*Spoiler Alert: Review serial The Fall oF The House of Usher mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
The Fall of the House of Usher sejatinya adalah judul cerita pendek karya penulis Amerika terkenal, Edgar Allan Poe. Cerita ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 1839 di majalah Burton’s Gentlemen. Pada tahun 1928, cerita ini pun sudah diadaptasi menjadi film pendek bisu berjudul sama dan diarahkan sutradara James Sibley Watson dan Melville Webber.
Mike Flanagan lantas meramu tak kurang dari 8 cerita pendek Edgar termasuk The Fall of the House of Usher menjadi serial 8 episode yang ditayangkan oleh Netflix. Cerita-cerita tersebut masing-masing The Fall of the House of Usher, The Masque of Red Death, Murder in the Rue Morgue, The Black Cat, The Tell-Tale Heart, Goldbug, The Pit and the Pendulum dan The Raven.
Review serial The Fall of the House of Usher
Manusia tak sempurna menurut Edgar Allan Poe dan Mike Flanagan
Pada 19 Januari 1809, seorang bayi terlahir ke dunia dan diberi nama Edgar Allan Poe. Kelak ia menjadi salah satu perintis kisah fiksi detektif dan kriminal yang terus menerus disegarkan dari tahun ke tahun.
Di usia yang baru 18 tahun, Edgar merilis cerita pendeknya perdananya berjudul Tamerlane and Other Poems. Delapan tahun setelahnya ia mempublikasikan drama perdananya berjudul Politian. Dan setelahnya karya-karyanya bermunculan diantaranya yang terkenal adalah The Black Cat, The Raven dan yang baru saja diadaptasi menjadi serial yang tayang di Netflix berjudul The Fall of the House of Usher.
Bagi yang pernah melahap karya-karya Edgar bisa melihat sudut pandangnya yang unik terkait kemanusiaan. Ia selalu mencoba memotret tokoh-tokoh utamanya dengan segala ketidaksempurnaannya yang memikat banyak pembaca, termasuk Mike Flanagan dan juga saya.
Edgar tak pernah ragu memperlihatkan masa lalu yang kelam yang membentuk hidup dari tokoh-tokohnya di masa sekarang. Ia tak pernah takut memperlihatkan bagaimana pergulatan tokoh-tokohnya dengan masa lalu yang sulit dilupakan begitu saja. Tentu ini bisa jadi keunikan sekaligus keberanian Edgar itulah yang membuat karya-karyanya menjadi relevan hingga saat ini.
Edgar terampil meramu soal ketidaksempurnaan manusia dan mencampurbaurkannya dengan misteri hingga supranatural dan kelak menjadi pondasi yang kukuh untuk lahirnya detektif fiksi paling terkenal seperti Sherlock Holmes hingga Hercule Poirot.
Muaknya Mike Flanagan pada orang kaya
Serial The Fall of the House of Usher dianggap oleh sebagian pihak menjadi karya paling menarik, segar, dan berani dari Mike Flanagan. Sebelumnya ia sukses dengan karya-karya seperti The Haunting of Hill House, The Haunting of Bly Manor, Midnight Mass, dan The Midnight Club. Oleh Vulture, karya terbaru Mike ini dianggap “menyajikan penghinaan terhadap orang-orang kaya, muak dengan keegoisan mereka dan kegembiraan atas kematian mereka.”
Vulture juga menganggap Mike menggunakan pendekatan horor atas adaptasi Edgar Allan Poe ini sebagai “sarana untuk eksplorasi diri, menemukan bagian dari diri kita yang terluka dan kemudian mencari cara untuk menyembuhkannya.”
Namun pendekatan berani oleh Mike terutama pada cerita pendek The Fall of the House of Usher yang menjadi pondasi dari keseluruhan serial ini tak dianggap berhasil oleh media lain. Vox menganggap Mike terlalu berani memperlebar isu utama cerita yang berfokus pada soal inses menjadi suatu hal yang terlalu besar terkait krisis opioid di Amerika.
Bagi yang tak membaca karya-karya Edgar Allan Poe yang menjadi basis dari 8 episode serial ini maka mungkin tak akan terlalu terganggu dengan “kelancangan” Mike mengubah tema dan tone cerita secara keseluruhan.
Bahkan bisa saja terasa menjadi lebih relevan di masa sekarang, terutama karena isu serupa pun sudah beberapa kali disinggung dalam sejumlah serial di antaranya Dopesick yang tayang di Disney+ Hotstar dan juga Painkiller yang tayang di Netflix. Krisis opioid menjadi pintu masuk bagi Mike bercerita soal ketamakan, keegoisan yang akhirnya menjadi senjata makan tuan bagi keluarga super kaya yang dinakhodai kakak beradik, Roderick dan Madeline Usher.
Manusia tak sempurna Itu bernama Roderick
Episode perdana serial The Fall of the House of Usher memperkenalkan secara efektif tokoh utama dari cerita ini: seorang laki-laki tua kaya bernama Roderick Usher. Kekayaannya mungkin bisa membeli apa saja dalam hidupnya namun kekayaan itu tak bisa sedikitpun menghilangkan kepedihan dan kegundahan di hatinya.
Hanya dalam waktu 2 minggu, Roderick kehilangan enam anaknya sekaligus dalam berbagai versi kematian yang mengenaskan. Mungkin yang paling menghancurkan hatinya ketika anak yang menjadi pewarisnya, Frederick, juga menjadi korban dari kematian misterius itu.
Dalam kedukaan dan kematian, seseorang bisa jadi merasakan kerapuhan lebih dari biasanya, merasakan ketidaksempurnaan lebih dari biasanya dan merasakan hakikatnya sebagai manusia yang bisa punah kapan saja. Dari hatinya yang terdalam, Roderick tahu itu dan ia ingin menjemput kematiannya dengan membongkar segala rahasia yang selama ini digenggamnya erat-erat.
Maka di depan asisten jaksa yang mendakwanya dengan beragam tuntutan hukum sebelumnya, Roderick memutuskan untuk membuat pengakuan. Ia ingin menceritakan segala kejahatan yang pernah diperbuatnya dan segala hal di balik kematian dari anak-anaknya. Tapi yang paling penting dari semuanya, Roderick mengajak C. Auguste Dupin, si asisten jaksa, untuk menyusuri masa lalu hingga ke masa paling pahit dalam hidup Roderick: ketika ia masih bocah dan dibesarkan oleh ibu tunggal dalam rumah yang serba kekurangan.
Roderick Usher adalah Logan Roy versi horor
Roderick Usher menjadi karakter sentral dari The Fall of the House of Usher yang mau tak mau mengingatkan kita pada sosok Logan Roy dari serial sukses, Succession. Keduanya dikenal mengontrol penuh segala aspek kehidupan anak-anaknya, berani melanggar segala ketabuan dan etika yang dijunjung tinggi dan tak segan-segan bertindak kejam apabila diperlukan.
Tapi sosok Roderick terasa lebih kejam karena Mike memberi ruang besar untuk cerita memasuki masa lalunya, memperlihatkan perkembangannya dari waktu ke waktu dan pada akhirnya bagaimana ia membangun kerajaan bisnisnya yang diyakini telak sukses membuat ratusan ribu nyawa menghembuskan nafas terakhir hidupnya via obat opioid yang diproduksi perusahaannya, Fortunato Pharmaceuticals.
Dengan segala dosa yang dilakukannya di masa lalu, pada akhirnya Roderick tahu bahwa kematian anak-anaknya secara brutal dan misterius adalah sebuah harga mahal yang harus dibayarnya.
Seharusnya harga itu tak perlu dibayar oleh mereka yang disayanginya. Seharusnya ia dan saudarinya, Madeline, yang menerima segala konsekuensinya. Sayangnya dunia bekerja pula secara misterius dan Roderick akhirnya terus diikuti oleh hantu-hantu dari masa lalunya.
Pada akhirnya ia takluk dengan segala keterbatasannya. Pada akhirnya ia akan menyerah dengan segala ketakutan yang menyergapnya tiba-tiba. Tapi di akhir kebebasannya, ia ingin melakukan sebuah cara yang benar. Sebuah cara agar masyarakat bisa melihat dari kacamata berbeda tentang keluarga yang dimilikinya.
Anak jadi tumbal kesuksesan
The Fall of the House of Usher menjadi terasa relevan dan mengerikan bagi kita di Indonesia karena apa yang dilakukan Roderick dan Madeline di masa lalu pada akhirnya menelan korban.
Dalam film terbaru garapan Azhar Kinoi Lubis berjudul Di Ambang Kematian, kisahnya mendasarkan pada cerita nyata tentang seorang laki-laki yang membuat perjanjian dengan iblis demi kekayaan. Pada awalnya bisa saja iblis hanya menginginkan seekor kambing sebagai tumbal tapi kita pada akhirnya tahu bahwa kisah ini tak akan berakhir indah. Satu persatu nyawa hilang menjadi tumbal, dari ibu yang perlahan sakit-sakitan dan kini sang anak yang diteror kematian yang bisa menerkamnya kapan saja.
Mike membuat Roderick dan Madeline juga melakukan hal serupa. Membuat kesepakatan dengan makhluk yang bisa saja adalah iblis yang bisa berubah bentuk menjadi apa saja hanya untuk kekayaan yang tak terbatas. Dan sebagaimana kisah Di Ambang Kematian, kita tahu cepat atau lambat perjanjian ini akan membawa efek mengerikan.
Maka bagi Edgar Allan Poe, juga Mike Flanagan, kekayaan adalah sebuah kelemahan. Sebuah cara yang paling menantang untuk memperlihatkan ketidaksempurnaan manusia. Bahwa di balik kekayaan yang tak terbatas selalu ada konsekuensi dengan tenggat waktu. Sebuah konsekuensi yang bisa meledak sewaktu-waktu seperti bom.
Dan kita pun teringat kata-kata yang dilontarkan Edgar ratusan tahun lalu. “You will observe that the stories told are about money-seekers, not about money-finders.”