– Meski tak ada larangan khusus, adegan seks dan konten dewasa dalam video game kerap menimbulkan masalah.
– Ada konten dewasa yang dianggap melewati batas sehingga berpotensi merusak mental pemainnya.
Selain keepikan gameplay dan storyline, elemen erotis juga bisa jadi “bumbu penyedap” sebuah video game. Harus diakui bahwa karakter yang seksi bisa membuat para gamers, terutama yang berjenis kelamin cowok, jadi tertarik buat bermain. Ide para developer enggak cuma berhenti di situ aja. Banyak yang memasukkan adegan seks sebagai bentuk fan service yang memuaskan.
Namun, harus diakui juga bahwa adegan seks atau konten dewasa dalam video game kerap menimbulkan masalah dan kontroversi. Sebab, konten-konten seperti ini dianggap tidak pantas dan tidak jauh beda dengan adegan kekerasan.
Hasilnya, ada sejumlah contoh kasus pelarangan game karena adanya konten dewasa. Salah satunya adalah dilarangnya GTA: San Andreas di Australia pada 2005 karena mod “Hot Coffee” yang menampilkan adegan seks. Pelarangan tersebut disebabkan masalah legalitas rating yang dianggap “menipu” dan bisa merusak mental anak-anak yang memainkannya.
Nah, apakah kasus di atas membuktikan bahwa adegan seks di video game memang separah itu sehingga wajar membuat sebuah game mendapat pelarangan? Apakah memang karena pengaruh negatifnya terhadap mental pemain memang sangat besar? Telusuri jawabannya pada pembahasan di bawah ini!
Sudah Vulgar sedari Dulu
“Saya enggak percaya kalau orang dewasa bakal betah dengan hanya tembak-tembakin pesawat tempur.”
Itulah kalimat yang dilontarkan oleh Presiden American Multiple Industries (AMI), Estuart Keston, pada 1982, terkait tiga game erotis yang dirilis oleh developer tersebut. Tak tanggung-tanggung, ketiganya menampilkan adegan seks dan ketelanjangan yang cukup intens dan parah.
Game pertama berjudul X-Man, diproduksi untuk platform Atari 2600. Premis game ini adalah tentang seorang cowok telanjang yang harus menghindari berbagai rintangan di labirin. Pada babak bonus, karakter tersebut bisa melakukan hubungan seks bersama seorang wanita yang telanjang. Karena masih pakai konsep 8-bit, ketelanjangan dalam game ini tampak enggak begitu frontal.
Game kedua adalah Beat ‘Em & Eat ‘Em dengan premis dua cewek telanjang yang harus menangkap sperma menggunakan mulut dari cowok yang masturbasi. Masih hadir dengan konsep 8-bit, ketiga karakter terlihat telanjang bulat, tapi tampak kurang frontal karena grafis kotak-kotak.
Game ketiga berjudul Burning Desire. Dalam game ini, pemain wajib menyelamatkan seorang cewek dari suku kanibal. Jika berhasil, maka karakter cowok akan mendapatkan hadiah berupa hubungan seksual.
Ketiga game dari AMI tersebut memang menampilkan gameplay puzzle dengan sedikit aksi. Namun, harus diakui bahwa erotisme jadi fokus utama dengan goal berupa berhubungan seks. Makanya, ketiganya pun disebut sebagai “game seks”.
Lama kelamaan, ramuan seks disisipkan oleh para developer enggak hanya dalam game seks aja, tetapi juga game aksi atau simulasi, seperti Ride to Hell : Retribution, House Party, bahkan Grand Theft Auto versi cracked. Makin lama, kualitas grafis game makin bagus dan ada banyak game seks dengan storyline yang cukup kuat.
Game-game seperti Playboy The Mansion, Singles: Flirt Up Your Life, dan Bonetown memiliki tema seks yang vulgar dan blak-blakan banget. Bahkan, bisa dibilang lebih vulgar daripada game-game keluaran AMI. Pasalnya, dibandingkan dengan tiga game seks AMI yang “kotak-kotak”, game-game ini grafisnya udah bagus dengan jalan cerita, bikin kalian serasa menonton film porno animasi yang kalian atur sendiri alurnya.
Beberapa developer bahkan enggak segan menyisipkan aktris betulan yang beradegan panas, seperti misalnya game The Guy Game. Jika berhasil memenangkan game, kalian bisa melihat video cewek betulan yang membuka baju.
Khusus Pemain Dewasa, tapi Tetap Dikonsumsi Anak-anak
Terkait kontroversi seks dan konten dewasa di dalam game, Bobby Ricci, desainer House Party dari developer Eek! Games, mengatakan bahwa unsur seks di dalam game buatannya sebenarnya dikit, dan enggak ada salahnya sedikit "melewati batas" dengan bumbu seks.
"Saya enggak melihat perbedaan antara kekerasan di dalam game dan adegan seks,”. Yang Ricci maksud, kalau kekerasan diperbolehkan, kenapa seks enggak? Dia pun mempertanyakan konteks yang dibawa di game buatannya dengan adegan kekerasan yang seakan sudah biasa muncul di video game.
“(Karakter yang ada di game) cuma 3D, bukanlah manusia betulan. Saya tidak melihat ada yang salah secara konteks, apalagi jika kita bandingkan dengan semua kekerasan dan extreme gore di game-game lain,” curhat Ricci, dalam sebuah wawancara bersama Gamesplanet, setelah House Party terkena ban di Steam.
Namun, apakah seks merupakan hal yang memang wajar di dalam sebuah game? Padahal, jika kita bicara teknis, hal ini bisa dimaklumi lewat sistem rating pada game.
Entertainment Software Rating Board menetapkan rating yang memudahkan orangtua buat memutuskan apakah sebuah game layak dibeli untuk anak mereka atau enggak. Rating Early Childhood (EC) menandakan kalau sebuah game sangat layak buat anak berusia tiga tahun ke atas.
Rating Everyone (E), cocok buat anak berusia enam tahun ke atas. Everyone 10+ (E10+), menandakan kalau game cocok buat anak berusia sepuluh tahun ke atas. Teen (T), adalah game dengan kekerasan ringan, sedikit darah, dan sedikit kata-kara kasar yang cocok buat anak berusia 13 tahun ke atas.
Nah, game dengan rating Mature (M) menandakan adanya kekerasan yang vulgar dan adegan seks yang cuma bisa dicerna anak-anak berusia 17 tahun ke atas. Nah, rating yang paling "ngeri" adalah Adults Only (AO) yang menandakan bahwa di dalam game ada kekerasan yang sangat intens, ketelanjangan, dan seks yang begitu vulgar bahkan berdurasi lama.
Adanya sistem rating ini tentu bisa mengamankan anak-anak atau orang di bawah umur dari game yang enggak sesuai sama mental mereka. Namun, masalahnya, penjualan game enggak seketat itu. Anak di bawah umur bisa aja membeli game dewasa dengan pengawasan orang tua yang kurang ketat. Bahkan, orang yang usianya sudah sesuai pun bisa aja mengalami masalah mental kalau terus menerus terpapar adegan seks intens dalam video game.
Seberapa Besar Pengaruh Adegan Seks Video Game terhadap Mental Pemain?
Beberapa waktu yang lalu, sebuah game dengan konten seksual yang intens dirilis. Game itu berjudul Rape Day. Yap, sesuai judulnya, premisnya terbilang sangat frontal dan pastinya bikin banyak orang emosi. Rape Day mengajak pemainnya buat menjadi penjahat berantai yang berusaha buat memerkosa para perempuan di tengah zombie apocalypse.
Kemarahan banyak orang ditunjukkan dengan adanya petisi untuk melarang game ini dijual bebas, kritik dari berbagai media seperti The Conversation dan SBS, serta protes dari warganet yang bahkan sampai mengecam Steam, developer dari game tersebut.
Membawa gerakan #MeToo, menurut mereka, kekerasan seksual di Rape Day sama sekali enggak bisa dibenarkan dan bakal membawa pengaruh buruk. Kecaman dari banyak orang ini bikin Steam urung buat merilis game tersebut pada 2019.
Bahaya mengenai konten kekerasan seksual dalam game memang udah banyak dibahas dalam berbagai penelitian, salah satunya dalam jurnal berjudul Violence Against Women in Video Games: A Prequel or Sequel to Rape Myth Acceptance?.
Melalui metode desain riset eksperimental khusus dan terstruktur, jurnal ini membuktikan bahwa kekerasan seksual dan objektifikasi seksual bagi perempuan di dalam game melanggengkan mental pemerkosa yang menganggap kalau “semua cewek pasti bakal keenakan kalau diperkosa, dan kalau dia bilang tidak, artinya adalah iya”.
Selain video game, sebenarnya video porno juga turut membentuk mental serupa. Pasalnya, ada banyak video porno berkonsep pemerkosaan yang menggambarkan bahwa cewek yang diperkosa memang awalnya merasa marah, tetapi lama-kelamaan dia akan keenakan juga.
Gerakan #MeToo yang gencar dilakukan sejak bertahun-tahun lalu padahal udah berusaha keras buat menghancurkan mitos tersebut, karena nyatanya, ada banyak perilaku kekerasan seksual yang didasarkan atas pikiran bahwa cewek menikmati pemerkosaan.
Penelitian dari Association for Psychological Science juga menyebutkan bahwa saat seseorang melihat gambar (cewek) yang seksi, pada saat itu mereka enggak melihat cewek sebagai manusia, tetapi sebagai objek. Padahal, di video dengan muatan seks, selalu cewek yang dijadikan pusat objektifikasi, dan hal itu bisa mengubah persepsi mereka terhadap sosok cewek.
Jadi, Apakah Konten Seksual Berpengaruh Buruk Terhadap Gamer?
Dr. André Melzer, asisten professor psikologi dari University of Luxembourg mengatakan kalau pola pikir RMA (Rape Myth Acceptance – keyakinan kalau cewek senang diperkosa), lahir dari kebiasaan dan kepercayaan yang berlangsung dalam waktu lama.
Misalnya, kalau seorang anak cowok diajari bahwa "memerkosa cewek yang mabuk itu legal", maka dia bisa melakukan hal itu. Jadi, berangkat dari hal tersebut, Melzer menganggap kalau sekali dua kali melihat kekerasan seksual di game enggak bikin kalian jadi punya mental RMA.
Namun, itu kalau cuma sekali dua kali. Bagaimana kalau hal tersebut menjadi kebiasaan? Melzer mengatakan kemungkinan bahwa pemain yang intens memainkan game berbau kekerasan seksual bisa memiliki persepsi yang berubah soal pemerkosaan.
Penulis artikel Sexual violence should never be the goal of a video game di The Next Web, Georgina Ustik, pernah bertanya kepada anaknya soal muatan kekerasan seksual dalam video game. Menurut sang anak, konsep bahwa cowok mendapatkan kekuatan dari seks (konsensual atau enggak) di dalam video game adalah sesuatu yang biasa aja. Padahal, seni seperti video game adalah sebuah imitasi dari kehidupan, dan tentu saja konsep itu bukan imitasi kehidupan yang baik.
Meski begitu, minat para pemain terhadap konten game berbau seks cukup tinggi, terutama di Amerika Serikat. Selain menarik, seks, baik dalam bentuk karakter maupun "seks daring" dengan pemain lain dianggap dapat menjadi penyaluran hasrat tanpa harus membawa mereka ke dalam "masalah".
***
Seks, oleh sebagian besar orang, dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk ditonjolkan, dan itulah alasan kenapa dia menjadi hal yang sangat diminati, baik dalam film maupun game. Konten seks tentu bakal terus ada dan legal, dengan catatan selama menuruti sistem rating yang udah ditetapkan.
Namun, kalau bicara soal norma, beberapa adegan seks yang menyalahi aturan hak asasi manusia, seperti pemerkosaan, memang sebaiknya enggak dibuat dan ditonton, karena dampak buruknya cukup banyak. Maka dari itulah game-game dengan konten dewasa yang menjurus ke sana yang harus dipantau agar pengaruhnya tidak sampai merusak mental pemainnya.