*(SPOILER ALERT) Artikel ini mengandung sedikit bocoran film yang semoga saja enggak mengganggu buat kalian, ya.
Kemajuan teknologi enggak cuma bikin film-film fiksi ilmiah sekarang jadi lebih futuristik. Bahkan, film horor pun ikut kena cipratannya. Film Happy Death Day 2 U (2019) pun diketahui sempat berbelok ke ranah fiksi ilmiah dengan adanya mesin waktu yang bikin karakternya pindah ke dunia paralel. Film ini tayang mulai 1 November 2019.
Jadi, enggak heran juga, nih, masih suasana Halloween, STX Entertainment merilis Countdown dengan premis yang menyinggung kemajuan teknologi. Sebelum KINCIR bahas, lihat dulu trailer-nya di bawah ini.
Countdown membawakan kisah seorang cewek yang enggak terima mengetahui waktu kematiannya hanya beberapa hari lagi, apakah film ini cukup horor buat bikin kalian takut kematian?
Lihat dulu ulasan dari KINCIR berikut.
Kutukan Berlatar Teknologi
Ada aplikasi yang kabarnya bisa menebak waktu kematian kalian. Kalau ada aplikasinya, kalian mau unduh? Atau kalian justru merasa itu sebuah kekonyolan belaka? Akan tetapi, di Countdown, para remaja yang lagi asyik berpesta enggak peduli.
Mereka menganggap aplikasi ini sebagai gimmick buat seru-seruan selama berpesta. Enggak disangka, seorang teman mereka yang disebut bakal meninggal beberapa jam lagi justru meninggal secara misterius.
Enggak berhenti sampai di situ, Quinn Harris (Elizabeth Lail), seorang perawat baru, juga enggak kalah penasarannya sama aplikasi ini. Tokoh utama kita ini tanpa diragukan lagi mengunduh aplikasi Countdown buat melihat waktu kematiannya. Di luar dugaan, dia “dijadwalkan” meninggal dalam dua hari lagi dari waktu dia memasang aplikasi.
Quinn ingin menganggapnya sebagai lelucon, tapi dia terus menerus mengalami kejadian aneh yang bikin dia percaya bahwa aplikasi Countdown itu nyata. Dari sinilah kalian bakal diajak percaya bahwa aplikasi semacam itu memang ada. Jadi, ini semacam kutukan berlatar teknologi.
Horor komedi yang Kurang Mengalir
Sejak awal, sutradara Justin Dec memang agaknya enggak mau membuat Countdown jadi film horor yang gloomy banget. Namun, film ini justru mau menciptakan kontras antara kehidupan sehari-hari yang biasa aja dengan situasi horor yang membayang-bayangi para tokohnya.
Makanya, beberapa bagian diselingi sama unsur komedi yang bikin kalian sedikit rileks, meski sebetulnya film ini juga enggak bisa menegangkan di bagian yang seharusnya intens. Bahkan, di bagian yang seharusnya horor pun, terselip kekonyolan dari tokohnya.
Sayangnya, enggak kayak Happy Death Day 2U (2019) yang bisa tampil menyenangkan secara alami, unsur komedi dalam film ini malah jadi kayak tempelan aja. Quinn enggak kayak Tree di Happy Death Day yang memang “anak gaul” yang seru dan bodo amat. Jadi, memasukkan unsur komedi dalam film ini malah bikin perwatakannya hilang.
Masih Main-main dengan Jumpscare
Countdown bisa dibilang sulit jadi sebuah film horor yang asyik dinikmati karena masih main-main sama jumpscare yang monoton. Unsur jumpscare yang harusnya jadi lonjakan sedikit demi sedikit dan membangun ketegangan terlalu mudah ditebak dalam film ini. Dari sudut pandang kamera sampai scoring yang berlebihan, kalian malah dimanjakan sama detail besar yang jadi petunjuk buat keterkejutan yang disiapkan selanjutnya.
Meski punya premis yang cukup baru, karena membawa aplikasi yang bisa menebak waktu kematian, berlomba buat mengakali kematian bukan tema yang baru. Kalau kalian familier sama Drag Me to Hell (2009) garapan Sam Raimi (Evil Dead), kalian juga pasti udah punya bayangan bakal kayak apa akhirnya film ini. Ya, mencari cara buat mengembalikan kutukan, melawan iblis yang penuh tipu muslihat.
Jika Drag Me to Hell bisa berhasil dengan jumpscare dan plot yang saat itu orisinal, Countdown bisa dibilang terlambat 10 tahun. Kalau memang mau tampil orisinal, Countdown bisa aja bermain dengan premisnya, yaitu bagaimana sebuah aplikasi bisa begitu memengaruhi sendi kehidupan manusia. Daripada malah membawa-bawa iblis dan kutukan, rasanya bakal lebih esensial kalau unsur horor dari teknologi itulah yang diangkat.
Versi modern Final Destination
Countdown jadinya malah lebih kelihatan kayak Final Destination versi modern dengan sedikit sentuhan Drag Me to Hell. Kalau Final Destination mengakali kematian dengan cara membaca tanda-tandanya, film ini mengakali kematian dengan memutus kutukan dan mengakhiri circle.
Jadi, premisnya Final Destination–esque, klimaksnya Drag Me to Hell–esque. Akan tetapi, intinya tetap mengakali kematian. Meski film ini juga memasukkan isu pelecehan seksual dan masalah keluarga, semua malah jadi kelihatan enggak penting.
Durasi 90 menit bukannya diisi sama perkembangan karakter dan plot yang berarti, malah dipenuhi jumpscare di sana-sini. Kalau kalian suka film horor yang penuh jumpscare, kalian mungkin bakal menikmati film ini sebagai film horor yang bikin deg-degan. Akan tetapi, kalau kalian tipe yang mencari cerita yang menarik dengan para karakter terlibat sepenuhnya, berarti film ini bukan buat kalian.
***
Paling enggak, sebelum The Lighthouse yang diperankan sama Robert Pattinson dan Willem Dafoe tayang di Indonesia, bolehlah Countddown dijadikan film pemanasan. Oh ya, film ini diperuntukkan untuk penonton berusia di atas 13 tahun, ya.
Kalau kalian udah nonton, jangan lupa bagikan pendapat kalian tentang Countdown di kolom review sekaligus bintang yang ada di awal artikel ini, ya.