5 Game yang Dikacaukan oleh Mikrotransaksi

Siapa, sih, yang senang dengan keberadaan mikrotransaksi di game berbayar? Mikrotransaksi bisa dibilang menjadi momok terbesar para gamer masa kini. Dari awal, gamer sudah mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk membeli suatu game. Lalu saat memainkannya, gamer diminta untuk mengeluarkan uang lagi untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu.

Beberapa perusahaan game memang dikenal dengan sistem mikrotransaksinya yang gila-gilaan. Mereka enggak segan-segan memberikan tarif tambahan demi beberapa hal yang harusnya sudah bisa didapatkan sejak pembelian gamenya. Akibat mikrotransaksi yang berlebihan, ada beberapa game yang terlihat menjanjikan, namun jadi dijauhi gamer karena mikrotransaksinya.

Nah, game apa saja, sih, yang dikacaukan oleh sistem mikrotransaksinya? Yuk, simak daftarnya!

 

1. Middle-earth: Shadow of War

Via Istimewa

Pada 2014 lalu, Warner Bros. merilis game yang diadaptasi dari semesta The Lord of the Rings, berjudul Middle-earth: Shadow of Mordor. Game ini sukses besar dan membuat Warner Bros. percaya diri untuk merilis sekuelnya, Middle-earth: Shadow of War, pada 2017. Sayang, sekuelnya enggak mendapatkan kritik sebagus game sebelumnya.

Penggemar dibuat kecewa dengan Middle-earth: Shadow of War karena Warner Bros. menambahkan sistem mikrotransaksi dan loot box ke dalam game tersebut. Sadar jika sistem mikrotransaksi membuat penggemar menjauhi gamenya, Warner Bros. memutuskan untuk menghapusnya dari Middle-earth: Shadow of War pada April lalu.

 

2. Guitar Hero Live

Via Istimewa

Pengembang Harmonix dan penerbit RedOctane berhasil menggebrak dunia game bergenre musik ketika mereka merilis Guitar Hero pada 2005 silam. Lalu pada 2006, Activision membeli RedOctane dan mendapatkan lisensi Guitar Hero. Activision mulai mengurus waralaba ini sejak Guitar Hero III: Legends of Rock hingga seri terbarunya, yaitu Guitar Hero Live.

Guitar Hero Live yang dirilis pada 2015 dibuat sebagai reboot dari waralaba ini. Secara gameplay dan sistem kontrol, game ini mendapatkan penilaian yang cukup positif. Sayangnya, hal-hal positif tersebut jadi enggak berarti karena sistem mikrotransaksinya. Guitar Hero Live memaksa pemain untuk menyewa perpustakaan lagu yang hanya berlaku selama 24 jam. Untuk menyewanya, kalian harus mengeluarkan uang sebanyak 6 dolar atau Rp85 ribu.

 

3. Metal Gear Solid V: The Phantom Pain

Via Istimewa

Sebagai sang kreator, Hideo Kojima memang punya peran besar terhadap kesuksesan waralaba Metal Gear. Namun pada 2015, Kojima berpisah dari Konami akibat masalah di antara mereka. Tahun berpisahnya Kojima dengan Konami bertepatan dengan tahun perilisan Metal Gear Solid V: The Phantom Pain.

Game ini sebenarnya mendapatkan penilaian yang sangat positif. Kojima masih menunjukkan taringnya di detik-detik akhir perpisahannya dengan Konami. Sayangnya, hal tersebut dirusak ketika Konami merilis DLC Forward Operating Base. Jadi, DLC ini menawarkan asuransi yang dapat mengganti item yang dicuri atau dihancurkan pada base pemain. Parahnya, sistem asuransi ini bisa kedaluwarsa dan membuat pemain harus mengeluarkan uang lagi untuk mendapatkan asuransi tersebut.

 

4. Dead Space 3

Via Istimewa

Ketika EA merilis game pertama Dead Space pada 2008 lalu, game ini meraih kesuksesan besar baik secara kritik maupun komersil. Sekuelnya, yaitu Dead Space 2, juga mengalami kesuksesan yang sama dengan game pertamanya. Hal tersebut tentunya membuat EA jadi semakin percaya diri untuk membuat seri ketiganya.

Sayangnya, game ketiganya enggak sesukses dua game sebelumnya. Apalagi, sistem mikrotransaksinya membuat game ini terasa banget pay-to-win-nya. Untuk membuat senjata saja, pemain harus mengumpulkan sumber daya yang bisa dibeli menggunakan uang nyata. Akibatnya, waralaba ini tampaknya sudah enggak punya masa depan lagi. Bahkan, studio pengembangnya, yaitu Visceral Games, telah ditutup oleh EA.

 

5. Star Wars Batllefront II

Via Istimewa

Saat EA merilis Star Wars Battlefront pada 2015 lalu, game ini enggak mendapatkan sambutan positif akibat kurangnya konten di dalam game tersebut. Ketika EA akan merilis sekuelnya, banyak yang berharap jika game ini dapat lebih baik dari game pertamanya. Nyatanya, Star Wars Battlefront II malah menimbulkan kontroversi dan dikritik habis-habisan.

Gamer dibuat terkejut saat mengetahui ternyata game ini sangat bergantung pada mikrotransaksi. Harganya gamenya sendiri sudah mahal, pemain pun harus keluar uang lagi untuk bisa memainkannya. Sangking kencangnya kritik penggemar terhadap EA, mereka sampai memutuskan untuk menghapus sistem mikrotransaksi di game ini. Sayangnya, penghapusan mikrotransaksi ini hanya bersifat sementara.

***

Nah, itulah berbagai game yang sebenarnya cukup potensial tapi dikacaukan oleh mikrotransaksi. Di antara kelima game yang telah disebutkan di atas, manakah yang menurut kalian sistem mikrotransaksinya paling parah?

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.