5 Alasan Kenapa God Eater Jadi Seri Game Kurang Populer

Jangan salah, God Eater adalah serial game yang cukup bagus. Game ini adalah jawaban Bandai Namco pada sensasi serial Monster Hunter yang sudah lama merajalela dalam industri. Pengembang game berusaha untuk mengubah beberapa elemen dalam game dengan fitur-fitur yang lebih cepat, penuh aksi, serta dibumbui dengan gaya-gaya ala anime. Belum lagi ceritanya sangat hidup dan menyiratkan konflik yang sangat gelap. Sayangnya, meski God Eater 3 baru dirilis, banyak yang mungkin belum mengenal waralaba ini.

Walaupun dikenang sebagai salah satu game “berburu musuh raksasa” yang cukup bagus, ada banyak alasan mengapa game ini masih sepi pemain. Yuk, simak 5 alasan tersebut berikut ini!

 

1. Seringkali dibandingkan dengan serial Monster Hunter

Via Istimewa

Para penggemar berat serial Monster Hunter seringkali memandang game ini dengan sebelah mata. Enggak heran karena kedua game memiliki konsep yang persis pertarungan melawan musuh raksasa dengan senjata yang unik. Saking berat hatinya untuk mencoba game ini, mereka biasanya membantah dengan alasan “imitasi Monster Hunter” atau yang berbunyi serupa.

God Eater sebenarnya enggak bisa dengan mudah disamakan dengan Monster Hunter. God Eater mampu menutupi kelemahan-kelemahan Monster Hunter yang relevan. Salah satunya lama bertarung melawan musuh di Monster Hunter yang bisa memakan waktu sampai 30 menit, di God Eater hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit karena sistem bertarungnya yang fast paced. Belum lagi segi cerita yang hidup dan menyiratkan konflik yang gelap.

 

2. Mengandung desain karakter dengan gaya anime

Via Istimewa

Desain karakter yang terlihat sangat anime ini sebenarnya bukan hal yang buruk. Namun penggunaan desain seperti ini justru mengundang peminat yang lebih spesifik ketimbang menggunakan desain yang generik. Sehingga para pecinta anime lebih mudah merasa tertarik untuk mencoba game ini. Walaupun begitu, desain karakter seperti ini menjadi nilai keunikan tersendiri bagi serial God Eater.

Ada beberapa alasan mengapa beberapa orang enggan untuk menyentuh game yang memiliki gaya anime. Salah satunya adalah persepsi bahwa anime Jepang pada zaman sekarang demen banget menampilkan perempuan secara berlebihan. Sayangnya ini membuat God Eater terkesan memanfaatkan hal yang enggak seharusnya dieksploitasi secara berlebihan dan gamblang di gamenya.

 

3. Versi Jepang dan Barat yang berbenturan

Via Istimewa

Beberapa penggemar game God Eater menyayangkan waktu rilis yang berbeda dari versi asli Jepang dan versi Barat yang dirilis untuk audiens global. Hal seperti ini cenderung isu besar untuk game yang memprioritaskan alur cerita seperti God Eater. Apabila game dirilis dalam waktu yang berbeda antara Jepang dengan seluruh dunia, maka ada risiko bahwa para penggemar sudah terlanjur melihat spoiler cerita dari dunia maya. Bermain game yang sudah diketahui ending-nya bakal terasa kurang memuaskan.

Tapi, melakukan perilisan sekaligus secara mendunia justru berisiko kebocoran, apalagi kalau game tersebut sudah cukup tenar. Perilisan secara serentak membutuhkan kesiapan hasil terjemahan, urusan perpajakan, dan koordinasi dengan para distributor game di seluruh dunia. Ketiga tersebut membutuhkan biaya yang enggak sedikit.

 

4. God Eater dirilis pertama kali untuk konsol handheld

Via Istimewa

Kedua judul utama game God Eater masing-masing dirilis pada PlayStation Portable dan PlayStation Vita. Sebenarnya, pengembang Bandai Namco punya alasan yang bagus untuk memilih platform tersebut. Mereka, pada saat itu lebih mengutamakan potensi pasar mereka di Jepang. Baru kali ini saja mereka mencoba untuk merilis game God Eater 3 pada konsol PlayStation 4 dan PC.

Konsol handheld jauh lebih sering dimainkan di negara yang rakyatnya jadi konsumen utama. Bisa saja di Jepang kehadiran konsol handheld punya pasar yang menggiurkan, tapi berbeda dengan belahan dunia lain yang tentunya punya pasar tersendiri. Bandai Namco nampaknya masih ragu merilis game tersebut untuk platform yang lebih populer semisal PC dan konsol modern yang lebih laris secara global. Belum lagi kini kita melihat konten multiplayer yang punya interaksi menarik di God Eater 3!

 

5. Kurangnya inovasi pada judul terbaru mereka

Via Istimewa

Di saat memiliki gameplay yang lebih fast paced ketimbang dengan Monster Hunter, perpindahan God Eater dari konsol handheld menuju konsol non portabel masih kurang signifikan. Salah satu contohnya adalah desain level dalam God Eater 3 yang butuh perkembangan terutama interaksi karakter dengan lingkungan sekitar. Pengembang game seharusnya memanfaatkan potensi hardware pada konsol dan PC semaksimal mungkin.

God Eater memiliki potensi yang besar sebagai serial game monster hunting, selama pengembang game bekerja lebih keras untuk membuat game ini dengan kualitas yang lebih baik. Belum lagi ceritanya hidup dan kini berkembang jadi sesuatu yang memikat. Ke depannya, perlu ada desain yang lebih matang jika Bandai Namco ingin menyediakan game penuh yang punya ekosistem cukup luas buat para pemainnya.

***

Apakah lo salah satu pemain veteran God Eater? Jangan sungkan untuk bagikan pengalaman atau pandangan kalian di kolom komentar, ya! Terus ikutin juga berita atau tulisan menarik lainnya seputar game hanya di kanal KINCIR!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.