*Spoiler Alert: Review film Pinocchio mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
Selama 12 tahun belakangan, Disney cukup aktif menggarap film live action yang diadaptasi dari film animasi klasik mereka. Setelah merilis film live action Cruella (2021) yang diadaptasi dari film animasi One Hundred and One Dalmatians (1961), Disney baru saja merilis film live action Pinocchio yang diadaptasi dari film animasinya yang dirilis pada 1940.
Film live action Pinocchio digarap oleh Robert Zemeckis, sosok yang telah menghasilkan banyak film ikonis, di antaranya seri film Back to the Future, Who Framed Roger Rabbit (1988), dan film-film lainnya. Menariknya lagi, Pinocchio dibintangi salah satu aktor terbaik Hollywood, yaitu Tom Hanks, yang berperan sebagai Geppetto atau ayahnya Pinocchio.
Pinocchio berkisah tentang Geppetto, seorang tukang kayu, yang membuat boneka kayu, bernama Pinocchio, yang dibuat menyerupai anaknya yang telah meninggal. Pada suatu malam, Geppetto mengucapkan permintaan kepada bintang bahwa dia menginginkan seorang anak laki-laki. Permintaan Geppetto dikabulkan oleh Blue Fairy dengan menyihir Pinocchio menjadi hidup.
Review film Pinocchio
Tampilkan modifikasi cerita yang enggak semua perubahannya tepat sasaran
Secara garis besar, cerita yang ditampilkan Pinocchio versi live action sebenarnya cukup mirip dengan animasinya. Mulai dari Geppetto yang mendambakan anak laki-laki, perjalanan Pinocchio untuk bisa menjadi anak manusia, hingga bagaimana Pinocchio menyelamatkan Geppetto dari monster laut raksasa bernama Monstro. Intinya, momen-momen penting yang ada di film animasi Pinocchio dibawa kembali ke versi live action-nya.
Namun seperti kebanyakan film-film live action adaptasi Disney sebelumnya, tentunya ada modifikasi pada jalan cerita Pinocchio. Ada beberapa modifikasi cerita yang cukup berhasil, khususnya pada adegan bagaimana Pinocchio dan Geppetto bisa berada di dalam perut Monstro, serta ending yang berbeda dengan film animasinya. Sayangnya, lebih banyak modifikasi cerita yang malah merusak pesona film orisinalnya.
Salah satu hal yang paling disayangkan adalah minimnya penampilan Blue Fairy di versi live action. Blue Fairy hanya muncul sekali ketika dia menghidupkan Pinocchio dan menugaskan Jiminy Cricket sebagai hati nuraninya Pinocchio. Sama sekali tidak ada adegan yang memperlihatkan Blue Fairy mengajarkan tentang kebohongan kepada Pinocchio. Anehnya, Jiminy langsung tahu begitu saja bahwa Pinocchio sedang berbohong ketika hidung boneka kayu tersebut memanjang.
Selain menampilkan cerita yang dimodifikasi, Pinocchio versi live action juga menampilkan beberapa karakter baru yang tidak ada di versi animasinya. Ada satu karakter baru, bernama Fabiana, yang sebenarnya punya potensi besar. Sayangnya, kehadiran Fabiana enggak dimanfaatkan dengan baik, sehingga dia tidak punya dampak besar pada jalan ceritanya. Jadi, buat apa menambah karakter baru yang pada akhirnya tidak dimanfaatkan dengan baik?
Kualitas efek visual yang enggak konsisten
Walau berembel-embel live action, penggunaan CGI jelas terlihat begitu dominan pada pengaplikasian efek visual di Pinocchio. Jika kita kilas balik ke film animasinya, enggak heran, sih, bahwa versi live action-nya pasti membutuhkan CGI untuk bisa menghidupkan beberapa momen penting dalam filmnya. Sayangnya, kualitas CGI yang ditampilkan sepanjang film Pinocchio terlihat tidak konsisten.
Pada bagian awal hingga akhir film, kualitas CGI yang ditampilkan masih terlihat cukup baik. Namun begitu masuk penghujung film ketika Pinocchio menyusul Geppetto yang sedang berlayar, kualitas CGI-nya mulai terlihat memburuk. Latar langit dan laut yang berada di belakang Geppetto terlihat begitu palsu.
Kualitas CGI pun semakin parah ketika Pinocchio dan Geppetto berusaha kabur dari kejaran Monstro, setelah mereka berhasil keluar dari perut monster tersebut. Gerakan ombak besar yang dihasilkan oleh Monstro terlihat begitu palsu dan kualitasnya seperti film fantasi yang dirilis pada era 1990-an dan awal 2000-an. Kualitas efek visual yang enggak konsisten mungkin jadi alasan mengapa film ini tidak ditayangkan di bioskop.
Perubahan ending yang terasa lebih menyentuh
Seperti yang telah disebutkan pada poin pertama, Pinocchio versi live action menampilkan cerita yang mengalami modifikasi. Salah satu perubahan besar yang ditampilkan film ini adalah ending yang sangat berbeda dari film animasinya. Di versi animasi, Pinocchio sempat dikira mati setelah berhasil kabur dari Monstro. Namun di versi live action, Geppetto-lah yang malah dikira meninggal setelah berhasil kabur dari Monstro.
Kamu yang pernah menonton film animasi Pinocchio pastinya tahu bahwa boneka kayu tersebut akhirnya bertransformasi menjadi anak manusia di akhir film. Namun di versi live action, penonton disuruh membuat interpretasi sendiri, apakah Pinocchio tetap menjadi boneka kayu atau berubah menjadi anak manusia seperti film animasinya.
Walau nasib Pinocchio sebagai anak manusia dibuat menggantung, ending versi live action malah terlihat lebih menyentuh daripada animasinya. Soalnya, ending versi live action memberikan pesan yang mendalam tentang saling menerima satu sama lain dan terasa lebih relevan untuk kondisi masa kini. Walau banyak hal yang kurang memuaskan, seengaknya film ini ditutup dengan hal yang menyentuh.
***
Pinocchio menambah daftar film live action adaptasi animasi Disney yang kurang memuaskan. Sebenarnya enggak ada yang salah dengan perubahan cerita, sayangnya versi live action ini malah menghilangkan beberapa adegan penting yang ada di versi animasinya. Kehadiran Tom Hanks bahkan tidak terlalu membantu mengangkat film ini.
Setelah baca review film Pinocchio, apakah kamu jadi tertarik menonton film ini? Buat yang sudah menonton, jangan lupa bagikan pendapat kamu tentang film ini, ya!