*Spoiler alert: Review film dokumenter In The Name of God: A Holy Betrayal (2023) ini mengandung bocoran yang mungkin mengganggu kenyamanan kamu dalam menonton.
Berbagai literatur yang merujuk kepada Alkitab menyebutkan adanya tujuh dosa utama bagi umat manusia –atau yang dikenal sebagai 7 Deadly Sins. Dosa-dosa itu antara lain kesombongan (pride), kemarahan (wrath), ketamakan (greed), kedengkian (envy), kerakusan (gluttony), kemalasan (sloth), dan hawa nafsu (lust). Dosa utama itu akan membuat manusia melakukan dosa lain, merugikan orang lain, menghancurkan dirinya sendiri dan menghancurkan tatanan masyarakat.
Sayangnya, tujuh dosa utama ini begitu nampak pada diri empat pemuka agama dan sekte yang diulas dalam dokumenter kontroversial Korea Selatan bertajuk In the Name of God: A Holy Betrayal yang dirilis di Netflix. Dokumenter ini bahkan membuat Cho Sung-hyun, sang sutradara, mendapatkan teror dari banyak pihak.
Terdapat empat sekte keagamaan yang diulas dalam dokumenter dengan total 8 episode ini. Pertama, gereja JMS, Five Oceans, The Baby Garden, dan Manmin. Dua di antaranya, yakni Jeong Myeong-seok (JMS) dan Lee Jae-rock (Manmin) betul-betul menampilkan diri mereka sebagai bagian dari Kristus. Sementara itu, Park Soon-ja (Five Oceans) dan Kim Ki-sook (The Baby Garden) memberikan nuansa kultus baru yang enggak kental akan nuansa suatu agama tertentu.
Dokumenter menggabungkan tiga hal untuk meramu sinematografi film. Pertama adalah footage asli tentang kegiatan kultus, yang kedua wawancara dengan korban, saksi, dan pihak terkait seperti polisi, dan yang ketiga adalah ilustrasi.
Ketiganya dikombinasikan dengan maksud agar kisah dapat disampaikan dengan utuh, karena ada banyak kejadian traumatis yang hanya bersumber dari rekaman suara atau kesaksian, tanpa foto atau video sama sekali.
Review film dokumenter In The Name of God: A Holy Betrayal
Pembuka yang baik, tapi traumatis
Memang agak tricky saat sutradara memutuskan untuk meletakkan kasus JMS di episode awal. Kasus GMS adalah kasus paling gila, menjijikkan, dan skalanya jauh lebih besar. Standar kengerian ini terlalu tinggi, sehingga bila kasus lain enggak sengeri itu, kita jadi kepengin nge-skip.
Pendeta Jeong Myeong-seok punya kemampuan persuasi dan kepercayaan diri yang luar biasa, sehingga ia mampu mengemas banyak hal menjadi seolah fakta yang tertunda.
Ia punya kemampuan seperti conman profesional. Banyak kejadian yang sebetulnya bisa disimpulkan dengan logis, tetapi dibuat seolah hanya ia yang tahu karena ia mampu meramal. Dengan begitu, banyak jemaat yang percaya jika dia adalah Mesiah bahkan Yesus kedua. Enggak tanggung-tanggung, ia bahkan bisa mengumpulkan jemaat intelek dari berbagai universitas unggulan, kantor prestis, hingga melebarkan sayap ke luar Korea Selatan.
Di balik itu, Myeong-seok adalah seorang predator seksual. Terdapat ratusan korban perempuan yang dimanipulasi sedemikian rupa sehingga dilecehkan bahkan diperkosa olehnya. Myeong-sok menggunakan istilah mempelai Tuhan agar mereka nurut dengan perintah Myeong-sok.
Kisah lain yang enggak kalah mengerikan ada pada Five Oceans (episode ke-4), yang digawangi oleh Park Soon-ja. Bermodalkan perusahaan yang ternyata bodong, Park Soon-ja berhasil menipu banyak orang dan membuat self-branding seolah-olah ia mengurus anak yatim-piatu.
Setelah kedoknya ketahuan, money game yang ia buat meninggalkan banyak utang dan membuat ia serta pengikut setianya bunuh diri massal di sebuah gedung.
Kemudian, cerita yang lebih sadis ada pada sekte Kim Ki-soon. Perempuan yang kini diduga masih mengelola label rekaman Synnara Records ini membuat sekte dan memanipulasi para pengikut agar mau menurutinya.
Bahkan, saking gilanya, ia menyiksa beberapa orang di kandang babi, termasuk anak-anak hingga mati. Kegilaan ini bisa terjadi lantaran para pengikutnya mengalami cinta buta dan karena Kim Ki-soon memang enggak waras.
Film pun terakhir ditutup dengan kisah pendeta penjudi Lee Jae-rock yang membuat standar keimanan sendiri, mengatakan kepada banyak orang bahwa ia adalah titisan malaikat yang bercahaya, serta mendulang banyak harta dan melakukan pelecehan seksual –walau enggak sebanyak Jeong Myeong-seok.
Penghubung antarkasus agak kasar
Jika suatu dokumenter hanya mengulas satu tokoh kontroversial, mungkin pembuatannya akan lebih gampang karena sineas hanya perlu berfokus pada satu tokoh itu. Saat tokohnya banyak, sineas punya PR yang lebih serius. PR itu ialah memberikan koneksi yang kuat di dalam karya sehingga penonton paham mengapa beberapa orang ini diulas secara bersamaan dalam satu karya.
Penghubung dalam dokumenter ini jadi enggak smooth karena episode yang enggak imbang. JMS mendapatkan 3 episode, Five Oceans 1 episode, The Baby Garden 2 episode, dan yang terakhir Manmin 2 episode. Ini membuat fokus penonton lebih kuat ke JMS ketimbang ke Five Oceans, bahkan dua kasus lainnya. Padahal, jelas ada 4 tokoh yang akan dibahas. Memang, kasus JMS lebih heboh secara internasional, korbannya jauh lebih banyak, pengaruhnya jauh lebih besar. Namun, itu enggak dijelaskan dalam film ini dan terlepas bahwa ia adalah pembuka yang baik, koneksinya minim ke episode lain.
Pemberian porsi episode yang lebih banyak bukan masalah kalau penghubungnya jelas. Masalahnya, dari satu kasus ke kasus lain, enggak ada penghubung yang jelas. Satu kasus selesai tanpa closure yang nyaman dan tiba-tiba kita beralih ke kasus lain, seperti menonton dokumenter baru.
Ada contoh baik sebuah dokumenter yang mengulas banyak kasus, tetapi dapat menjadi satu kesatuan, yakni How to Become a Tyrant (2021). Dokumenter ini mampu mengupas banyak tiran di dunia dengan latar berbeda, tetapi enggak membuat setiap episodenya serasa dokumenter yang berbeda. Mereka terasa seperti satu kesatuan yang kuat, menggugah penonton mengenai betapa dunia enggak baik-baik saja saat relasi kuasa disalahgunakan.
Penghubung yang kurang ini membuat setiap episode terasa berceceran, sehingga kita pun enggak mendapatkan satu kesimpulan umum –kecuali bahwa ada empat orang jahat yang menyalahgunakan agama di Korea Selatan.
Pemilihan narasumber yang memperkuat cerita
Emosi para narasumber sangat terasa di dokumenter ini. Rasanya, kita jadi memahami kesedihan, trauma, dan kemarahan mereka atas orang lain dan diri sendiri. Mereka memberika nuansa emosi yang tepat dan membuat penonton seolah merasakan apa yang mereka rasakan.
Pemilihan tokoh-tokoh untuk diwawancarai sangat tepat, karena bukan hanya korban atau saksi, mereka memilih beberapa pihak yang netral: pengamat hingga polisi yang terlibat. Jadi, penonton pun memahami kasus ini dari banyak sisi.
Footage creepy dengan scoring pas-pasan
Perlu diingat bahwa ini bukan tontonan yang menyenangkan dan sutradara berhasil membuatnya semakin enggak menyenangkan lewat pencahayaan redup, kemarahan para narasumber, dan footage-footage lawas yang creepy.
Footage-footage makin terasa creepy dengan ornamen-ornamen megah bak surga mainan diterapkan oleh setiap ketua sekte dan bagaimana kamera lawas mengabadikannya. Perasaan enggak nyaman ini masih berlanjut karena footage-footage dikombinasikan dengan ilustrasi penuh kekerasan.
Untuk dokumenter yang bertujuan membuka mata masyarakat mengenai relasi kuasa yang disalahgunakan, ini pilihan tepat. Setelah menonton dokumenter ini, ada perasaan emosi yang rasanya ingin disalurkan. Maka, enggak mengherankan jika dokumenter ini kemudian membuat Synnara Records di-banned banyak penggemar K-Pop.
In The Name of God: A Holy Betrayal juga membuat masyarakat Korea Selatan mempertanyakan rendahnya hukuman beberapa oknum sekaligus membuat mereka semakin melek akan banyaknya relasi kuasa yang disalahgunakan di berbagai tempat.
Pilihan footage yang baik ini sebetulnya enggak bisa dilepaskan dari peran para pelaku. Dalam khotbah-khotbahnya, mereka dengan gamblang mengatakan hal-hal gila seperti hitungan tahun turunnya Mesias, tingkat keimanan, hingga pengakuan bahwa mereka adalah perwujudan Tuhan di dunia.
Sayangnya, scoring yang dipakai kurang nendang. Scoring-nya enggak memunculkan emosi apa-apa. Bahkan, dihilangkan pun seolah enggak memengaruhi nuansa sama sekali.
Pada beberapa titik, kita seperti melihat presentasi, bukan film secara utuh. Mungkin karena jualannya adalah cerita masing-masing tokoh agama sesat yang mengerikan. Sayangnya, kehilangan scoring yang mumpuni bikin kita jadi agak jauh dengan pengalaman si korban.
***
Dokumenter In the Name of God: A Holy Betrayal adalah bukti bahwa pemujaan berlebih pada manusia dapat memicu banyaknya kejahatan serius yang timbul. Bahkan, para manusia enggak bertanggung jawab ini bisa menyalahgunakan agama dan menistakan ajaran agama demi nafsu dan kepentingan mereka sendiri.