartikan oleh para orangtua, baik orangtua kalian maupun orangtua sepupu-sepupu.
Daftar di bawah ini adalah rangkuman kesalahan persepsi orangtua soal game yang acap kali membuat kita kesal. Simak penjabarannya dan jangan lupa bagikan artikel ini di grup WhatsApp keluarga supaya mereka mau mengerti!
1. “Kan, bisa di-pause sebentar gamenya!”
Lagi asyik main game MOBA, eh, tiba-tiba kalian dipanggil orangtua untuk melakukan sesuatu. Padahal, pertandingan belum berakhir. Sementara kalian sedang berjuang meruntuhkan turret lawan, orangtua sudah teriak sampai gedor-gedor pintu. Akhirnya, terjadilan perdebatan yang enggak penting.
Padahal, game online, apalagi dengan sistem pertarungan multiplayer, enggak bisa di-pause. Ada konsekuensi reputasi kalian rusak kalau kalian meninggalkan pertarungan tak tuntas. Belum lagi kalau tim kalian kalah dan level kalian turun.
Daripada ngedumel enggak karuan, alangkah baiknya kalau kalian bisa menjelaskan kepada orangtua secara perlahan bagaimana cara kerja gamenya. Pastikan juga kalian melaksanakan permintaan orangtua ketika selesai bermain, jangan malah main lagi gara-gara penasaran.
2. “Nilai jelek? Pasti gara-gara main game!”
Namanya juga orangtua yang tumbuhnya beda generasi dan lingkungan, bisa saja mereka menjadikan game sebagai kambing hitam semua masalah. Entah komputer atau hape kalian rusak, tubuh kalian terkena penyakit, masih banyak lagi. Hal ini sangat wajar apalagi kalau orangtua kalian enggak pernah bermain game.
Di sinilah kalian dituntut untuk menjaga keseimbangan antara waktu bermain dengan kegiatan lainnya. Nilai ujian kacau karena kurang belajar? Sakit gara-gara jam tidur dipakai buat main game? Ya, itu salah kalian. Bukan salah game.
Main game memang bikin ketagihan. Namun, kalau sampai kecanduan parah bermain game, ada yang salah di diri kalian. WHO saja sudah menyatakan bahwa kecanduan bermain game adalah penyakit. Jadi, janganlah kalian menjadi gamer yang sakit, baik mental maupun fisik.
3. “Main game enggak ada untungnya!”
Ini mungkin adalah persepsi orangtua yang sering kalian dengar. Nyatanya, game sudah menjadi industri yang memberi dukungan dalam berbagai sektor kehidupan. Apalagi kalau kita berbicara soal game kompetitif alias esports.
Yap, hobi bermain game, asalkan kalian menuntut diri kalian kreatif, bisa menjadi kegiatan yang produktif. Bisa jadi kalian tergerak untuk belajar membuat game atau terjun sebagai pelaku esports. Namun, untuk kalian yang enggak seserius itu, bukan berarti enggak ada manfaat sama sekali yang bisa dipetik.
Sudah banyak penelitian yang menyebutkan soal manfaat main game, apa pun genrenya. Game bisa meningkatkan kemampuan kognitif seseorang, mendorong para gamers menjadi lebih cerdas dan tangkas dalam mengambil keputusan.
Di sisi lain, game juga bisa membuat seseorang peduli dengan finansial lewat fitur mikrotransaksi di dalamnya. Kalau cuek dan impulsif, tentu kalian bisa boros. Namun, kalau kreatif, kalian bisa mendapat untung, seperti menjual barang dalam game.
4. “Sudah besar masih saja main game!”
Anggapan ini biasa dilontarkan oleh orang-orang (enggak mesti orangtua kalian) yang skeptis dan sinis. Seakan-akan, semua game yang kita mainkan itu sejenis Mario Bros dan Pokémon. Padahal, kayak film, game yang kita mainkan juga memiliki rating usia, bergantung pada muatan konten di dalamnya: unsur seksual, kekerasan, kata-kata kasar, dan lain-lain.
Kalian tentu enggak mau orangtua kalian terjebak dalam pemikiran yang sempit. Alangkah baiknya, kalian beri penjelasan mengenai rating game kepada mereka. Game dari yang dijual secara global biasanya mendapat rating dari badan ESRB, PEGI, atau CERO. Indonesia juga baru membuat sistem rating game bernama IGRS.
Dengan pengetahuan ini, orangtua akan lebih bisa berhati-hati sebelum membelikan game untuk adik kalian. Sesekali, ajak mereka untuk bareng-bareng memainkan game ramah keluarga semacam Overcooked! 2 supaya orangtua paham bahwa game bisa dinikmati oleh siapa saja.
5. “Itu yang suka tawuran pasti gara-gara main game!”
Siapa, sih, yang mau anaknya jadi nakal? Semua orangtua pasti takut anaknya jadi nakal dan melakukan tindakan tak terpuji, seperti merisak anak lain atau ikut tawuran. Sayangnya, game masih dianggap segitu berpengaruhnya pada perilaku dan pola pikir anak, berapa pun umurnya.
Memang, ada banyak judul game yang memuat konten kekerasan. Grand Theft Auto dan PUBG jadi dua nama yang sering jadi kambing hitam. Padahal, balik lagi ke label rating yang tersemat untuk game tersebut. Apakah usia pemainnya sudah sesuai? Tentu hal ini bisa dikondisikan dengan baik lewat pengawasan orangtua.
Sebenarnya, bukan cuma game, banyak hiburan lain yang mengandung kekerasan. Tengok saja sinetron yang mungkin orangtua kalian sering tonton. Ada berapa banyak adegan tak pantas yang bisa ditonton oleh anak-anak di bawah umur?
Lingkungan keluarga adalah faktor besar yang mempengaruhi perilaku dan pola pikir anak. Sebagai manusia yang mulai beranjak dewasa, kalian mesti belajar bertanggung jawab dengan menjaga sikap dan tutur kata. Tunjukkan pada mereka kalau bermain game dengan unsur kekerasan enggak lantas bikin kalian jadi anak yang kasar.
***
Semua kesalahpahaman bisa diatasi asalkan kalian membangun komunikasi yang baik dengan orangtua. Jelaskan kepada mereka game apa saja yang kalian mainkan dan jangan menutup jalur diskusi bila mereka punya prasangka buruk mengenai game tersebut. Enggak kalah penting, jangan sampai kalian sendiri yang merusak citra hobi kalian ini.
Nah, di luar lima poin yang sudah dibahas di atas, adakah “tuduhan” lain dari orangtua kalian soal bermain game? Bagaimana cara kalian menghadapinya? Silakan berbagi pengalaman dan pengetahuan kalian di kolom komentar!