6 Hal yang Membuat Joker: Folie à Deux Dapat Rapor Merah

Saat trailer-nya dirilis, banyak orang yang mengharapkan kejutan menarik dari Joker: Folie à Deux. Ekspektasi tinggi ini dipengaruhi oleh review positif dari film pendahulunya, Joker (2019) dan kehadiran Lady Gaga sebagai Harley “Lee” Quinzel alias Harley Quinn. 

Nyatanya, Joker: Folie à Deux, justru mendapatkan rapor merah dari para kritikus sekaligus kebanyakan penonton. Kualitasnya dianggap menurun drastis jika dibandingkan Joker (2019) yang mampu memberikan pendekatan humanis terhadap sosok Joker dan menceritakan gangguan jiwa yang ia derita secara lebih humanis.

Apa saja poin-poin kegagalan Joker: Folie à Deux hingga panen skor rendah serta kritik di berbagai platform ulasan film? Ini dia.

6 Poin yang bikin Joker: Folie à Deux dapat rapor merah

Konsep Musikal yang Kurang Nendang

Film Musikal Joker via Istimewa.

Sebagai film musikal, musik dan nyanyian menjadi salah satu jiwa dalam Joker: Folie à Deux. Apalagi, Lady Gaga didapuk sebagai pemeran Harley Quinn. Lady Gaga sendiri punya rekam jejak akting yang memuaskan, contohnya dalam A Star is Born (2018) dan serial House of Gucci (2021).

Namun, nyanyian Lady Gaga sekali pun enggak bisa mengangkat kualitas film ini. Lagu-lagu yang ditampilkan dianggap kurang nendang, enggak sepenuhnya bisa merepresentasikan konsep yang pengin diusung dalam film. 

Storytelling yang lemah bikin musik-musik yang ditampilkan menjadi sekadar tempelan aja. Seolah-olah, para tokoh di dalamnya dikit-dikit bernyanyi hanya karena memang mereka harus bernyanyi. LA Times sendiri menyebutkan bahwa sebagian besar lagu dalam Folie à Deux enggak memiliki tujuan yang jelas, hanya menawarkan sedikit informasi atau wawasan baru mengenai karakternya.

Alur Cerita yang Kurang Kuat

Joker dan Harley Quinn via Istimewa

Enggak semua film memiliki alur yang mudah dipahami. Memento, misalnya. Film thriller psikologis ini memiliki alur campuran, tetapi ditata dengan rapi dan punya tujuan kuat, sehingga pesannya pun sampai kepada penonton.

Folie à Deux justru punya masalah dalam alur. Dalam Rotten Tomatoes, kritikus Peter Howell dari Toronto Star menyebutkan bahwa penulis dan sutradara Todd Phillip serta Scott Silver enggak tahu jenis film apa yang ingin mereka buat. Film ini berkicau dengan cara yang enggak jelas, enggak tahu ke mana arahnya.

Beberapa momen memang dihidupi dengan menarik oleh Joaquin Phoenix dan Lady Gaga, tetapi kisahnya terasa enggak bercerita. Malah, film ini seperti fragmen-fragmen yang dijahit dengan enggak rapi sehingga narasinya terasa kosong.

Biaya Produksi yang Terbuang Percuma

Musikal Folie à Deux via Istimewa

BBC menyebutkan bahwa Joker: Folie à Deux diperkirakan menghabiskan bujet sebesar US$190-200 juta dolar. Bujet yang besar ini menumbuhkan ekspektasi penonton bahwa, setting film akan sangat istimewa.

Nyatanya, film ini malah enggak memanfaatkan bujet dengan baik. Folie à Deux, menurut BBC, enggak memiliki adegan aksi yang hebat. Enggak ada pula efek yang mencengangkan. 

Penggalian Karakter yang Lemah

Arthur Fleck via Istimewa

Merujuk pada Joker (2019) yang punya kekuatan dalam eksplorasi karakter dan kejiwaan Joker, Folie à Deux diharapkan bisa lebih “gila”, terlebih lagi, ada tokoh Harley Quinn dan embel-embel folie à deux alias kegilaan bersama.

Nyatanya, film ini enggak bisa “segila” film pertamanya. Relasi antara Joker dan Harley Quinn enggak dieksplorasi dengan baik. Penonton sebelumnya berharap kalau chemistry antara keduanya bisa menjadi bumbu dalam film. Nyatanya, setelah mereka bertemu di Arkham Asylum, motif dari tindakan kedua karakter ini enggak jelas. 

Joker pada dasarnya adalah villain yang enggak memiliki rasa cinta terhadap Harley Quinn –hanya ingin mengeksploitasi dan menggunakannya sebagai alat. Sementara itu, Harley Quinn terobsesi pada sosok Joker. Premis seperti ini enggak terlalu terasa dalam folie à deux. Motif kedua karakter dalam membangun hubungan mereka pun terasa enggak jelas. Spark-nya pun juga kurang terasa.

Sebagai film musikal, musik bisa dipakai sebagai media untuk membangun hubungan dan mengekspresikan perasaan kedua karakter. Namun, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, musik-musiknya pun enggak mampu mengeksplorasi perasaan dan situasi yang ada.

Tujuan yang Pointless

Adegan, karakterisasi, dan elemen lain di dalam sebuah film semestinya dijalin untuk bisa menunjukkan tujuan tertentu. Film omnibus, contohnya, kendati punya beberapa cerita dan situasi yang dialami tokoh berbeda, tetapi ada garis dan tujuan yang menghubungkan mereka semua.

Folie à Deux, oleh para kritikus, dianggap sebagai sebuah karya yang pointless, enggak fokus kepada tujuannya. Banyak adegan yang cuma bermaksud menonjolkan aspek musikal dan kegilaan kedua tokoh, tetapi penceritaannya malas sehingga motivasinya terasa enggak jelas. Akhir film ini pun dianggap kentang dan enggak punya makna.

Dalam RottenTomatoes, Matt Hudson dari Bloody Awesome Movie Podcast menyebutkan bahwa film ini mengabaikan potensi cemerlangnya karena penceritaannya berantakan, membingungkan, dan enggak fokus. Dan atas hal itu, Hudson sedikit menyalahkan sang sutradara, Todd Phillips.

Membuang Potensi dan “Jiwa” Tokohnya

Harley Quinn adalah sosok yang dimaksudkan menjadi magnet dan tentu saja bagian penting di dalam film. Pada bagian awal, karakter ini memang ditampilkan dengan cukup kuat. Tentu penonton berharap bahwa ia bisa menggiring cerita menjadi lebih menarik dan sesuai dengan judulnya: folie a deux, kegilaan bersama. Penggemar berat, utamanya, berharap bahwa film ini bisa “adil” mengenai isu hubungan Joker-Harley Quinn.

Dalam komik dan berbagai adaptasi tentang Harley Quinn, diceritakan bahwa Harley Quinn memang “bermasalah” secara kejiwaan. Dia juga merupakan villain, dia bertanggung jawab atas pilihan dan apa yang ia perbuat. Namun, dalam kisah hubungan Joker-Harley Quinn, ada isu relasi kuasa, isu toxic relationship, dan isu kekerasan. Media Salon menyebutkan bahwa konsep itu membuat Harley Quinn menjadi fair match bagi karakter Joker yang merupakan villain manipulatif.

Semua itu dilepaskan paksa dalam film ini. Harley Quinn sendiri seolah digambarkan sebagai orang yang manipulatif, menjadikan Joker seolah “korban”. Film barangkali memang ingin membuat sosok Joker menjadi lebih humanis dan menampilkan Harley Quinn sebagai orang yang lebih realistis dan bukan sekadar “bonekanya Joker”, tetapi narasinya menjadi dipaksakan sehingga alih-alih bikin kita betulan berempati kepada Joker seperti dalam film pertamanya, kita justru kehilangan isu dari Harley Quinn itu sendiri dan isu “kegilaan bersama”. Bahkan, banyak yang menyayangkan potensi Lady Gaga di film ini.

Tentu poin ini memang tergantung selera. Soalnya, versi Lady Gaga memang mau menggambarkan Harley Quinn dengan pendekatan yang berbeda, lebih gelap dibandingkan Harley Quinn versi Margot Robbie. Namun, bagi sebagian besar kritikus dan penonton, karakternya kurang dieksplorasi dengan baik.

Tentu ada beberapa kritikus dan penonton yang berpendapat bahwa film ini enggak buruk, melainkan hanya enggak sesuai dengan ekspektasi penonton, terutama yang memang menggemari kisah Joker-Harley Quinn sejak dirilis dalam komik DC. Meski begitu, terlepas dari subjektivitas kritik dan selera, film Joker: Folie à Deux memang enggak memuaskan mayoritas penonton hingga pendapatannya pun enggak besar. Kalau kamu, tim yang mana, nih? Yang menganggap kalau film ini masterpiece yang sulit dipahami, atau memang film yang gagal?

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.