– Bagai tradisi, keberadaan cheater terus tumbuh subur dan sangat sulit diberantas.
– Masalahnya, ada juga cheater yang memang sengaja menggunakannya untuk fun dan tidak digunakan secara kompetitif.
Kehadiran cheater di dalam video game multiplayer memang sangat menyebalkan. Kecurangan yang mereka lakukan tidak hanya merusak sportivitas tapi juga menghilangkan kesenangan bermain game. Entitas hiburan yang dihadirkan oleh para developer mendadak lenyap karena para oknum tersebut.
Sayangnya, budaya penggunaan cheat semakin menjamur dan masih menjadi permasalahan genting para pengembang game agar game buatan mereka terbebas dari para cheater. Terlepas dari urusan pengembang, apakah ada alasan dibalik para cheater masih saja menggunakan cheat?
Untuk mengetahuinya KINCIR akan menjabarkan alasan mengapa masih para cheater tak kunjung musnah. Selamat membaca!
1. Skill Apa Adanya
Pertama kita terlebih dahulu berangkat dari alasan penggunaan cheat yang dilakukan oleh para oknum tidak bertanggungjawab. Menurut KINCIR, alasan paling pertama adalah ingin menang namun tidak memiliki skill. Nah, kekurangan inilah yang membawa mereka kepada cara menang instan dengan mengaktifkan kode terlarang.
Pada kenyataannya, menurut studi yang telah dilakukan oleh seorang jurnalis Wired, yaitu Clive Thompson, para cheater merupakan pemain yang masuk ke dalam kategori lack of confidence. Artinya mereka tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup besar untuk terus belajar mengasah kemampuan. Hal ini didasari dari kekalahan beruntun yang mereka alami di dalam permainan.
Rasa Frustasi tersebut berubah menjadi motivasi untuk mendapatkan kemenangan secara instan dengan memakai cheat. Artinya, para cheater memang sudah memiliki kelakuan buruk, sebab tidak memikirkan pemain lain yang mengincar kemenangan murni pakai skill yang mereka punya.
2. Kesenangan Salah Arah
Memang pada dasarnya bermain game adalah untuk mencari kesenangan. Adu kekuatan dengan pemain lain jadi unsur utama keseruan di dalam permainan. Akan tetapi ada saja pemain yang mencari kesenangan dengan cara yang salah. Seperti menggunakan cheat.
Menindas orang yang lebih lemah membuat mereka mendapatkan kesenangan. Padahal cara yang mereka gunakan tidak murni pakai skill, melainkan dibantu oleh aplikasi third party. Bisa dibilang, cara mereka mendapatkan kesenangan bermain game salah arah. Padahal, menang dengan kemampuan diri sendiri pasti akan menimbulkan rasa bangga.
Nah, mereka sepertinya salah gaul karena kebanggan tersebut hanya muncul ketika berhasil membantai lawan tanpa usaha lebih. Seperti pada poin pertama, rasa frustasi karena minim skill dapat diatasi ketika mereka menggunakan cheat. Memang cukup menyebalkan, padahal persoalan ini bisa dibilang sepele, pasalnya masih banyak pemain yang serupa namun lebih memilih kerja keras untuk meningkatkan kemampuan mereka.
3. Trauma yang Berujung Balas Dendam
Menyambung dari poin kedua tadi, mereka yang tertindas karena adanya cheat, bisa menimbulkan dendam sehingga membuat budaya cheat terus berlanjut. Pasalnya dari penelitian yang dilakukan oleh Jeff Yan dan Brian Randell dari Universitas Newcastle menyebutkan bahwa para cheater dibagi menjadi beberapa klasifikasi. Salah satunya adalah pengguna cheat karena adanya trauma.
Kekalahan demi kekalahan yang mereka rasakan berujung pada konklusi bahwa menggunakan cheat merupakan jalan terbaik untuk mendapatkan kemenangan. Dari 100 koresponden yang diberikan pertanyaan, 75% merupakan cheater yang lahir karena ditindas oleh cheater juga. Rasa tidak terima karena kalah jadi alasan utama mengapa mereka akhirnya beralih menggunakan cara curang.
Tidak menutup kemungkinan bahwa peristiwa ini terus berlanjut dan melahirkan cheater-cheater baru. Budaya ini akan terus berlanjut seiring dengan maraknya penggunaan cheat di game online. Dampaknya jelas sangat buruk baik bagi para pemain atau developer karena hilangnya nilai sportivitas dan kesenangan di dalamnya game tersebut jadi hilang.
Bagi pengembang, tentunya fenomena ini akan menjadi pekerjaan tambahan untuk mencari solusi terbaik agar para cheater tidak lagi menjamur di kalangan para pemain. Meningkatkan sistem pertahanan atau mempertinggi keamanan anti-cheat masih harus dilakukan secara terus menerus selama permasalahan ini belum usai.
4. Penyedia Cheat Code yang Tidak ada Habisnya
Seperti kata Bang Napi di acaca salah satu TV swasta dulu, “kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tetapi juga karena adanya kesempatan.” Memang benar para cheater tergerak karena motivasi untuk menang, tapi mereka juga didukung oleh para penyedia kode cheat yang juga tidak ada habisnya.
Meskipun pihak pengembang game telah meningkatkan sistem keamanan mereka, hacker juga selalu berhasil kekuatan kode terlarang mereka sehingga bisa menembus anti-cheat dari pengembang. “Perang” ini masih akan terus berlanjut selama minat para pemain menggunakan jasanya terus berdatangan.
Sialnya, beberapa hacker secara terang-terangan mengobral kode cheat secara gratis dan bisa di-install dengan mudah. Tidak heran jika eksistensi cheater terus ada karena mereka bisa dengan mudahnya menemukan dan menggunakan cheat. Bisa jadi, jika ingin memberantas para cheater harus ada pihak yang menemukan para penyedia jasa cheat agar tidak ada lagi produksi kode terlarang.
5. Kurang Tegasnya Pihak Developer Game
Selama ini, jika ada cheater yang terdeteksi di dalam game hukuman paling mainstream adalah pemblokiran akun dalam kurun waktu tertentu. Akan tetapi, nyatanya sampai sekarang masih saja ada cheater yang berhasil masuk ke dalam game. Melihat kasus ini artinya masih banyak yang harus diperbaiki dari sistem anti-cheat mereka agar tidak bisa dijebol.
Sialnya, para hacker selalu menemukan cara untuk menembus sistem pertahanan di dalam game. Sebagai contoh, di awal perilisan Apex Legends, Respawn sudah melakukan ban kepada lebih dari 16 ribu akun. Namun progres tersebut sepertinya masih belum cukup hingga akhirnya sang pengembang membuat sistem kalau ada akun yang terdeteksi menggunakan cheat, mereka akan diadu dalam satu room.
Cara unik ini semata-mata adalah untuk membuat para cheater jera. Hukuman demi hukuman dilancarkan agar tidak ada lagi pengguna cheat di dalam game mereka. Bisa jadi, hukuman seperti ini masih belum cukup untuk membuat mereka kapok. Para pengembang butuh cara yang lebih ampuh supaya bisa memberantas cheater.
Mungkin saja pihak pengembang langsung memblokir gawai yang cheater gunakan. Jadi ketika terdeteksi mereka harus membeli smartphone atau PC baru untuk bisa main lagi atau para pengembang menyiapkan counter attack kepada para cheater yang membuat komputer atau alat yang digunakan terkena hack.
Memang butuh aksi tegas dari para pengembang soal penggunaan cheat ini karena kalau tidak pasti cheater akan terus bermunculan. Kalau hanya mengandalkan laporan dari pemain lain, mereka masih bisa menggunakan cheat di kemudian hari setelah masa ban selesai.
***
Kehadiran para cheater memang tidak hanya bikin pusing para pemain tapi juga pihak developer. Citra game mereka pasti juga akan tercemar jika banyak ditemukan oknum curang. Untuk menghindarinya memang perlu usaha ekstra karena fenomena ini masih menjamur di kalangan para gamer seluruh dunia. KINCIR yakin pasti ada cara yang pas untuk memutus rantai cheater dan memberantas mereka hingga ke akarnya.
Apa tanggapan kalian tentang alasan keberadaan para cheater yang tak kunjung musnah ini? Kalau punya solusi, silakan tuang saran kalian di kolom komentar, ya! Jangan lupa untuk kunjungi KINCIR agar kalian tidak ketinggalan berita terbaru seputar esports dan game.
Oh iya, Menpora bekerja sama dengan IESPL menggelar sebuah turnamen yang diperuntukan untuk pelajar SMP, SMA, dan Universitas di Piala Menpora Esports 2020 AXIS. Buat kalian yang ingin membanggakan sekolah, yuk langsung daftarkan tim kalian di website resmi pialamenporaesports.iespl.id.