– Marsinah, sebagai film semidokumenter, sejauh mana memaparkan fakta dan sejarah?
– Ketika di awal 2000-an film Indonesia didominasi genre drama dan romantika, film ini hadir dengan kontroversi, tetapi juga menuai prestasi.
Gejolak protes buruh selalu bergelora setiap 1 Mei. Kita tentu tahu bahwa tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Buruh. Namun, enggak banyak yang tahu kisah di balik penetapan tanggal tersebut.
Di Eropa dan Amerika, Mei adalah bulan yang indah dan penuh harapan. Bulan kelima ini merupakan gerbang dari musim semi yang sejuk. Dulu, orang Eropa bahkan merayakannya dengan festival-festival Pagan. Namun, semenjak dua ratus buruh di Haymarket, Amerika Serikat, turun ke jalan pada Mei 1886 karena menuntut jam kerja sepanjang delapan jam, budaya tersebut berubah.
Layaknya Amerika Serikat dan Eropa, Indonesia juga punya cerita khusus bagaimana kelas pekerja memperjuangkan hak mereka. Gambaran kelas pekerja Indonesia di bulan Mei dinodai dengan kasus yang menimpa Marsinah. Sudah beberapa tahun berlalu semenjak kematian Marsinah, tetapi sosoknya enggak pernah dilupakan. Bahkan, kisahnya diangkat dalam sebuah film dokumenter berjudul Marsinah: Cry Justice yang dirilis pada 2001.
Lantas, seberapa jauh film garapan Slamet Rahardjo tersebut mengungkap kisah Marsinah? Bagaimana realita yang digambarkan? Apakah pesan yang disampaikan dalam film tersebut senada dengan perjuangannya dalam mencari keadilan? Berikut bahasan mendalamnya!
Marsinah, Sosok Legenda dari Sejarah Kelam Indonesia
Marsinah adalah seorang buruh pabrik yang diculik dan dibunuh secara sadis.
Kematian Marsinah bukanlah sebuah kecelakaan. Dia diduga merupakan korban dari pembunuhan berencana yang melibatkan hak-hak buruh.
Ada banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa itu. Lantas, mengapa sosoknya begitu legendaris? Anak-anak generasi 1990-an pastinya sudah enggak asing lagi dengan poster film Marsinah yang beredar di bioskop pada 2001. Begitu besarnya perhatian para aktivis dan masyarakat kepada sosok Marsinah sehingga Slamet Rahardjo pun mengabadikan kisahnya dalam film berjudul Marsinah: Cry Justice.
Marsinah merupakan buruh di PT Catur Putra Surya, Porong, Sidoarjo. Marsinah lahir pada tahun 1969 di Nglundo, Jawa Timur, sehingga usianya saat meninggal dunia adalah 24 tahun. Muda banget, kan? Setelah lulus dari SMA Muhammadiyah, Marsinah langsung bekerja. Awalnya dia ingin menjadi guru. Karena keterbatasan biaya, akhirnya dia enggak berkuliah dan memutuskan buat bekerja.
Dialah penggerak demonstrasi buruh yang terjadi pada 3—4 Mei 1993 demi menuntut kenaikan upah dari Rp1.700,00 hingga Rp2.250,00, sesuai dengan surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992, yakni kewajiban perusahaan buat menaikkan upah buruh sebesar 20%.
Dari demonstrasi tersebut, 13 orang buruh yang diduga provokator ditangkap dan dibawa ke Komando Distrik Militer Sidoarjo. Marsinah langsung bertolak ke markas untuk mencari tahu kondisi rekan-rekannya. Sayangnya, dia hilang hingga ditemukan pada 8 Mei 1993 dalam keadaan terbujur kaku di tengah hutan Nganjuk.
Pesan Senada dari Sudut Pandang Berbeda
Film ini berjudul Marsinah, tetapi kisahnya justru cenderung bercerita mengenai sosok Mutiari. Dikisahkan, Mutiari adalah kepala personalia di PT CPS yang diciduk dan dipaksa mengaku sebagai salah satu dalang pembunuhan Marsinah.
Selain melihat betapa represifnya oknum-oknum tertentu kepada Mutiari, kita juga bakal melihat kasus ini dari sudut pandang tokoh bernama Heri. Suami Mutiari tersebut mencari keberadaan sang istri dengan segala cara di tengah tekanan keluarga yang mendesak Heri menceraikan Mutiari.
Tentu saja beberapa adegan dibuat lebih dramatis ketimbang aslinya sehingga kita mampu merasakan kegetiran hidup Mutiari dan Heri. Akan tetapi, apa yang dilakukan Heri untuk mencari sang istri itu nyata. Penyiksaan yang dilakukan kepada Mutiari juga nyata, bahkan sampai dia keguguran.
Meski menyoroti kisah Mutiara dan Heri, film ini tetap menyajikan latar yang sesuai dengan catatan sejarah, seperti yang diungkapkan oleh Slamet Rahardjo sebagai sutradara. Misalnya saja penangkapan kawan-kawan Marsinah yang dianggap sebagai provokator demonstrasi buruh. Mereka dicap PKI.
Bingung apa hubungannya demonstrasi buruh dengan label PKI? Bukannya demonstrasi justru merupakan salah satu elemen demokrasi? Memang tuduhan itu terkesan enggak nyambung dan beberapa penonton bakalan merasa hal ini cuma bumbu dramatisasi. Kenyataannya, di masa tersebut, hampir semua orang yang dianggap mengganggu stabilitas negara bakal dicap sebagai PKI.
Setiap bangsa tentu punya momok tertentu dan momok negara ini adalah PKI. Setiap hal yang pada saat itu melawan pemerintah bakal selalu dikaitkan dengan masa kelam 30 September 1969. Pada masa itu, Hari Buruh juga dianggap sebagai sebuah tindakan berelemen komunis.
Dilansir Tempo, salah seorang buruh yang ditangkap di Koramil mengaku bahwa oknum penangkapnya berkata, “Kalian menghalangi niat orang dalam bekerja (dengan demo), itu sabotase. Itu cara PKI.”
Selain tuduhan PKI, ada satu hal yang banal dan enggak asing lagi di film itu: penangkapan para buruh oleh oknum-oknum berbaju preman. Klise ataupun enggak, nyatanya, memang itu yang terjadi di dalam film Marsinah.
Para buruh yang dianggap sebagai provokator demonstrasi ditangkap oleh para oknum militer dengan baju preman. Kenyataannya, mereka semua memang ditangkap bahkan tanpa surat penangkapan.
Poin ini menjadi hal paling penting dan paling disorot dalam film Marsinah. Soalnya, tanpa adanya penangkapan itu, Marsinah enggak akan pernah ke markas dan dia enggak akan diculik oleh orang-orang tak dikenal kemudian dibunuh. Marsinah bermaksud mencari keadilan untuk rekan-rekannya, tetapi hal tersebut malah mengorbankan nyawanya sendiri.
Akhir Kisah yang Penuh Keputusasaan
Dalam film, diceritakan bahwa Mutiari dan kawan-kawannya dituduh bersalah. Mutiari bahkan disidang duluan sebagai bentuk ‘hukuman’ terhadap sang suami yang bersikeras mempraperadilankan pihak militer. Mereka kemudian dibebaskan dua tahun kemudian karena enggak cukup bukti.
Adegan sidang sedikit dibuat dramatis, tetapi memang itulah yang terjadi. Bahkan, ada rumor beredar bahwa mereka sengaja disidang untuk menutupi para dalang asli dan untuk memberi kesan seolah-olah negara pada saat itu memang mau mencari keadilan untuk Marsinah. Sejak setelah jenazah Marsinah ditemukan, banyak kejanggalan terjadi, mulai dari aparat yang seolah bertindak terlalu cepat hingga keikutsertaan orang-orang dengan jabatan tinggi guna mengusut kasus tersebut.
Film ditutup dengan adegan kakak Marsinah, Marsini, yang melihat tumpukan koran seraya meratapi nasib, bertanya-tanya siapa pembunuh sang adik? Tentu saja adegan ini adalah bumbu untuk menyampaikan rasa putus asa kepada para penonton.
Marsini benar-benar enggak pernah melupakan kasus tersebut dan hingga kini masih mencari dalang di balik pembunuhan adiknya. Dia nyaris putus asa karena Marsini hanya ‘orang kecil’. Namun, dukungan dari banyak orang menguatkannya. Apalagi, zaman dulu, dia dan anggota keluarga juga sempat dicurigai sebagai pembunuh Marsinah.
Marsinah mungkin hanyalah satu dari sekian buruh yang mendapatkan represi di masa itu. Namun, keberaniannya patut dikenang. Dia disiksa, diperkosa, dan dibunuh. Bahkan, siapa pembunuhnya masih menjadi misteri sampai sekarang.
“Keindahan” Sinematik Film Marsinah: Cry Justice
Film Marsinah layak untuk ditonton bukan hanya karena mengangkat sosok pahlawan fenomenal. Lebih dari itu, film semidokumenter ini memiliki konsep yang menarik. Acap kali film menampilkan sosok Marsinah, visual hadir dalam rupa hitam-putih sebagai penunjuk perjalanan waktu ke masa lalu.
Ada tantangan tersendiri saat menyatukan dua konsep adegan dalam film dan apa yang dilakukan untuk Marsinah bisa dikatakan berhasil dengan penggarapan alur yang rapi. Adegan hitam-putih itu bergantian dengan adegan penyiksaan para tersangka yang diduga hanyalah kambing hitam demi menutupi pelaku yang sebenarnya.
Uniknya lagi, film ini tidak melibatkan bintang-bintang film terkenal. Padahal, dengan nama besar Slamet Rahardjo, bisa saja dia merekrut pemain-pemain besar di masa itu, seperti Dian Sastrowardoyo, Adinia Wirasti, atau Marcella Zalianty.
Nyatanya, pilihan Slamet Rahardjo untuk enggak melibatkan bintang-bintang bernama cukup tepat. Para pemain menunjukkan kualitas akting yang tidak kalah dibandingkan dengan aktor dan aktris Indonesia awal 2000-an. Megarita, seorang aktris lulusan IKJ, bahkan dinilai mampu menjiwai peran Mutiari.
Berkat ketiadaan bintang-bintang besar, film Marsinah terasa seperti proyek idealis dan nuansa itu masih terasa hingga sekarang. Di luar cerita yang penuh kontroversi, Marsinah menoreh prestasi sebagai sebuah tayangan sinematik. Dalam Festival Film Indonesia 2004, film ini mendapatkan banyak nominasi, mulai dari “Film Terbaik”, “Sutradara Terbaik”, “Aktor Terbaik”, “Aktris Pendukung Terbaik”, “Skenario Terbaik”, “Sinematografi Terbaik”, sampai dengan “Penata Artistik Terbaik”.
Memboyong penghargaan “Penata Artistik Terbaik” (Berthy Linda Ibrahim), Marsinah benar-benar total dalam menghidupkan kembali masa lalu melalui latar, kostum, dan elemen-elemen lainnya. Enggak main-main, film ini bahkan melewati proses pascaproduksi di dua studio, yakni di Jakarta dan Bangkok.
Meski sudah cukup lawas, Marsinah tetap cocok kalian tonton di zaman sekarang. Film ini, terlepas dari keputusan sutradara untuk “main aman” dalam membuat alur cerita, enggak cuma bercerita tentang perjuangan buruh, tetapi juga jadi pengingat bahwa di dunia ini ada banyak kebenaran yang harus diperjuangkan.
Kontroversi Produksi Film Marsinah
Terlepas dari kesuksesannya, ada beberapa kontroversi terkait film yang mencatat skor 7,5 di IMDb ini. Salah satunya adalah protes dari Jacob Nuwa Wea, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada era Presiden Megawati. Dalam wawancara bersama Tempo, lulusan Akademi Ilmu Perburuhan ini mengritik cara Slamet Rahardjo dalam mengangkat film Marsinah.
Jacob mengatakan bahwa sosok Marsinah hanyalah sebagai tempelan di film ini. "Film ini terlalu menonjolkan sosok Mutiari, Kepala Personalia CPS. Padahal, dia penyebab tidak beresnya hak-hak buruh. Sebagai kepala personalia, harusnya dia menjalankan undang-undang yang menjamin hak buruh (uang makan, uang transportasi, dan sebagainya)." Jawaban itu kemudian diiyakan rekan-rekannya yang berada di satu ruangan dengannya saat wawancara.
Di sisi lain, sastrawan Leila S. Chudori, lewat blognya, mengatakan bahwa 'kritik' banyak orang di Indonesia tentang penggunaan sudut pandang Mutiari itu wajar. Soalnya, masyarakat Indonesia masih terbiasa dengan pendekatan biografis.
Leila juga mencatat bahwa Slamet Rahardjo yang bertindak sebagai sutradara sekaligus salah satu penulis skenario menyebutkan bahwa dirinya membuat film tersebut berdasarkan data. Itulah alasan kenapa dia menggunakan sudut pandang Mutiari, bukannya secara lengkap mengulas kejadian yang dialami Marsinah apalagi menggunakan konsep detektif dengan tema "mencari pembunuh Marsinah." Intinya, Slamet enggak mau menghakimi, enggak mau menyimpulkan, dan hanya mau menyajikan fakta.
Kondisi ini jelas berbeda dengan film JFK-mya Oliver Stone. Meskipun sudut pandangnya sama-sama bukan dari korban, tetapi Stone menambahkan bumbu teori konspirasi yang enggak jelas benar dan salahnya. Marsinah lebih dekat dengan kenyataan karena Mutiari jelas masih hidup setelah kejadian itu dan Slamet enggak memberikan spekulasi mengenai pembunuhnya.
Selain perdebatan mengenai unsur intrinsik, kontroversi lainnya hadir dari tuntutan oknum angkatan bersenjata. Diberitakan Tempo, mantan Kepala Seksi (Pasi) Intel Komado Distrik Militer (Kodim) 0816/Sidoarjo, Mayor (Inf) Sugeng, sempat punya niat melancarkan somasi kepada PT Gedam Sinemuda Perkasa, rumah produksi film ini. Dia mengancam bakal menggugat film besutan sutradara Slamet Rahardjo tersebut apabila film itu menyebut-nyebut namanya dan nama Markas Kodim Sidoarjo.
Sebelumnya, Sugeng memang sempat dicurigai sebagai pelaku pembunuhan karena di ruang kerjanya ditemukan ceceran darah yang diduga darah Marsinah. Namun, Sugeng yang saat itu berpangkat Kapten membantah semua tuduhan dan mengaku punya alibi berada di rumahnya saat Marsinah dibunuh.
Kebenaran soal kasus ini terus mengabur, bahkan sampai sekarang. Kita juga enggak tahu apakah mereka yang harusnya bertanggung jawab masih hidup atau udah meninggal dunia. Yang jelas, meskipun kebenaran masih tidur, film Marsinah: Cry Justice seakan mengingatkan kita betapa ketidakadilan masih terjadi di dunia ini.
Apa kalian sudah menonton film ini? Coba utarakan pendapat kalian di kolom komentar dan ikuti terus KINCIR untuk informasi berikutnya soal film!
Demi menjaga kesehatan, kalian juga perlu gunakan masker ketika bepergian. Masker di bawah ini membuat penampilan kalian makin trendi. Langsung saja beli di sini, ya!